Hujan semakin deras mengguyur ibu kota. Kemacetan tiba-tiba terjadi, baik kendaraan beroda empat maupun beroda dua nampak padat merayap memenuhi jalanan yang basah karena air hujan. Mobil Pajero yang ditumpangi oleh William pun tidak luput dari kemacetan tersebut membuat pria berusia 39 tahun itu semakin gelisah karenanya. Namun, ia hanya bisa menunggu dan menunggu tanpa mampu melakukan apapun. Sudah satu jam lebih mereka terjebak di tengah derasnya air hujan sementara ada wanita bernama Nova yang tengah menunggu pertolongannya.
"Astaga, kenapa bisa kejebak macet gini sih?" decak William seraya menatap sekeliling.
"Saya juga gak tau, Pak Bos. Tadi waktu pulang gak macet gini, kenapa sekarang bisa macet, ya?" Tommy pun dilanda rasa gelisah sama seperti sang majikan.
"Emangnya gak dan jalan alternatif lain apa, Tom?"
"Gak ada, Pak Bos. Kecuali kalau naik motor mungkin bisa menerobos kemacetan di depan, Pak."
Motor matic berwarna pink tiba-tiba berhenti tepat di samping mobil tersebut. William seketika membuka pintu mobil membuat Tommy merasa terkejut.
"Anda mau ke mana, Pak Bos?" tanyanya sontak melakukan hal yang sama. Namun, kedua kakinya urung menapak aspal karena derasnya air hujan.
William menghampiri pengedaran sepeda motor tersebut tidak peduli meskipun tubuhnya tertimpa derasnya air hujan. "Hey, saya pinjam motor kamu, ya. Sebagai gantinya kamu naik mobil saya."
Pengendara motor tersebut nampak kebingungan. "Hah? Mak-maksud Anda?"
"Udah jangan banyak omong, cepat masuk mobil saya," pinta William seraya memaksa pria itu untuk turun. "Buka jas hujan kamu, cepetan!"
Pria yang masih syok dengan kejadian tidak terduga itu segera melucuti jas hujan yang ia kenakan berikut helm yang menutup kepalanya dan memberikannya kepada William. Pria itu segera memakai jas hujan tersebut, begitu pun dengan helmnya. William menaiki motor lalu melesat meninggalkan tempat itu, benar-benar menembus derasnya air hujan juga menerobos kemacetan.
Tommy yang menyaksikan hal tersebut hanya bisa menghela napas panjang tanpa mampu berbuat apapun. Sementara pemilik sepeda motor itu masih bergeming ditempatnya dengan perasaan bingung.
"Hey, cepat masuk!" pinta Tommy seraya membuka kaca jendela mobil.
"Hah? Ba-baik," ucapnya segera melakukan apa yang diperintahkan, tubuhnya yang basah kuyup nampak membasahi bagian dalam mobil mewah tersebut.
"Berapa harga motor Anda, Pak?" tanya Tommy datar.
"Maksud Anda?"
"Saya mewakili Bos meminta maaf atas kelancangan beliau. Sebagai gantinya, saya akan membeli motor Anda seharga motor baru. Sekarang saya akan mengantarkan Anda pulang dengan selamat."
Pria itu menggaruk kepalanya sendiri yang sebenarnya tidak terasa gatal seraya tersenyum cengengesan.
***
Suara petir terdengar saling bersahutan lengkap dengan kilatan cahaya yang sesekali menerangi kegelapan malam. Namun, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi seorang William. Ia mengendarai motornya, menerobos kemacetan hingga akhirnya tiba di hotel Maradona di mana Novariyanti berada. William memarkir motor matic berwarna pink itu tepat di depan lobi hotel lalu masuk ke dalam sana dengan tergesa-gesa bahkan melupakan jas hujan yang masih membungkus tubuh kekarnya.
"Maaf, Pak. Anda dilarang masuk," pinta Security yang berjaga di sana.
"Kenapa gak boleh masuk, hah? Tadi saya baru pulang dari sini lho," jawab William dengan napas yang terengah-engah.
"Badan Anda basah, Pak. Silahkan Anda pulang."
"Astaga, berani-beraninya dia ngusir saya dari sini? Dia gak tau siapa saya," decak William kesal.
Pria itu pun hendak membuka jas hujan yang masih ia kenakan berikut helm yang masih bertengger di kepalanya. Namun, William seketika menahan gerakan tangannya saat melihat Nova berjalan dari arah dalam dengan tubuh gontai dan sempoyongan. Wajahnya pun nampak pucat lengkap dengan rambutnya yang sedikit berantakan. William segera berlari menghampiri wanita itu tanpa sempat membuka jas hujan dan helmnya.
"Nova," sapa William segera memeluk tubuhnya erat.
Nova sontak menghempaskan tubuh William dengan kedua mata membulat. "Kamu siapa? Dasar kurang ajar!" Nova berteriak histeris.
"Ini saya, Sayang. William," ujar Willi segera membuka helm yang menutup kepalanya.
Nova terdiam sejenak dengan kedua mata berkaca-kaca. "Anda? Maaf, saya gak kenal sama Anda," ujarnya lalu berjalan melintasi William begitu saja.
William menarik telapak tangan Nova memaksanya untuk berhenti. "Tunggu saya, Nov. Saya minta maaf karena--"
"Buat apa Anda minta maaf? Emangnya salah Anda apa?" lirih Nova, buliran bening tidak mampu lagi ia tahan. "Lepasin aku, Tuan. Aku gak kenal sama Anda."
Nova menghempaskan pergelangan tangan William lalu melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa. Wanita itu berlari menerobos air hujan yang masih deras mengguyur seluruh kota Jakarta. Tangisnya seketika pecah, tubuhnya benar-benar lemas usai melayani pria bertubuh gempal. Area sensitifnya bahkan masih terasa sakit bahkan sangat sakit, tapi ada yang lebih sakit dari itu, kedatangan William seakan menaburkan garam di atas lukanya.
William berlari mengejar. "Saya mohon maaf, Nov. Saya menyesal karena tak bisa berbuat apa-apa tadi, saya benar-benar menyesal, Sayang. Tolong maafin saya."
Nova semakin mempercepat langkah kakinya hingga keluar dari area hotel lalu melanjutkan langkahnya menyusuri trotoar. Akan tetapi, langkahnya kembali ditahan, telapak tangannya ditarik kasar oleh pria bernama William.
"Dengerin penjelasan saya dulu, Nov. Kamu boleh marah sama saya, tapi jangan kayak gini. Kamu bisa sakit kalau ujan-ujanan kayak gini," pinta Wiliam menggenggam erat pergelangan tangan Novariyanti.
"Lepasin aku, Tuan!" bentak Nova, suaranya terdengar samar-samar di antara suara derasnya air hujan. Kilatan cahaya kembali menerangi malam, meskipun hanya berlangsung selama beberapa detik saja.
"Saya mohon jangan seperti ini, Nov. Saya ngaku salah, saya mohon maaf," lirih William, air matanya mulai menyatu dengan air hujan yang membasahi wajahnya.
Nova dengan d**a yang terlihat naik turun menyeka wajahnya yang basah, kedua matanya nampak tajam menatap wajah William. Air matanya pun menyatu dengan dinginnya air hujan yang membasahi wajahnya pun dengan tubuh langsingnya.
"Jangan pernah temui aku lagi, Tuan William. Aku cuma seorang p*****r!" teriak Nova, kilatan cahaya kembali menerangi malam membuat wajah tampan seorang William terlihat jelas meskipun tidak berlangsung lama. "Aku gak pantas bersaing dengan istri Anda yang cantik itu, Tuan. Aku cuma wanita kotor, aku ini p*****r hina. Jadi, jangan pernah temui aku lagi!"
Suara petir seketika terdengar nyaring sesaat setelah Nova menyelesaikan apa yang ingin dia ucapkan kepada pria itu. Tubuh keduanya pun benar-benar basah kuyup, hawa dingin mulai menyelusup menembus pakaian yang mereka kenakan. Bibir Nova mulai memutih karena menahan rasa dingin.
"Aku minta Anda kubur perasaan Anda sama aku karena aku pun akan seperti itu. Aku akan mengubur harapanku sama Anda, aku ditakdirkan buat jadi p*****r selamanya, Tuan. Tuhan aja gak kasih aku kesempatan buat bertobat. Tuhan gak akan pernah nerima tobatnya wanita kotor dan hina seperti aku. Jadi, kita akhiri semuanya sampai di sini. Lupakan aku karena aku pun akan melupakan Anda," teriak Nova, suaranya terdengar samar-samar seakan menembus derasnya air hujan. "Bagiku, Anda hanya mimpi indah yang singgah sesaat. Meskipun begitu, aku beruntung pernah dipertemukan sama Anda, Tuan. Makasih karena Anda pernah menghangatkan hatiku yang beku."
Suara petir kembali terdengar. Air hujan semakin deras membasahi tubuh keduanya. William seketika bergeming dengan tubuh gemetar, perasaannya hancur berkeping-keping, hatinya seakan patah. Cintanya seolah luruh terbawa derasnya air hujan.
"Saya gak mau, Nov. Saya cinta sama kamu, sungguh! Kalau kamu mau, saya bersedia menceraikan istri saya demi kamu," pinta William lemah dan bergetar seraya menggenggam erat pergelangan tangan Nova.
Nova perlahan melepaskan genggaman tangan William seraya menangis sesenggukan. "Lepasin aku, Tuan. Orang terhormat seperti Anda gak pantas memperjuangkan wanita kotor seperti aku," lemahnya dengan bahu yang berguncang.
Wanita itu melambaikan telapak tangannya saat taksi melintas tepat di depan mereka. Tanpa menunggu lama, Nova segera masuk ke dalam taksi dengan perasaan hancur juga menangis sesenggukan.
"Nova, tunggu saya, Nov," pinta William seraya mengetuk kaca mobil, tapi diabaikan. Taksi tersebut pun benar-benar melesat meninggalkan pria itu.
"Nova! Haaaaa!" teriak William menatap kepergian taksi yang membawa wanita yang ia cintai.
"Makasih karena Anda pernah singgah dalam hidup aku, Tuan William. Aku sempat menaruh harapan yang besar kepada Anda, tapi aku sadar bahwa aku gak pantas berharap sama suami orang, semoga Anda selalu bahagia bersama istri Anda, Tuan William," batin Nova mencoba untuk ikhlas melepaskan sesuatu yang memang bukan menjadi miliknya.
Bersambung