Perjalanan pulang dari daerah perternakan milik sang paman yang ia akan gunakan untuk melatih sang keponanakan dalam mengaplikasikan ilmunya.
Ia dan keluarganya memang tinggal jauh dari keramaian bahkan tempat tinggal mereka juga bisa diakses dengan perahu karena terletak di salah satu sudut sungai, walau begitu rumah mereka pun masih bisa diakses dengan kendaraan darat. Rumah tersebut lebih tepat menghadap sungai setelah halaman luas di depan rumahnya, ada pelabuhan kecil khusus untuk berlabuhnya perahu milik sang paman, karena sang paman juga terkadang mengajak Angel untuk pergi memancing. Rumah mereka sudah seperti rumah tunggal yang memang berdiri sendiri jauh dari permukiman penduduk lain dan di kelilingi pepohonan besar. Akses kendaraan darah seperti mobil juga harus melewati jalan khusus menuju rumah tersebut dan di iringi oleh pepohonan besar yang memang sengaja dipelihara di sana. Lingkungan perumahan tersebut menjadi sangat damai, hanya akan terdengar suara angin, air, kicauan burung, begitulah suara alam. Rumah yang tidak terlalu besar itu juga ditinggali oleh bibi, paman, dan seorang anak perempuan yang lebih tua beberapa tahun dari Angel sendiri. Rumah itu tidak memiliki pelajaran atau penjaga, hanya ada teknologi canggih yang sang paman pasang di rumah tersebut. Lingkungan yang damai untuk menjadi tempat tinggal yang nyaman, itulah keinginan dari sang paman setelah mereka pindah dari Negara asal mereka.
Dengan lingkungan damai itu pulalah, Angel dididik dan diajari banyak hal dengan cara tersendiri oleh sang paman. Sang paman mengajarkan pada Angel berburu, memancing, membunuh hewan buruannya, dan berbagai macam ilmu tentang pertahanan diri. Tetapi dari semua itu, Angel tidak dibiarkan stress dengan semua pelajaran yang sang paman berikan. Angel masih diberikan kebebasan untuk bermain dan diperbolehkan melakukan apapun yang ingin ia lakukan.
Seiring perjalanan waktu menanamkan suatu pengalaman dan pelajaran pada diri Angel sendiri tentang ia sangat menyukai sensasi saat membunuh hewan buruan atau mempraktikkan apa yang sedang sudah ia lihat saat menonton video yang diberikan oleh sang paman, video dimana tentang pembunuhan atau memutilasi organ tubuh hewan.
Pada suatu ketika saat lengah Angel bahkan berniat menyembelih peliharaan sang kakak sepupu, yaitu kucingnya. Angel hampir memotong leher kucing dengan pisau dapur, pisau yang tajamnya tidaklah seberapa itu. Angel juga pernah hampir saja melepaskan anak panah pada anjing yang menjadi teman berburunya. Hampir semua hampir dilakukan Angel bukan hanya sekali tetapi berkali-kali. Beruntung itu semua tidak terjadi karena jika tidak sang paman, bibi atau kakak sepupunyalah yang menghentikannya, bahkan sampai kakak sepupu Angel menangis karena melihat kucing miliknya sudah hampir dipotong lehernya oleh Angel. Membuat mereka bertengkar dan Angel hanya meminta maaf dengan tatapan polosnya.
Pada hari berikutnya, Angel kembali dibawa oleh yang paman untuk pergi ke perternakan lagi, dan saat itu sang paman sudah menyiapkan apa yang sangat diingin-inginkan oleh Angel. Yaitu mempraktikkan semua yang sudah sangat menggebu-gebu di dalam dirinya.
“Paman? Hari ini tidak seperti kemarinkan? Paman sudah berjanji akan memberikan izin padaku untuk memprkatikkannya,” pinta Angel sambil menatap penuh harap pada sang paman yang sedang mengemudi di sampingnya.
Sang paman menoleh sebentar pada keponakannya tersebut. “Iya, hari ini paman berjanji mengizinkanmu, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan Paman tidak akan menghalang-halangimu. Asal kau ingat jangan sampai melukai dirimu sendiri, mengerti?” ujar sang paman, mengingatkan keponakannya satu-satunya tersebut.
“Siap laksanakan Paman!” kata Angel membalas ucapan sang paman dengan memberikan gesture hormat pada sang paman saking semangatnya ia dengan yang akan ia lakukan setelah sampai di perternakan nanti.
“Kau ini,” kata sang paman memlihat keponakannya yang sangat bersemangat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Saat perjalanan mereka tidak lama lagi sampai ke pertenakan, mobil sudah menatap di jalan satu-satunya yang di kelilingi oleh hamparan padang rumput yang hijau, sudah terlihat beberapa kelompok sapi yang sudah dilepaskan oleh peternak di hamparan rumput hijau tersebut.
Angel memperhatikan dengan seksama sekelilingnya yang mereka lewati dari jendela mobil yang sengaja ia buka saat sudah sampai di jalanan menuju peternakan.
Setengah jam berikutnya barulah mobil sampai di depan pagar rumah bercat putih gading. “Terimakasih mbak Ressa dan Kenan udah mau ngantar sampai rumah, aku sudah terlalu banyak merepotkan kalian hari ini. Oh iya mau masuk dulu?” tanya Aliana sebelum ia turun dari mobil itu.
“Tidak perlu sungkan, asik juga ngobrol denganmu dari pada ngobrol dengan Kenan, mbak bisa-bisa tensi setelah menemani dia,” balas Ressa sedangkan Kenan menjadi sasaran kesekian kalinya oleh Ressa.
“Terserah mbak saja, asal kau bahagia mbak,” ujar Kenan pasrah. “Kami langsung pulang saja, semangat ujian akhrinya,” ucap Kenan mengemangati Aliana dengan tersenyum manis, pemilik mata gelap sekelam malam itu menyipit karena senyumannya.
“Terimakasih… semangat juga untuk kontesnya nanti. Selamat malam mbak, aku masuk dulu,” ujar Aliana berpamitan lalu ia melangkah meninggalkan mobil yang masih di depan pagar pintu kayu berwarna putih yang di atasnya ada rerumputan yang tumbuh menjadi atas pintu itu. Sedangkan rumah Aliana terlihat berada di atas dari jalan tersebut.
“Rumah-rumah di kompleks ini unik jadi pengen punya rumah di sini juga,” celetuk Kenan.
“Jangan mengada-ngada,” sahut Ressa sambil memberikan tepukan di kepala Kenan. “Sudah ayo berangkat, udah ketelan pintu juga orangnya,” seru Ressa karena Kenan tak kunjung melajukan mobil untuk pergi.
Mobil berangkat berbalik arah menuruni jalanan kompleks yang menurun.
Sedangkan Aliana memasuki rumahnya dengan perasaan yang lelah, yang ia kira di rumahnya hanya ada kedua orang tuanya. Ternyata ada orang lain di sana.
Aliana yang baru akan menaiki tangga menuju kamarnya tidak menyadari keberadaan orang tersebut, karena panggilan atas namanya membuat ia menghentikan langkah untuk anak tangga pertamanya, “Aliana!” panggil suara itu, suara laki-laki yang tidak jauh berbeda umurnya dengan Aliana.
Aliana mengalihkan pandangannya, dan tertuju pada seorang yang tengah duduk bersama orang taunya.
Aliana melangkah mendekat. “Sanon?” ucap Aliana.
“Alia… tolong dong jangan panggil nama plesetan lagi,” pemilik nama Syaren Abrisam itu protes karena namanya selalu tidak benar jika diucapkan oleh Aliana.
“Hehe maaf,” kekeh Aliana memperlihatkan deretan gigi kecilnya dan ia mendudukan dirinya di samping Ren.
“Mbakmu mana Al?” tanya Annie akhrinya karena ia tidak melihat Erisa setelah Aliana masuk ke rumah.
“Masih di bukit tadi,” jawab Aliana singkat.
“Terus kamu kok bisa pulang sendiri?” tanya Hasbie penasaran.
“Aliana capek Pa, jadi pulang duluan nebeng orang,” jawab Wawa.
“Masih saja berani sendiri,” ujar Ren sambil memberikan jitakan mendarat di kepala Aliana, pelaku penjitakan adalah Ren adik dari Salsa dan Brian, memiliki umur yang sama dengannya.
“Tanganya bisa tidak, jangan anarkis gitu, baru juga ketemu, kebiasaannya masih tidak berubah-rubah mending kau pulang lagi saja sana ke Jakarta,” marah Aliana pada oknum yang telah menjintak kepalanya.
“Al… jangan berbicara seperti sayang,” tegur Annie karena ucapan putri bungsunya itu dapat menyakiti hati Ren. Tetapi Ren sendiri tidak perduli.
“Iya-iya aku juga bakal pulang besok,” jawab Ren dengan cemberut.
(a)
….