Pemilik Kafe

1115 Kata
Pemilik Kafe Ayunda berlari memasuki halaman kafe, hari ini dia datang terlambat karena sedari pagi disibukkan dengan aktivitas di panti dan harus mengantar jajanan kue tradisional dan gorengan ke kantin sekolahan. Dia tidak memperbolehkan Zaenab mengantar makanan-makanan tersebut atau menyuruh adik-adiknya. Ayunda selalu beralasan itu semua kewajiban dirinya sebagai anak paling tua di sana. Tiba di kafe Ayunda berdiri mematung sembari menatap kagum bangunan dua lantai tersebut, Boy menarik Ayunda dan membawanya masuk. "Maaf, Kak, aku terlambat,” sesal Ayunda. "Sudah tahu terlambat, malah bengong di luar," sahut rekan kerjanya ketus. Seorang rekan kerjanya yang lain berjalan cepat melewatinya. Aroma parfum tercium begitu menyengat di indera penciuman. "Sekali lagi, maaf." Ayunda menangkup kedua tangannya di d**a. "Apa sudah banyak tamu, Kak?" Boy menggelengkan kepala. "Sebaiknya cepat lakukan tugasmu, jangan banyak tanya," katanya. Ayunda menyipitkan kedua mata, memperhatikan Boy yang terlihat agak aneh di matanya atau hanya perasaan saja. Ayunda menaruh tas selempang di dalam loker lalu mengambil apron dan memakainya. Satu persatu tamu datang dan memesan minuman beserta camilan. Ayunda membantu Bima mengantarkan pesanan kopi ke meja pelanggan. Menjelang siang pelanggan yang datang semakin banyak. Revan yang biasa duduk santai di balik meja kasir harus ikut turun untuk membantu rekan-rekannya. "Yu, kamu urus dulu cuciannya sebelum menumpuk semakin tinggi," ucap Adit. Dia menaruh gelas-gelas kotor di tempat cucian dan kembali ke tempatnya. Meracik minuman ringan dan kopi serta menyediakan berbagai macam camilan. Sepanjang hari mereka tampak sibuk, bahkan makan siang saja harus bolak balik terganggu karena banyaknya pengunjung. Pukul enam sore pengunjung mulai berkurang. Itu artinya pekerjaan Ayunda pun menjadi sedikit. Ia terlihat menghela napas lega karena bisa sedikit santai. Bima menghampiri Ayunda yang tengah duduk bersandar melepaskan lelah dan rasa pegal di kedua kakinya. "Ayu, mana ponsel kamu?" Bima menyodorkan tangannya meminta ponsel pada Ayunda. ''Ponsel?" Ayu cengengesan, menatap Bima yang masih mematung sembari merentangkan telapak tangan padanya. "Iya, ponsel kamu mana?" ulang Bima gemas. Diminta ponsel malah cengengesan pikirnya. "Aku nggak punya ponsel, Mas Bima," jawab Ayunda, tersenyum tipis untuk menutupi rasa malu. Bima melongo, bukan hanya Bima bahkan Boy dan Adit yang duduk tidak jauh darinya sampai menoleh heran. Hari gini tidak memiliki ponsel batin mereka. "Kamu betulan tidak punya ponsel?" Seakan tidak yakin Adit menanyakan hal yang sama pada Ayunda. Dengan mantap Ayunda mengangguk lalu menjawab, "Iya, Kak, Ayu nggak punya ponsel," jawabnya malu-malu. Ayunda menunduk jemarinya meremas apron yang di kenakan. Ketiga rekannya saling tatap tidak percaya, bagaimana mungkin ada orang yang tidak memiliki ponsel? Mereka masih mengerti jika Ayunda tidak punya kendaraan, tapi ponsel? Sungguh tidak bisa di percaya. "Rumahmu di mana, Yu? Kata si Boy dekat dari sini ya?" Adit menatap Ayunda yang masih menyembunyikan wajahnya. "De-dekat sana.” Ayunda mengacungkan telunjuknya tanpa berani mengangkat wajahnya. "Di mana?" sela Bima penasaran. "Ayu tinggal di ... di pan....” "Kalian di sini rupanya?" Seorang lelaki dewasa datang menghampiri dan menginterupsi ucapan Ayunda. Ayunda menatap lelaki tersebut tanpa kedip. Keempat rekan kerjanya sama-sama memiliki wajah rupawan dan sekarang datang lagi seseorang yang memiliki wajah hampir mendekati keempatnya. Andai saja usianya agak muda sedikit, mungkin saja wajahnya akan sama seperti keempat rekannya itu. "Apa wajah saya sangat menarik sampai membuatmu seperti itu?" tanyanya dengan raut wajah datar. Ayunda mengerjap-ngerjapkan matanya, mengatupkan bibirnya yang sempat melongo lalu menunduk menahan malu. "Selamat malam, Pak,” sapanya. Lelaki itu terlihat berpikir keras dan sapaan Ayunda membuyarkan konsentrasinya. Dia mengarahkan pandangannya pada si Gadis. Ayunda terlihat cukup menarik, penampilannya rapi dengan seragam kerja yang terlihat pas membungkus tubuhnya. Matanya menyipit sementara senyuman tipis tersungging dari bibirnya. Wajah dan penampilannya sangat sederhana, tidak wah seperti gadis-gadis yang sering dia temui. Namun, penampilan sederhana gadis itu benar-benar sangat menarik. Rambut hitam legamnya di kuncir rapi, tubuhnya mungil dengan kulit kuning langsat. Suaranya rendah dan merdu terdengar di telinga, tanpa nada melengking yang bisa menarik perhatian orang lain. Boy mengusap wajah Ayunda dengan telapak tangannya sembari tertawa terbahak-bahak. Membuat si empunya semakin malu dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut. "Ini Mas Khaliq, pemilik kafe tempat kita bekerja saat ini." Bima memperkenalkan lelaki yang masih berdiri menjulang di hadapan mereka. Ayunda mendongak malu-malu dan mengangguk sopan sebagai. "Mas, ini Ayunda, pegawai baru. Dia yang di rekomendasikan sama Om Adi waktu itu," ucap Bima. Lelaki bernama Khaliq itu sekilas melirik Ayunda kembali kemudian beralih menatap Bima. "Mana Revan?" tanyanya. "Tadi dia masih check laporan," sahut Bima tak acuh. "Baiklah. Saya mau lihat Revan dulu," jawabnya sambil berlalu di ikuti oleh Adit. Ayunda membuang napas kasar. Dia sangat bersyukur karena lelaki bertubuh jangkung itu segera menjauh. "Itu namanya Mas Khaliq, dia pemilik kafe ini dan juga keponakan pemilik restoran tempatmu melamar kerja kemarin," ucap Boy memberitahu Ayunda. "Jadi, Bapak yang interview aku waktu itu, bukan manajer restoran ya?" Ayunda terperangah mengetahui satu fakta mengejutkan. "Bukan, itu Om Adi, pemiliknya. Dia orangnya baik walaupun terlihat galak," jawab Boy menjelaskan siapa lelaki yang mewawancarai Ayunda beberapa hari lalu. Ayunda mengangguk paham. "Terus ... Kakak sama Mas Bima kerja di sini atau saudaraan juga sama pemiliknya? Secara kan, wajah kalian ganteng-ganteng begini. Masa iya kalau cuma karyawan biasa?” tanya Ayunda panjang lebar. Sejujurnya dia merasa janggal melihat penampakan empat lelaki yang menjadi rekan kerjanya itu. "Revan itu adik tiri Mas Khaliq kalau Bima adik sepupunya. Aku sama Adit teman mereka berdua. Soal wajah, ya ... kebetulan saja kami di beri kelebihan hehe," ujar Boy percaya diri. "Hm ... begitu ya, pantaslah.” "Yu, tadi kamu belum bilang di mana tempat tinggalmu itu." Bima menyela obrolan mereka berdua dan kembali menanyakan tempat tinggalnya. "Ayu tinggal di ... itu Mas ....” "Di mana?" Ayunda kembali menunduk. "Ayu tinggal di panti asuhan dekat pertigaan itu, Mas.” Jawabnya dengan suara parau. Bima dan Boy menatap Ayunda tidak percaya, kejutan apalagi yang disodorkan gadis lugu ini pikir mereka. Bima tersenyum tipis lalu mengusap pundak Ayunda pelan. "Nanti kalau pulang, biar Mas antar ya," ujar Bima, "kita kembali kerja, tamu-tamu sudah berdatangan." Ayunda dan Boy mengangguk. Keduanya mengikuti Bima kembali ke depan dan melayani para pengunjung kafe yang kembali ramai. "Kalian dari mana sih? Ditungguin dari tadi,” tanya Adit sembari menatap ketiganya yang baru muncul. "Kepo!" sahut Boy. Ayunda tersenyum melihat kelakuan dua rekan kerjanya. Mereka kembali beraktivitas melayani pengunjung dan beberapa gadis yang mengajak berfoto untuk sekedar memenuhi wall media sosial mereka. Ayunda mulai terbiasa dengan sikap gadis-gadis muda itu. Mungkin jika dirinya atau Ratih memiliki kehidupan layak seperti mereka itu. Pastilah akan melakukan hal yang sama, pergi dan nongkrong di kafe lalu mencari perhatian lelaki yang di anggapnya menarik. Sayang, dirinya maupun Ratih tidak pernah mendapat kesempatan seperti itu. Dari membuka mata sampai kembali terpejam, keduanya hanya di sibukkan dengan pekerjaan di panti dan belajar saja. Ayunda menggelengkan kepala mengusir jauh-jauh pikiran yang di rasa sangat aneh oleh dirinya. Tidak, tidak boleh iri dengan kehidupan orang lain. Seharusnya dia bersyukur bukan? Memiliki Ibu seperti Zaenab dan banyak saudara di panti sana. Bisa main beramai-ramai di halaman panti, bisa makan beramai-ramai setiap hari, walaupun dengan menu sederhana. Ayunda tersenyum menyemangati dirinya sendiri, itulah yang dia lakukan sekarang. "Semangat Ayu!" ucapnya. "Dasar perempuan aneh,” gumam seorang lelaki yang sedari tadi memperhatikan Ayunda dari balik layar kaca yang terpampang di hadapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN