Panti Kasih Ibu
Ayunda tersenyum senang karena tidak pulang berjalan kaki atau naik angkutan umum. Uangnya aman berada dalam tas selempang, lumayan pikirnya, bisa untuk bekal sekolah Ratih esok hari.
Bima mengantarkan Ayunda sampai di depan panti, Panti Asuhan Kasih Ibu begitulah nama yang tertera di sebuah papan yang sudah lapuk dan usang.
Bima memperhatikan dengan saksama bangunan tua di depannya. Tidak ada yang spesial, hanya sebuah bangunan panjang yang menjorok ke dalam. Beberapa bagian dinding sudah terlihat berlubang, begitu juga dengan plafon depan yang sebagian menggantung seperti akan jatuh.
"Terima kasih Mas Bima, sudah antar Ayu pulang." Ayunda memecah keheningan, membuyarkan lamunan Bima.
"I-iya. Tidak apa-apa,'' jawab Bima tergagap. Kaget bercampur haru. Ayunda benar-benar tinggal di sebuah panti asuhan.
Pintu depan bangunan terbuka lebar, seorang gadis manis keluar dan berjalan menghampiri keduanya. Bima menatap lekat wajah si Gadis, mirip seseorang batinnya.
"Mbak Ayu udah pulang?" tanya si Gadis. Dia segera meraih tangan Ayunda dan menciumnya. Lalu beralih menatap Bima sekilas dan mengulurkan tangannya.
Bima tertegun untuk sesaat, namun kesadarannya segera pulih. Dia menyodorkan tangan kanannya dan langsung di raih si Gadis. Ia menciumnya sama seperti yang di lakukannya pada Ayunda.
"Ini Ratih, adikku." Ayunda memperkenalkan gadis di sampingnya pada Bima.
Bima tersenyum lalu menyebutkan namanya. "Kalian masuklah, sudah malam,” suruh Bima, menyuruh kedua gadis di depannya untuk segera masuk.
Ayunda mengangguk begitu pun dengan Ratih. "Kami masuk dulu, Mas, terima kasih tumpangannya," ujar Ayunda.
"Iya. Sampai jumpa besok." Bima memutar motor yang sedari tadi di dudukinya lalu melesat pergi.
"Mbak, tadi siapa?" tanya Ratih. Ayunda melirik ke arah jalan di mana Bima menghilang tadi.
"Itu Mas Bima, saudara pemilik kafe tempat Mbak bekerja.”
Ratih membuang napas pelan, "Badannya penuh tato ya? Sebaiknya hati-hati. Jangan terlalu dekat dengan dia," ujar Ratih mewanti-wanti Ayunda.
Ayunda mengusap lengan Ratih pelan dan tersenyum. "Tidak apa-apa, toh hanya sebatas rekan kerja saja," jawabnya.
"Tapi Mbak ... aku hanya khawatir seperti dulu lagi," ujar Ratih. Sorot matanya terlihat sendu.
"Mbak akan selalu berhati-hati." Ayunda kembali tersenyum, mencoba mengurai kekhawatiran Ratih. Dia mengerti apa yang gadis itu rasakan. Dan dia juga mengerti harus bersikap seperti apa terhadap lawan jenis.
Ayunda menyuruh Ratih untuk segera tidur karena esok hari mereka harus bangun pagi-pagi. Sebelum beraktivitas di luar, membantu Zaenab memasak dan membereskan seisi rumah. Belum lagi membuat berbagai macam makanan untuk di jual.
Ya, pemasukan mereka hanya dari hasil menjual beberapa macam kue tradisional dan gorengan saja. Terkadang, kue-kue itu tidak laku semua dan kembali dibawa pulang. Membuatnya harus memutar otak, memikirkan modal untuk membeli bahan kue tersebut atau uangnya untuk membeli kebutuhan pokok adik-adiknya.
Ratih terlelap di samping Ayunda dengan damai, sementara Ayunda sendiri masih belum bisa tidur.
Mendengar ucapan Ratih tadi membawa ingatannya kembali pada kejadian beberapa tahun lalu.
Empat tahun yang lalu, Ayunda pernah merasakan apa itu bahagia, empat tahun yang lalu ia pernah tertawa begitu lepas. Namun semua itu tidak berlangsung lama.
Tawanya dan seluruh kebahagiaannya hilang bersama separuh hatinya. Walaupun sikapnya tidak berubah, tetap ceria dan sering tertawa, namun isi hatinya tidak ada yang tahu.
Ayunda lebih suka memendam semuanya seorang diri dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa pun pada dirinya.
Hampir tengah malam dan Ayunda belum juga bisa tidur. Ia berusaha memikirkan hal-hal yang di anggapnya positif dan tidak menyakiti hatinya.
Tidak berniat menelusuri kembali alur pikiran itu, Ayunda menyeret kembali pikirannya ke masa kini.
Ini adalah ujian bagus untuk menilai diri, pikir Ayunda.
Kalau satu-satunya cara ia bisa melupakan serpihan perasaan terhadap orang-orang di masa lalunya dengan tidak lagi melihat mereka. Lalu apa arti empat tahun itu? Buat apa mencurahkan begitu banyak waktu untuk membangun kembali kehidupan dengan sangat hati-hati kalau itu ternyata masih sangat rentan.
Ayunda sudah melupakannya, kan? Ia sudah melanjutkan hidupnya kembali, dan bahagia.
***
Bima melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, hati dan perasaannya di liputi perasaan aneh. Entahlah, Bima sendiri tidak tahu. Semula dia berpikir Ayunda sedang berbohong pada dirinya dan juga teman-temannya dengan mengatakan ia tinggal di panti dan tidak memiliki ponsel.
Namun, setelah melihat sendiri pikiran Bima justru merasa kosong. Tidak tahu harus berkata apa atau melakukan apa? Bahkan sepanjang perjalanan pulang dirinya tidak fokus. Beberapa kali motor yang di kendarainya hampir menyerempet kendaraan orang lain.
Motor yang di kendarai Bima masuk ke halaman sebuah rumah yang sangat luas. Ia segera menaruh kendaraannya di garasi lalu masuk ke dalam rumah dengan langkah lesu.
"Bim!" seru seseorang memanggilnya. Bima menghentikan langkahnya dan berbalik mencari asal suara.
"Iya?" Setelah melihat dan bertatapan dengan orangnya Bima tak langsung pergi.
"Lu jadi ya, antar Ayu pulang?" tanyanya. Terdengar sangat penasaran.
Bima mengangguk-anggukan kepalanya.
"Angguk-angguk doang.”
"Iya. Lu tahu, dia tinggal di mana?" jawab dan tanya Bima membuat lawan bicaranya mengerutkan dahi. Sepasang alis tebalnya nyaris bersentuhan.
"Mana gue tahu, kan elu yang antar dia pulang," jawabnya ketus.
Menghela napas panjang lalu duduk di ujung sofa. Bima menatap Revan, sepupunya, tanpa kedip. "Dia betulan tinggal di panti asuhan," ujarnya nyaris menggumam.
Revan menatapnya tidak percaya, mengusap telinganya berharap salah dengar atau Bima bercanda.
"Lu yakin?" ucapnya tidak percaya.
Anggukan lemah kepala Bima menjadi jawaban dari pertanyaannya kali ini.
"Lalu, apa tempatnya bagus?" Revan kembali mengajukan pertanyaan. Seakan tidak memberi jeda pada Bima untuk sekedar mengambil napas untuk mengisi rongga parunya.
Bima menatap Revan yang masih berdiri tidak jauh dari tempat duduknya. "Di panti betulan dan asal lu tahu saja, tempatnya bahkan ... sangat kumuh," jawabnya sembari menangkup wajah dengan kedua telapak tangan.
Semula Bima berpikir kalau Ayunda hanya sedang bercanda dan ingin merendah saja. Tapi apa? Kenyataannya gadis itu tidak bercanda dan juga tidak sedang bermain-main. Pantaslah kalau dia tidak memiliki kendaraan sendiri ataupun alat komunikasi.
"Untung saja Om Adi menyuruh dia langsung datang ke kafe, coba lu bayangin kalau dia gagal bekerja dan di tolak Om Adi waktu itu," lanjut Bima. Suaranya pelan dan dalam.
"Kasihan juga ya, kalau sampai dia tidak kerja," jawab Revan.
Bima mendongak dan menatap sepupunya. "Kenapa ngeliatin gue seperti itu?" tanyanya begitu menyadari tatapan aneh Bima padanya.
"Jangan pernah mengucapkan kalimat kasihan pada gadis itu, gadis seperti dia harga dirinya sangat tinggi.”
"Iya kali, gue sekejam itu,” gerutu Revan. Melemparkan tatapan tidak suka lalu membuang napas kasar.
"Tapi ... dia masih dalam masa uji coba, bagaimana kalau Mas Khaliq tidak menyukainya?"
Mendengar pertanyaan Revan, seketika tubuh Bima membeku. "Gue akan membimbing dia supaya bekerja dengan baik dan giat," jawab Bima penuh keyakinan. Rasa simpatinya membuat hatinya ingin melakukan sesuatu pada gadis itu. Gadis yang baru beberapa hari saja mereka kenal.
Embusan napas kasar terdengar dari mulut Bima, entah apa yang dia pikirkan. Revan hanya memperhatikannya dalam keheningan.
"Jangan berbuat macam-macam, Bim," ujar Revan memecah keheningan.
"Lu pikir gue mau apa?" Bima menyahuti ucapan sepupunya.
Revan mendengus sebal. "Gue tahu kelakuan lu seperti apa,” jawabnya ketus. Dia segera berbalik dan meninggalkan Bima yang masih duduk termenung.
Bima tidak menghiraukan omelan saudaranya, pikirannya melayang mengingat gadis yang bersama Ayunda tadi. 'Ratih' gumamnya. Bima memaksa kinerja otaknya untuk berpikir lebih keras, mengingat siapa dan di mana dia pernah melihat wajah yang sangat familier itu.
'Sial, kenapa gue tidak ingat sama sekali' Bima menggerutu seorang diri. Tangannya tak henti memukul kepalanya sendiri.