Pegawai Baru
Ayunda tersenyum semringah menatap bangunan dua lantai tempat dirinya akan mencari nafkah.
Kemarin, orang yang sempat mewawancarai dirinya benar-benar menepati janji. Dia meminta salah seorang pegawai restoran untuk mengantar Ayunda menuju Coffee Shop itu. Tanpa repot-repot melakukan wawancara, penanggung jawab Coffee Shop langsung menyuruh untuk bekerja keesokan harinya. Dia hanya berkata sedang membutuhkan pegawai dan meminta Ayunda untuk benar-benar bekerja dengan baik.
"Tapi kamu jangan lemah begitu ya, harus gesit." Masih terngiang ditelinganya saat orang itu menasihati dirinya. "Bekerja harus sepenuh hati, jangan cuma untuk main-main."
Ayunda bersyukur ternyata di luaran masih ada orang-orang baik yang peduli pada sesama.
Ayunda senang bukan main, dan di sinilah dia sekarang. Tugasnya hanya membersihkan meja-meja bekas tamu dan mencuci gelas-gelas, cangkir dan piring.
Tidak masalah baginya, toh sudah terbiasa melakukan semua itu. Bahkan di panti dia terbiasa mencuci gelas dan piring lebih banyak dari itu.
Ayunda tidak pernah merasa lelah, bibirnya terus tersenyum dan melakukan tugasnya tanpa mengeluh.
"Ayu, kalau capek istirahat saja dulu," ucap seorang lelaki dewasa yang menjadi rekan kerjanya.
"Nggak kok. Mas Bima tenang saja, Ayu masih kuat," jawabnya dengan riang.
Lelaki bernama Bima itu hanya menggelengkan kepala melihat Ayunda yang terlihat sangat gesit dan riang saat bekerja.
Di kafe itu mereka hanya berlima saja, empat orang laki-laki dan yang kelima adalah Ayunda. Mereka menjalankan tugasnya masing-masing dengan baik tanpa banyak bicara atau saling perintah.
Menjelang siang suasana kafe sangat ramai. Banyak anak remaja dan para eksekutif muda yang datang untuk sekedar menikmati kopi sambil bercengkerama. Suasana kafe yang tenang dan pelayanannya yang ramah membuat mereka selalu betah dan ingin kembali datang.
"Ayu!" panggil seorang rekan Ayunda duduk di balik meja kasir.
"Iya, Kak Revan?" Ayunda berlari kecil menghampiri orang yang memanggilnya.
Revan menatap Ayunda lekat, "Sebaiknya kamu istirahat dulu dan makan. Aku gak mau ya, kalau ada pegawai baru yang pingsan gara-gara telat makan," ujar Revan. Wajahnya terlihat datar dan acuh.
"Memang nggak papah ya, kalau Ayu makan duluan?" tanya Ayunda, dia baru bekerja satu hari dan belum mengerti betul peraturan di sana.
"Makanlah dulu, jangan hiraukan pekerjaan," ujar Revan sembari mengibaskan tangannya.
"Iya, Kak. Ayu ke belakang dulu ya." Tanpa menunggu jawaban dari Revan, dia segera berbalik dan langsung menuju bagian belakang kafe.
Bima dan kedua rekannya menghampiri Revan.
"Gimana?" tanya Bima.
"Apanya?" Revan menyahuti ucapan Bima.
"Ayu, dia baik dan cekatan sepertinya.” Bima menatap punggung kecil Ayunda yang semakin menjauh.
"Ya, semoga saja dia betah dan tidak macam-macam," sahut Revan.
"Semoga dia nggak takut kalau ketemu si Bos nanti," sahut lelaki di sebelah Bima.
"Hus, dia kan bukan anak kecil, Boy." Bima menyikut temannya yang bernama Boy.
"Tapi dia masih muda, bahkan usianya baru 24 tahun," sahut Boy.
"Iya ya, bahkan wajahnya terlihat masih sangat polos," kata yang satu lagi.
"Dia memang masih muda, di bandingkan kalian yang sudah kepala tiga tapi masih jomlo!" seru Bima.
"Sudah-sudah kok malah ngegosip," lerai Revan.
Mereka saling lempar tatapan lalu kembali beraktivitas. Menjalankan tugasnya masing-masing.
Ayunda duduk termenung sendirian, menatap makanan yang ada di hadapannya. Makanan yang sangat menggugah selera. Namun, gadis itu seperti tidak ada minat untuk mencicipinya.
"Makanan begini pasti harganya mahal. Mungkin uangnya bakalan cukup untuk membeli bahan makanan di panti selama tiga hari,” gumamnya.
Suara perutnya terdengar nyaring, Ayunda kembali memperhatikan makanan di piringnya. Perlahan tangannya meraih sendok dan mulai menyuap makanan.
"Maafkan Ayu, Bu. Ayu makan enak sendirian di sini. Nanti kalau udah ada uang, Ayu janji, mau belikan Ibu sama Adik-adik makanan yang enak."
Ayunda mengusap kedua matanya yang basah. Merasa bersalah karena makan sendirian di sana. Sedangkan orang-orang yang di sayanginya entah makan apa hari ini.
Selesai makan siang, ia segera kembali ke depan dan membereskan cucian cangkir kopi dan gelas yang sudah menumpuk.
Suara riuh dari arah depan membuat rasa penasaran Ayunda membawanya keluar dari tempat mencuci. Dia menatap bingung pada rekan kerjanya yang di dekati gadis-gadis muda seumuran Ratih.
"Ada apa sih?" Heran Ayunda sembari celingukan.
"Aww ... ap apaan sih?" Ayunda melotot saat tangannya tiba-tiba di tarik oleh Revan dan di seret menuju kerumunan. "Itu ada apa, Kak?" tanya Ayunda pada Revan.
"Biasalah, anak remaja sekarang nggak bisa jaga sikap kalau melihat orang ganteng," katanya penuh percaya diri.
Revan dan Ayunda menghampiri ketiga rekannya, "Halo," sapa Revan pada gadis-gadis belia yang masih sibuk mengajak berfoto Bima dan kawan-kawannya.
Gadis-gadis belia itu menatap Ayunda penuh tanya. Sebagian menatapnya tak suka.
"Kak, ini siapa?" tanya seorang gadis.
"Dia anggota keluarga baru kami," jawab Boy sembari melingkarkan tangannya di pundak Ayunda.
Suara 'oh' terdengar saling bersahutan. "Kalau Kakak di sini cari pegawai, kita mau dong, Kak, kerja di sini," ucap seorang gadis.
"Maaf, kami sudah tidak membutuhkannya lagi," sahut Revan sambil tersenyum manis. Raut-raut kecewa terlihat jelas dari wajah para gadis remaja itu.
"Kita hampir setiap hari ke sini loh, Kak, tapi nggak ada yang bilang kalau ada lowongan pekerjaan," sahut salah seorang gadis yang berdiri di hadapan Bima.
"Kita memang tidak membuat pengumuman," sahut Bima.
Satu persatu gadis remaja itu kembali ke tempat duduk mereka, melanjutkan acara kumpul-kumpul mereka sambil menikmati minuman ringan.
"Kak, memang selalu seperti ini ya?" Ayunda menatap keempat pria di sampingnya.
Mereka serempak mengangguk. Ayunda menatap wajah-wajah mereka satu persatu. Memang sangat tampan tidak memiliki cacat. Pantas saja gadis-gadis itu sampai melupakan rasa malunya.
"Kamu nggak naksir kami kan?" Seloroh Boy menyadari tatapan penuh kagum Ayunda.
Ayunda mengerjapkan matanya lalu membuang napas kasar. "Siapa juga yang naksir Kakak, ihh." Ayunda meninggalkan keempatnya dan kembali ke tempat cucian.
Revan dan kawan-kawannya hanya terkekeh melihat wajah sebal Ayunda. Mereka sangat bersyukur, sekiranya Ayunda bukan gadis baperan yang akan meneteskan air liur begitu melihat wajah tampannya.
Ayunda sangat cuek, tidak peduli rekan kerjanya setampan apa, bagi dirinya hanya ingin kerja dan mencari uang yang banyak, itu saja.
Pukul sepuluh malam kafe akhirnya tutup, Ayunda melepaskan apron yang seharian ini melekat di tubuhnya. Dia mengambil tas selempang miliknya di dalam loker.
"Ayu!" panggil Boy begitu melihat Ayunda keluar.
"Iya, Kak?"
"Kamu pulang naik apa?" tanya Boy.
"Jalan kaki, Kak," jawab Ayunda.
"Kamu nggak bawa kendaraan?" Boy menatap Ayunda.
"Nggak, Kak. Tempat tinggal Ayu dekat kok." Ayunda tersenyum manis. Andai saja mereka tahu, jangankan untuk membeli kendaraan, sekedar untuk makan sehari-hari saja dia harus pintar memutar otak.
"Kak, Ayu pulang duluan ya, udah malam," pamit Ayunda.
Boy menatap Ayunda dalam diam, baru kali ini dia melihat seorang gadis mau bekerja dari pagi sampai malam dan pulang pergi berjalan kaki.
"Van! Sini deh,” panggil Boy.
"Ngapa sih? Teriak-teriak. Udah malam tau!" sahut Revan ketus.
"Lu tahu nggak, tempat tinggal si Ayu di mana?"
Revan menggaruk tengkuknya, "Kan yang masukin dia ke sini Om Adi, mana gue tahu tempat tinggalnya di mana. Lu tanya saja sama Om Adi atau sama Mas Khaliq," jawabnya sembari melangkah meninggalkan Boy.
Boy memperhatikan punggung Revan yang semakin menjauh. Dia teringat beberapa hari lalu saat mengunjungi restoran milik Omnya itu. Tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan antara om Adi dan tantenya, yaitu Erlita. Mereka berdua terdengar membicarakan Ayunda.
Banyak pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. Namun, Bima hanya bisa menyimpannya sendiri. Mungkin di lain waktu dia akan mencari tahu hubungan antara Ayunda dan juga om serta tantenya itu.