Jocelyn tersenyum tipis. “Kabar baik, sangat baik, dan aku baru sampai dari Paris. Kakak … hmm ... Kamu baru sampe juga?” Jocelyn bertanya canggung. Ia tidak tahu apakah ia masih bisa memanggil lelaki di hadapannya ini dengan panggilan kakak? Ia takut panggilan itu akan membuat lelaki di hadapannya mengingat luka yang ia ukir di dalam hatinya.
Ia merasa asing dengan lelaki di hadapannya. Begitu banyak yang berubah dari lelaki di itu. Lelaki itu memiliki rambut coklat panjang melewati kuping, potongan rambut lelaki itu adalah messy 'do seperti Michael C.Hall, potongan rambut yang tampak effortless namun terkesan elegan, hidung mancung yang sama, namun kini rahang lelaki itu terlihat lebih tegas dari saat terakhir Jocelyn bertemu dengannya. Yang tampak sangat berbeda dari lelaki itu adalah tatapan mata dan juga ekspresi wajahnya, lelaki itu telah kehilangan kehangatannya dan lelaki itu tampak begitu jauh darinya. Ia seakan tidak dapat mengenali lelaki itu lagi. Tangannya seakan tidak akan pernah bisa untuk menggapai lelaki itu.
“Siapa dia, Sayang?” wanita cantik berwajah bule itu memeluk lengan Jay dengan erat.
“Kenalkan, namanya adalah Jocelyn Enid. Dia adalah teman masa kecilku, teman yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri.” Jay tersenyum manis dan mempersilahkan wanita di sampingnya mengulurkan tangan kepada Jocelyn. Jocelyn seakan disambar petir di siang bolong, hatinya begitu sakit saat mendengarkan perkataan lelaki itu. Perkataan lelaki itu bahkan lebih tajam dari pisau, rasa perih menyerang hatinya.
“Adik Jay adalah adikku juga. Kenalkan, namaku Margareth Sutedja.” Margareth megulurkan tangannya sembari tersenyum manis. Jocelyn menutupi perasaan sakitnya dengan senyuman manis, ia menjabat tangan Margareth dan mengucapkan namanya.
Apakah ini balasanmu atas apa yang terjadi di masa lalu kita, Kak? Jika ini balasanmu atas kebodohanku. Aku mohon hentikan semua ini. Sakit, Kak. Perasaan ini sangat menyiksa.’ Jocelyn menatap kedua orang di hadapannya nanar.
Karmakah ini? Sekarang keadaan berbalik padanya. Sekarang ia tahu, betapa kejamnya ia memperlakukan Jay dulu. Membuat lelaki itu tersakiti dengan kata-katanya yang setajam pisau. Sekarang, lelaki itu membalas semua perlakuannya di masa lalu, dan Jocelyn hanya bisa tersenyum manis seperti apa yang dilakukan lelaki itu dulu.
“Kamu mau pulang? Bareng Kakak aja pulangnya. Kita naik taksi,” tawar Jay.
Jocelyn menggeleng dan tersenyum tipis. “Nggak, Kak. Makasih, tapi aku dijemput Papa.”
“Ohh, gitu. Ya udah, kami duluan ya.” Jay menepuk pundak Jocelyn dan berlalu meninggalkan wanita itu. Jocelyn mengangguk sekilas dan tersenyum manis.
Sepeninggalan lelaki itu Jocelyn hanya bisa menunduk. Air mata yang sedari tadi ditahannya keluar begitu saja dengan kepergian Jay. Rasa sakit menyiksanya, pedih yang mendera membuat dadanya sesak, seakan tidak ada oksigen yang dapat dihirup oleh paru-parunya. Jocelyn bersandar pada tembok yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri, kakinya terasa lemas dan tidak sanggup menahan berat tubuhnya. Kini, ia terkulai lemas di lantai dan menangis tersedu-sedu. Ia berharap air mata yang keluar melalui kedua matanya dapat mengurangkan sedikit rasa sesak yang menjalar di hatinya.
“Ini salah … semua ini salah … aku mohon bangunkan aku dari mimpi ini. Kembalikan lelaki itu ke dalam pelukanku. Aku mohon ….” Jocelyn terisak, lalu menenggelamkan wajah pada lututnya dan mulai menangis histeris. Untung saja tempatnya menangis saat ini tidak begitu ramai, sehingga tidak ada seorangpun yang memperhatikannya.
***
“Papa…” Jocelyn berlari ke arah seorang Pria berusia senja. Ia segera memeluk erat tubuh lelaki itu. Rasa rindunya tidak dapat dibendung lagi.
“Bienvenue à la maison.” Pria berusia senja itu mengecup kening putrinya dengan lembut.
“Ya, Pa. Je suis à la maison,” ujar Jocelyn sembari tersenyum manis.
“Bagaimana Paris?” Jhon menarik koper putrinya dan berjalan menuju mobil. Jocelyn memeluk lengan ayahnya dengan erat.
“Paris sangat menyenangkan, tapi aku merindukan Indonesia. Aku kangen dengan rasa gado-gado dann aku pengen makan gado-gado, Pa.” Jocelyn tersenyum lebar.
Jhon terkekeh pelan. “Jauh-jauh ke luar negeri yang dikangenin cuma gado-gado, nih?”
Jocelyn tergelak pelan. “Aku kangen Mama dan Papa. I love you so much, Pa.” Jocelyn mengecup pipi kanan ayahnya dan tersenyum manis. Mereka berdua tersenyum bahagia dan memulai perjalanan menuju rumah.
Bienvenue à la maison. = Welcome home, Je suis à la maison = i'm home
***
Jocelyn berlari sekencangnya saat melihat wanita berusia senja yang menyambutnya di depan pintu rumah mereka. Ia memeluk wanita itu erat dan berulang kali mengecup kedua pipi wanita itu. Ibunya tidak terlihat semuda dulu, keriputan sudah mulai menghiasi wajah cantiknya, tetapi bagi Jocelyn wanita itu adalah wanita paling cantik di dunia ini.
“Anak mama akhirnya mau pulang ke Jakarta juga.” Angel mengacak puncak kepala putrinya sembari tersenyum.
“Iya, Ma. Biar gimanapun, Indonesia adalah tempat kelahiranku. Nggak mungkin kalau aku nggak kembali ke negeriku sendiri, ‘kan?” Jocelyn terkekeh pelan.
“Gitu, dong. Dari dulu Mama minta kamu melanjutkan kuliah di Jakarta, tapi kamu yang nggak mau.” Angel mendengkus kesal, “Mama sudah siapkan gado-gado untukmu, Sayang. Mama tahu pasti kamu pengen makan gado-gado.” Angel menarik tangan Jocelyn untuk masuk ke rumah mereka.
“You are the best, Mom,” ujar Jocelyn, lalu mengecup pipi kanan ibunya.
Seandainya ibunya itu tahu alasan apa yang membuatnya memilih Paris sebagai tempat melanjutkan pendidikan. Pasti ibunya akan dengan senang hati membiarkannya pergi meninggalkan Jakarta. Ia tidak bisa melanjutkan hidup di kota yang menyimpan begitu banyak kenangan akan dirinya dan lelaki itu. Terlalu sakit baginya saat melalui setiap jalanan yang selalu dilaluinya bersama dengan lelaki itu. Dadanya terasa begitu sesak saat ia melihat jalanan tempat di mana perpisahannya dengan lelaki itu. Kenangan menyakitkan, membuatnya memilih pergi dan menjauh. Ia mencoba mengobati hatinya sendiri.