Nova duduk di dalam taksi seraya menangis sesenggukan. Air matanya tidak berhenti bergulir, wajahnya benar-benar pucat, pakaian yang ia kenakan pun basah kuyup, tubuhnya mulai menggigil. Hawa dingin terasa menembus helai demi helai kulit tubuhnya hingga serasa membekukan setiap persediaannya di dalam sana. Penampilan wanita itu amat sangat berantakan. Supir taksi yang sedang menyetir menatap wajah Nova dari kaca spion seraya menghela nafas panjang.
"Anda tenang aja, Pak. Aku akan bayar lebih. Maaf, ini kursinya jadi basah gara-gara aku," ujar Nova, menyadari tatapan mata sang supir.
"Baik, Mbak," jawab supir tersebut kembali menatap lurus ke depan.
Perjalanan pun dilanjutkan bersama keheningan. Derasnya air hujan yang mengguyur kota mulai mereda menyisakan hawa dinginnya saja. Jalanan nampak licin dan mengkilap terlihat dari kejauhan. Hujan malam ini seolah mengiringi perpisahan sepasang sejoli yang terpaksa mengakhiri hubungan terlarang mereka. Akan tetapi, perpisahan tersebut hanya diinginkan oleh satu pihak saja karena William nampak tengah berjongkok di teras kediaman wanita bernama Novariyanti bersama motor matic yang diparkir di halaman membuat Nova yang baru saja tiba di sana seketika terperanjat.
"Astaga, ngapain Mas William ada di sini?" gumam Nova seraya melangkah keluar dari dalam taksi yang ia tumpangi. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakuin sekarang? Aku gak tega liat dia kayak gini, tapi aku harus tetap mengakhiri hubungan kami."
Wanita itu tidak segera memasuki halaman, kedua matanya nampak lekat menatap wajah William yang terlihat kedinginan seraya menelungkupkan kedua telapak tangannya di d**a. William seketika menoleh dan menatap ke arah wanita itu lalu berdiri tegak dengan tubuh gemetar. Bibirnya pun nampak bergetar menahan dinginnya udara malam.
"Akhirnya kamu pulang juga, Nov," ujar William berjalan menghampiri.
"Mau ngapain lagi Anda ke sini, Tuan?" tanya Nova berjalan mendekat seraya menatap tajam wajah William. "Seharusnya Anda langsung pulang aja, Tuan. Anda bisa sakit kalau terus-terusan kayak gini. Kamu tuh nyusahin banget ya jadi orang."
"Nyusahin?" William seketika mengerutkan kening dengan bibir bergetar seraya menghentikan langkahnya tepat di depan wanita itu.
"Iya, Anda tuh nyusahin banget. Apa Anda pikir aku benar-benar mencintai Anda, hah?" teriak Nova penuh emosi. Namun, semua itu hanya sebuah kepura-puraan saja. "Apa Anda tau, selama ini aku cuma manfaatin Anda. Aku cuma mau morotin duit Anda doang!"
William tersenyum hambar menahan rasa sakit. "Kamu pasti bercanda 'kan, Nov?"
"Nggak, siapa bilang aku bercanda, hah? Aku tuh gak cinta sama Anda, aku cuma cinta sama duit Anda, Tuan. Jangan terlalu naif deh jadi orang."
"Maafin aku, Mas William. Aku terpaksa ngomong kayak gini biar kamu benci sama aku," batin Nova menahan rasa perih.
"Saya udah jauh-jauh datang ke sini sambil ujan-ujanan, kamu cuma bisa ngomong kayak gitu?" lemah William, air matanya seketika luruh. Hatinya bagai disayat beribu-ribu pisau tajam. Rasanya benar-benar sakit.
"Emangnya siapa yang nyuruh Anda datang ke sini, Tuan William yang terhormat?" tegas Nova penuh penekanan. "Aku gak minta Anda buat datang ke sini. Nggak!"
William memalingkan wajahnya ke arah lain dengan kedua mata terpejam lalu kembali menatap wajah sang kupu-kupu malam. "Sekarang saya tanya sama kamu, Nov. Apa kamu pernah mencintai saya barang sedetik saja?"
"Cinta? Hahaha, ya ... cinta itu emang pernah singgah dihatiku, tapi bukan Anda yang aku cintai, Tuan. Aku cuma cinta sama duit Anda!"
Bagai disambar petir, perasaan seorang William semakin hancur berkeping-keping. Ia pikir, Nova adalah pelipurlaranya. Ia pikir wanita itu tulus dan bersungguh-sungguh akan berbuah demi dirinya, tapi harapannya sia-sia sudah. Ia pun terpaksa mengubur keinginannya untuk memiliki buah hati dari wanita itu. Nova tetaplah seorang wanita malam, seorang p*****r yang tidak pantas ia cintai. Rasa cinta itu pun seketika berubah menjadi benci.
"Jahat kamu, Nov," lemah William seraya menyeka kedua matanya yang membanjir.
"Ya, aku emang jahat. Jadi tolong, jangan pernah temui p*****r jahat ini, Tuan." Ucapan terakhir Nova sebelum akhirnya melangkah melintasi William begitu saja.
Tangisnya seketika pecah tanpa sepengetahuan pria itu. Bahunya pun nampak berguncang dengan d**a yang terlihat naik turun menahan sesak. Rasanya benar-benar sakit luar biasa. Seluruh dunianya seakan hancur tidak bersisa. Nova membuka pintu kediamannya dengan tubuh gemetar karena menahan isakan.
Sementara William masih bergeming ditempatnya. Kepalanya nampak mendongak menatap pekatnya langit malam seakan menahan air matanya agar tidak berjatuhan. Rasanya sia-sia saja ia menumpahkan air mata demi wanita seperti Novariyanti. Penyesalan demi penyesalan pun mulai menghinggapi relung hatinya dan terasa begitu menyesakkan. William memejamkan kedua matanya seraya bergumam.
"Terima kasih, Tuhan. Terima kasih karena Engkau telah menunjukkan siapa dia sebenarnya. Sekarang, saya akan belajar untuk setia sama istri saya." William seketika menoleh lalu menatap rumah sederhana milik sang kupu-kupu malam. "Dia adalah kesalahan terbesar dalam hidup saya. Semoga kita gak pernah ketemu lagi, Novariyanti. Jika hal itu sampai terjadi, anggap saja kita tak pernah saling mengenal."
William beranjak meninggalkan tempat itu menggunakan sepeda motor matic berwarna pink yang menjadi saksi bisu betapa besarnya perjuangan seorang William untuk wanita yang ia cintai, tapi pengorbanannya hanya dipandang sebelah mata, cintanya disia-siakan, bahkan harga dirinya diinjak-injak sedemikian rupa menyisakan kebencian di hatinya.
***
Lima Tahun Kemudian
William berjalan menuruni satu-persatu anak tangga menuju lantai satu. Pagi ini ia harus pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Pria itu bukan hanya memiliki perusahaan Ekspor Impor, tapi ia merambah bisnis lain dibidang perdagangan dan menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang baru saja lulus mengeyam pendidikan. William sukses membangun Mall di ibu kota dan hari ini, cabangnya yang berada di kota Kembang Bandung akan resmi dibuka. William berjalan menuju ruang makan dengan tergesa-gesa.
"Sarapan dulu, Mas," pinta Selly yang tengah duduk di meja makan seraya menikmati roti isi slay kacang.
"Kayaknya Mas sarapan di jalan aja deh, Mas buru-buru, Sayang," jawab William, seraya meraih lalu meneguk cangkir berisi kopi.
"Ya udah, kamu hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa berhenti dulu di rest area buat beli sarapan, oke?"
William menganggukkan kepala lalu melangkah mendekati sang istri. Satu kecupan pun mendarat di bibir istrinya sebelum pria benar-benar meninggalkan ruang makan.
"Selamat pagi, Pak Bos," sapa Tommy seraya membuka pintu mobil sesaat setelah William melangkah keluar dari pintu utama.
"Pagi juga, Tommy," jawab William segera memasuki mabil mewah berwarna hitam tersebut.
Tommy menutup pintu mobil setelah memastikan sang majikan duduk dengan nyaman di dalam sana. Ia pun melakukan hal yang sama dan siap untuk menyetir.
"Jam berapa pembukaan Mall baru kita di Bandung, Tom?" tanya William seraya menyandarkan punggung berikut kepalanya di sandaran jok mobil.
"Jam 10 pagi, Pak Bos," jawab Tommy sembari menyalakan mesin mobil.
"Sebelum kita ke sana, kita mampir dulu ke suatu tempat, Tommy."
Tommy yang tengah memutar stir menatap wajah William dari pantulan kaca spion. "Apa Anda mau ke rumah itu lagi, Pak Bos?"
William hanya bergeming.
"Maaf, saya tak bermaksud untuk ikut campur sama urusan pribadi Anda, Pak Bos, tapi rumah itu sudah lama kosong, Pak. Kita bahkan gak tau mbak Nova pindah ke mana. Saya pun sudah mencari wanita itu selama lima tahun ini, tapi mbak Nova seperti hilang ditelan bumi. Lebih baik, Anda coba buat melupakan dia, Pak Bos."
Bersambung