Ayunda Pratiwi
Ayunda Pratiwi
"Apa! Menikah? Dengan siapa?" tanya seorang pria dengan suara lantang.
"Ya sama perempuan dong. Masa sama ikan julung-julung," sahut seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan bugar.
"Mi, jangan bercanda. Nikah itu bukan perkara sah saja, yang ada sepert ....”
"Stt ... duh kalian ini! Sesekali nurut sama mami," jawabnya tidak menerima bantahan.
"Tapi, Mi, aku harus nikah sama siapa?"
"Iya, Mami, Mas Khaliq mau dinikahkan sama siapa? Kok, kita nggak tahu?” Seorang pria yang lebih muda ikut nimbrung pembicaraan.
"Nanti juga kalian akan tahu."
"Mami. Main rahasia-rahasiaan segala!" seru keduanya bersamaan.
"Yang jelas dia gadis baik-baik. Ingat ya, mami tidak menerima bantahan ataupun penolakan. Camkan baik-baik."
Setelah kanjeng Ratu memberi ultimatum, dia segera beranjak pergi. Meninggalkan rasa penasaran dan juga bingung pada dua orang yang dia tinggalkan.
***
Gadis muda itu berlari kecil melewati beberapa ruangan, sampai akhirnya dia tiba di depan sebuah pintu. Deru napasnya terdengar begitu kentara.
Ragu menyelimuti hati, tercetak jelas dari raut wajah manisnya yang di basahi oleh keringat.
"Mbak Ayu! Lagi ngapain di depan kamar Ibu?"
Gadis yang di panggil Ayu menoleh pada si pemilik suara. Tangannya mengelus d**a pelan sembari menghembuskan napas panjang.
"Ya Tuhan. Ratih. Kenapa kamu mengagetkanku?" sahut Ayu. Tatapannya tak lepas dari lawan bicaranya.
"Maafkan aku. Apa ada yang penting?" tanyanya.
"Iya, aku harus bicara sama Ibu, sekarang." jawab Ayu tegas. Sorot matanya yang jernih kembali beralih menatap pintu di hadapannya.
"Mau aku temani menemui Ibu?"
"Tidak usah. Sudah malam, sebaiknya kamu istirahat saja," jawab Ayu. Ia meminta gadis bernama Ratih untuk segera beristirahat.
"Baiklah, aku masuk duluan ya, semua pintu sudah aku periksa, gerbang depan juga sudah aku kunci. Selamat malam," ujar Ratih.
Ayu mengangguk, setelah Ratih menjauh, dia kembali menatap pintu di depannya. Tangannya terangkat dan mengetuk pintu beberapa kali.
Ayu tertunduk di temani keheningan malam, daun pintu di hadapannya terbuka perlahan, seorang wanita paruh baya keluar dan menatapnya penuh tanya.
"Ayunda, ada apa, Nak?" Wanita itu menatap lekat wajah Ayu.
"Maafkan Ayu, Bu. Sudah mengganggu istirahat Ibu," jawab Ayu penuh sesal.
"Tak apa, lagi pula Ibu belum tidur," ujar si Ibu. "Apa ada hal yang penting?"
Ayu membuang napas pelan, jemarinya meremas ujung baju yang di pakainya. "Bu, besok Ayu mau melamar kerja, supaya bisa meringankan beban Ibu dan bisa bantu Adik-adik yang ada di sini. Boleh ya, Bu?"
Wanita di hadapan Ayu terpaku menatap wajahnya yang kembali menunduk.
"Tapi kerja apa, Nak? Kamu bahkan hanya lulusan sekolah menengah.”
"Di rumah makan, Bu, tidak jauh dari sini. Ayu kerjanya siang kok. Boleh ya, Bu?" Ayu kembali memohon supaya di izinkan bekerja.
"Maafkan Ibu, Nak, seharusnya Ibu merawat dan menjaga kalian, bukan malah menyusahkan kalian seperti ini.” Wajah tua wanita paruh baya di hadapan Ayunda terlihat sendu.
"Ibu, kami sudah dewasa, biarkan kami yang membantu Ibu sekarang," ujar Ayu. Mengusap lembut tangan keriputnya dan menggenggamnya erat.
"Ibu hanya bisa mendoakan, semoga Tuhan memberimu kemudahan dalam segala urusan dan melancarkan rezekimu.” Doa dan harapan terucap begitu tulus dari bibir wanita paruh baya itu.
Ayunda memeluk tubuh rentanya dengan erat. "Terima kasih banyak, Bu, karena Ibu kami masih bisa melihat dunia dan mendapatkan kasih sayang. Doakan ya Bu, supaya Ayu berhasil. Biar Ibu sama Adik-adik nggak kesusahan lagi.”
Keduanya berpelukan erat layaknya seorang ibu dan putrinya. "Doa Ibu selalu menyertai kalian semua, pergilah, jaga diri baik-baik.”
Ayunda mengangguk, tersenyum bahagia karena dia di izinkan untuk segera bekerja.
Namanya Ayunda Pratiwi, gadis manis berusia 24 tahun yang di besarkan di sebuah panti asuhan. Ia dan beberapa anak remaja lainnya tinggal di sana sejak kecil. Tanpa tahu asal usulnya ataupun orang tuanya Mereka hanya tahu jika Ibu Zaenab yang selalu ada saat mereka kesusahan, yang selalu ada saat mereka sakit serta menyayangi tanpa pamrih dan membesarkan tanpa lelah.
Keesokan harinya Ayunda bersiap-siap, dirinya sudah menyiapkan surat lamaran untuk mencari kerja dan surat-surat pelengkap lainnya.
Setelah semua yang dia perlukan lengkap, Ayunda segera menyiapkan beberapa boks makanan yang akan dia antar ke sebuah kantin yang tidak jauh dari panti. Gegas Ayunda keluar dari bangunan itu, kedua tangannya menenteng boks berisi makanan yang sudah dia ikat menggunakan rapiah.
Ayunda berhenti di depan sebuah sekolahan, menurunkan bawaan dan mengusap peluh yang membasahi wajah. Setelah rasa lelahnya mereda, dengan sigap kedua tangannya kembali menenteng boks dan membawanya menuju kantin sekolahan.
***
Pulang mengantar makanan dari kantin Ayunda segera mengambil makanan dan sarapan. Setelah sarapan dia segera berpamitan pada Zaenab dan juga penghuni panti lainnya. Sebagai anak paling besar di sana Ayunda merasa memiliki tanggung jawab untuk ikut membantu meringankan beban Zaenab.
Apalagi anak-anak di panti kebanyakan sudah memasuki usia sekolah, membutuhkan banyak biaya selain untuk makan juga untuk pendidikannya.
Ratih menghampiri Ayunda, "Mbak, aku juga mau ikut kerja," katanya.
Ayunda menatap Ratih sesaat, senyuman tipis tercetak di bibirnya. "Nanti, kalau kamu sudah lulus sekolah. Sekarang biar Mbak saja yang kerja ya. Doakan supaya di terima." Ayunda mengusap pundak Ratih lembut. Kemudian berlalu pergi.
Ayunda menaiki angkutan umum, walau jarak tempuh tidak begitu jauh. Namun dia tidak ingin terlambat. Kesempatan tidak datang berkali-kali, untuk itu dia memilih datang lebih cepat dari pada terlambat.
Sepuluh menit kemudian angkutan yang ditumpangi tiba di tempat tujuan. Ayunda segera turun dan membayar ongkos. Sebuah restoran yang menyediakan makanan khas Nusantara berdiri kokoh di hadapannya. Beberapa furnitur khas daerah terlihat menghiasi bagian depan dan samping bangunan tersebut.
Ayunda bergegas menghampiri seorang pegawai restoran dan menanyakan perihal lowongan pekerjaan yang dia dapat dari selebaran.
Pegawai tersebut mengarahkan Ayunda untuk masuk dan menemui manajernya. Ayunda segera pergi menuju tempat yang sudah di beritahukan padanya tadi.
Sampai di sana ternyata sudah ada beberapa orang lainnya yang antre untuk melamar pekerjaan.
Ayunda merasa rendah diri, apalagi setelah melihat mereka yang berdandan rapi dan berpakaian bagus. Sedangkan dia, jangankan ber-make up, baju yang di pakai saja terlihat lusuh.
Ayunda duduk menunggu dalam diam, tidak ada seorang pun yang mengajaknya berbicara. Mereka seperti enggan walau sekedar duduk berdekatan dengannya.
Satu persatu para pelamar di panggil, tinggallah Ayunda seorang diri. Hatinya ketar ketir, bagaimana jika dia ditolak nanti? Ke mana lagi harus mencari pekerjaan yang tempatnya tidak jauh dari panti. Waktu berjalan terasa begitu lambat, menunggu detik demi detik sambil sesekali mengusap peluh yang membasahi wajah.
“Kenapa lama sekali?” Ayunda menatap pintu ruangan di hadapannya.
Tiba saatnya dia masuk dan menghadap orang yang hendak mewawancarai dirinya. Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Ayunda menarik napas lalu menghembuskan perlahan.
Orang yang duduk di balik meja menatap dirinya tak berkedip lalu berdehem. Ayunda melirik sekilas dan kembali menunduk.
"Nama kamu Ayunda?" tanya pria paruh baya itu. Menelisik tampilan sederhana Ayunda yang cukup kentara. Sangat berbeda dengan gadis-gadis lain yang tadi dia wawancarai.
"I-iya, Pak," jawabnya terbata.
Helaan napas terdengar begitu jelas di telinga Ayunda. Perasaannya semakin waswas.
"Sayang sekali, kami hanya mencari beberapa orang pegawai saja,” ucap si Pria dengan wajah datar.
Ayunda mendongak, terkejut dan kecewa berbaur jadi satu. "Ja-jadi ... saya tidak di terima ya, Pak?" tanya Ayunda memberanikan diri.
"Maaf, kami hanya membutuhkan 4 orang pegawai saja. Dan kamu lihat tadi, ada 6 orang yang sudah di wawancara sebelum dirimu," jawab si Pria lagi.
Ayunda mengangguk pelan. "Ba baiklah kalau begitu, terima kasih Pak, permisi." Ayunda segera berdiri dari kursi yang di dudukinya.
Ayunda hendak membuka pintu ketika namanya di panggil. "Ayunda!"
Ayunda berbalik dan menatap pria yang masih duduk di kursinya semula. "I iya, Pak?"
"Kamu mau kerja di Coffee Shop nggak?" tanyanya.
"Coffee Shop? Maksud Bapak ... seperti kafe begitu?"
"Ya ... kurang lebih begitu. Apa kamu mau?"
Ayunda tersenyum senang. “Mau, Pak, mau banget. Tapi, di mana?" jawabnya lesu.
Senyuman hangat tersungging dari bibir pria itu. "Di tempat saudara sepupu saya, lokasinya di belakang restoran ini. Nanti saya akan meminta salah satu pegawai untuk antar kamu ke sana.”
Senyum di wajah Ayunda semakin lebar. Tidak masalah bekerja di mana pun yang penting halal batinnya.
"Tapi ....”
"Tapi? Tapi kenapa, Pak?"