Kedua mata William seketika berkaca-kaca saat melihat wanita yang ia cintai diseret kasar oleh wanita bernama masam Lee. Hatinya serasa sakit luar biasa, tapi lebih sakit lagi ketika dirinya tidak mampu berbuat apa-apa karena kehadiran istrinya di sana.
"Maafin saya, Nova. Saya benar-benar minta maaf," batin William menjerit.
Nova yang tengah ditarik kasar oleh madam Lee melirik ke arah William dengan perasaan pilu. Batinnya menjerit, ia berharap pria itu menolongnya. Ya, meskipun hal tersebut mustahil karena Selly istri sahnya pun berada di sana. Hal itulah yang membuat hatinya bagai disayat beribu-ribu pisau tajam. Sepertinya, ia terlalu berharap banyak kepada suami orang. Tidak mungkin William melompat ke dalam kobaran api demi seorang p*****r. Buliran bening kembali bergulir deras. Kedua matanya kembali menatap lurus ke depan, di mana masa depannya kembali terlihat suram.
"Seharusnya aku gak terlalu banyak berharap sama kamu, Mas Willi. Siapalah aku? Aku cuma seorang p*****r, aku tak pantas bersaing dengan istri kamu yang cantik dan sempurna itu," batin Nova merasa perih.
Selly yang menyaksikan hal itu pun tidak mampu berbuat apa-apa. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwasanya wanta bernama Nova itu adalah seorang pekerja seks komersial, atau mungkin saja wanita itu dipaksa untuk melayani p****************g? Meskipun merasa iba, tapi tidak ada yang dapat ia lakukan untuk menolongnya. Selly berjalan menghampiri suaminya yang masih berdiri di tempatnya seraya menatap kepergian Novariyanti.
"Kasihan juga dia," decak Selly seraya menghela napas panjang juga berdiri tepat di samping suaminya. "Mas! Kamu kenapa? Kamu pasti kasihan sama Nova juga, 'kan?"
William seketika menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan kemudian menatap wajah Selly. "Dari mana kamu kenal sama dia?"
"Aku gak sengaja ketemu sama dia di atas. Tadi sih dia bilangnya mau diperkosa. Pokoknya kasihan banget deh, mana aku gak sengaja rusakin hp-nya dia lagi," jelas Selly.
"Ya Tuhan, hp kamu rusak, Nov? Terus, kalau saya mau ngehubungi kamu, gimana?" batin William.
"Jadi hp yang Mas beli ini buat dia?" tanya William seraya memperlihatkan paper bag yang masih ia genggam.
"Tadinya sih iya, tapi mau gimana lagi, dia udah pergi," jawab Selly seraya mengangkat kedua bahunya. "Kita pulang sekarang yu, Mas. Aku udah ngantuk banget."
William menganggukkan kepala dengan wajah datar. Pikirkannya benar-benar melayang, hatinya mulai dilanda rasa gelisah. Bagaimana jika madam Lee menyakiti Nova? Bagaimana jika wanita itu dipaksa untuk melayani p****************g lagi? d**a seorang William seketika terasa sesak.
"Ya Tuhan, tolong lindungilah Nova di manapun dia berada," batin William.
"Mas," sapa Selly seraya melingkarkan telapak tangannya di pergelangan tangan suaminya. "Kamu kenapa sih? Ko bengong gitu?"
"Hah? Ng-ngak ko saya gak apa-apa," jawab William lalu berjalan meninggalkan hotel bersama istrinya dengan hati dan perasaan hancur.
***
Madam Lee membawa Nova kembali ke kamar 201 di mana pria bertubuh gempal itu berada. Tubuhnya seketika dihempaskan ke dalam kamar sesaat setelah pintu dibuka dari dalam.
"Malam ini wanita ini milikmu, Tuan. Terserah Anda aja mau main berapa kali, bahkan kalau Anda mau main sampai pagi pun, aku gak keberatan," ujar madam Lee seraya menatap sinis wajah Nova.
"Hahahaha! Akhirnya malam ini kamu milik saya, ledis," sahut pria tersebut merasa senang.
Nova hanya bergeming dengan wajah datar. Ia benar-benar pasrah dengan keadaan yang ada saat ini, jika pria itu ingin dilayani sampai pagi pun, dirinya tidak akan menolak apalagi berontak, toh hidupnya sudah tidak ada artinya lagi usai diabaikan oleh pria yang ia cintai. Lagi dan lagi, buliran bening kembali bergulir dari sudut matanya, tanpa suara isakan, tanpa rengekan sebagai pertanda bahwa rasa sakit yang tengah dirasakan oleh wanita itu tidak main-main.
"Baiklah, selamat bersenang-senang," ujar madam Lee seraya tersenyum lebar lalu menutup pintu kamar.
"Lakukan apapun yang kau mau, Om. Aku gak akan kabur lagi," lirih Nova masih dengan ekspresi wajah yang sama. Wanita itu bahkan bergeming saat tubuhnya dibopong lalu dilemparkan ke atas ranjang kemudian dijamah sedemikan rupa.
"Sepertinya, takdirku emang jadi seorang p*****r, Tuhan aja gak ngizinin aku buat bertobat," batin Nova benar-benar putus asa.
***
Sementara itu, hujan deras mengiringi perjalanan William dan istrinya. Suara petir terdengar saling bersahutan dilengkapi dengan kilat yang sesekali menerangi kegelapan malam. William duduk di dalam mobil seraya menatap keluar kaca jendela di mana derasnya air hujan membasahi apapun yang berada di luar sana. Wajahnya nampak muram, pikirkannya benar-benar melayang memikirkan wanita lain, padahal istrinya sendiri tengah duduk tepat disampingnya. Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, akhirnya mobil yang mereka tumpangi mulai memasuki pintu pagar lalu melesat di halaman sebelum akhirnya berhenti di garasi mobil.
"Akh, akhirnya nyampe juga," decak Selly seraya membuka pintu mobil. Sementara William nampak masih bergeming, Selly menatap lekat wajah suaminya. "Mas, kamu gak mau turun? Kita udah nyampe lho. Dari ngelamun terus," tanya Selly menahan langkah kakinya.
"Eu ... Mas lupa, Sayang. Mas masih ada meeting penting lagi malam ini," jawab William akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel. "Kamu tidur duluan aja, ya. Gak usah nungguin Mas."
"Tapi, Mas--"
"Kita pergi lagi, Tommy. Saya takut klien kita marah," sela William seraya menyentuh pundak sang asisten yang masih duduk di kursi supir.
"Baik, Pak Bos," jawab Tommy patuh.
"Baiklah, kamu hati-hati di jalan, Mas," seru Selly lalu melanjutkan langkahnya kemudian menutup pintu mobil sesaat setelah ia benar-benar keluar dari dalamnya.
Tanpa menunggu terlalu lama, mobil Pajero berwarna hitam itu pun kembali bergerak mundur lalu melesat meninggalkan rumah mewah dua lantai tersebut.
"Apa kita akan balik lagi ke hotel, Pak Bos?" tanya Tommy seraya memutar stir mobil.
"Iya, kita balik ke sana. Perasaan saya gak tenang, Tommy. Saya takut si g***o sialan itu nyakiti Nova atau memaksa dia buat ngelayani tamu lagi," jawab William merasa khawatir. "Lebih cepat lagi, Tom. Saya takut terlambat datang ke sana."
Tommy menganggukkan kepala seraya menginjak pedal gas guna mempercepat laju mobil. Derasnya air hujan tidak menjadi penghalang, suara petir terdengar menggelegar mengiringi perjalanan mereka tidak membuatnya gentar. William ingin segera tiba di hotel dan menyelamatkan wanita yang ia cintai. Meskipun sebenarnya, semua yang ia lakukan itu terlambat karena Nova sudah terjebak bersama pria gendut yang tengah menikmati tubuhnya.
"Bertahanlah, Nov. Bertahanlah demi saya. Maaf karena saya sempat ragu buat melakukan ini. Semoga saya belum terlambat," batin William penuh harap.
Bersambung