Wanita itu melihat keluar jendela dan memperhatikan pemandangan di luar sana dengan tatapan kosong. Ia memejamkan mata, sekelilingnya seakan hening dalam seketika. Suara sang pramugari yang tengah menjelaskan standart keamanan di pesawat itu sudah tidak terdengar lagi saat ini. Sunyi dan juga damai menyelimuti hatinya.
Sembilan tahun telah berlalu. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Paris selama empat tahun lamanya, wanita itu akhirnya kembali lagi ke negerinya sendiri. Sembilan tahun sudah ia menunggu kabar lelaki itu, selama itu pula ia tak mendapatkan kabar apa pun. Ia hanay pengecut yang memutuskan meninggalkan negeri sendiri demi mengubur rasa yang tak kunjung hilang. Waktu terus berjalan, kehidupannya telah berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada lagi sosok lelaki yang selalu bisa diandalkan, tidak ada lelaki yang mencintainya seperti dulu, lelaki itu menghilang begitu saja dari hidupnya. Walaupun kedua orang tua mereka masih berhubungan baik, tetapi kedua orang tuanya tidak pernah sedikitpun mengungkit masalah lelaki itu di hadapannya, dan semua itu membuatnya hampir saja kehilangan kewarasannya.
“Please fasten your seatbelt, Miss.” suara seorang perempuan menyadarkan Jocelyn dari lamunan panjangnya.
Jocelyn tersenyum tipis. “Okay, thank you.” Jocelyn mengaitkan sabuk pengaman. Ia tersenyum tipis saat menyadari kebiasaannya yang tidak suka menggenakan sabuk pengaman itu tidak pernah berubah sedikit pun. Tampaknya memang ada beberapa hal yang tak akan pernah bisa diubah, begitu juga dengan hatinya. Lelaki itu adalah satu-satunya cinta yang mengisi hati.
Menit demi menit telah berlalu, Jocelyn memperhatikan awan putih di luar sana dan mulai membayangkan bagaimanakah reaksinya jika bertemu kembali dengan lelaki itu di Jakarta? Sembilan tahun telah berlalu, lelaki itu pasti telah kembali ke Jakarta, bukan? Ia tidak tahu apakah lelaki itu masih hangat dan penuh cinta seperti dulu, atau lelaki itu telah berubah total menjadi sosok yang tidak dapat ia kenali. Yang ia tahu, saat ini takdir tengah mempermainkan cintanya, mempermainkan hatinya yang serapuh kaca.
Tok ... tok ...
Jocelyn mengetuk pintu kamar mandi pesawat yang ditumpanginya. Berulang kali ia mendengkus kesal saat seseorang yang menggunakan kamar kecil itu tidak keluar-keluar juga. Ia sudah tidak sabar menunggu orang yang sedari tadi menguasai kamar mandi itu untuk segera keluar.
“Anybody in there? I wan't to use the toilet.”
Jocelyn membalikkan tubuh dan memunggungi toilet tersebut saat tak menerima respon apa pun dari dalam sana. Nih orang ngapain sih?Pake toilet lamanya bukan main. Rutuknya dalam hati.
“We are done. You can use the toilet now.” Suara seorang wanita membuat Jocelyn membalikkan tubuhn.
“Okay … thank you.” Jocelyn mengerutkan kening saat melihat wanita yang tampak berantakkan. Bibirnya terlihat membengkak dan dress yang dikenakan wanita itu tampak berantakkan. Jocelyn melirik lelaki yang berjalan menjauhi mereka, lelaki itu tampak dingin dan tak acuh dengan wanita yang dibuatnya berantakan itu. Punggung lelaki itu lama-kelamaan mulai menghilang dari pandangannya.
We? Tuh cewek berduaan di dalam toilet kecil? Dasar pasangan m***m.
Seharusnya mereka menggunakan toilet umum sesuai fungsinya. Ia heran, mengapa tak bisa menunggu untuk melakukan hal yang mereka inginkan di tempat yang lebih privasi. Tidak mau memikirkan pasangan m***m itu lebih lama, ia segera masuk ke dalam toilet yang sedari tadi dinantikan olehnya.
***
“Iya Ma. .. Ini Jo baru nyampe,” Jocelyn menghela nafas panjang, “Jo nggak mau dijemput mamaku sayang. Jo masih tahu jalan pulang, kok.” Jocelyn terkekeh pelan mendengar ibunya yang begitu antusias untuk menjemputnya, ibunya tidak sabar ingin bertemu dengannya.
“Papamu sudah berangkat ke bandara, Sayang. Kamu akan bertemu dengan papamu nanti.”
Jocelyn mengerucutkan bibir. “Aku udah berumur duapuluh dua tahun, Ma.”
“Kamu tetap anak kami satu-satunya, Sayang.”
Jocelyn tersenyum lebar. “Ok … ok … Jo nyerah sama si Mama cantik. Tunggu anakmu ini pulang ya. I love you, Mom.”
“I love you too, Dear.”
Jocelyn menutup panggilan dan tersenyum lebar menatap layar ponselnya. “Welcome to Jakarta, Jocelyn Enid.”
“Hmm … I wan't more, Honey.”
Jocelyn mengerutkan kening saat mendengar suara mendesah yang menyakitkan telinga. Jocelyn mencoba mencari sumber suara dan membuka kedua matanya dengan lebar saat melihat sepasang manusia yang tengah berciuman dengan rakus di bawah tangga dekat tempatnya menunggu. Walaupun wanita itu memunggunginya, ia tahu bahwa wanita itu adalah wanita sama yang berada di dalam pesawat dengannya tadi. Ia menggeleng-geleng, merasa heran melihat pasangan m***m yang tidak tahu tempat itu.
Lelaki yang tengah mencium wanita di hadapannya itu membuka kedua mata dan pandangan matanya bertemu dengan Jocelyn. Ia menatap Jocelyn intens tanpa menghentikan kegiatannya. Secara tiba-tiba seluruh tubuh Jocelyn menjadi lemas, jantungnya seakan copot saat melihat sepasang mata yang terbuka itu, mata berwarna biru safir. Ya, Jocelyn sangat yakin dengan apa yang dilihatnya, mata itu adalah mata milik lelaki yang selama sembilan tahun ini mengisi hatinya. Tetapi tatapan mata itu tidak sehangat dan selembut dulu, sepasang mata lelaki itu terlihat kosong dan dingin, membuatnya merasa sesak yang luar biasa di d**a.
Jocelyn menoleh ke arah lain dan hendak meninggalkan lelaki yang telah berhasil membuatnya patah hati. Sungguh kejam takdir yang telah mempermainkannya. Bagaimana takdir bisa mempertemukannya dengan lelaki itu dalam keadaan mengenaskan seperti saat ini? Pemandangan itu membuat hatinya hancur berkeping-keping. Hatinya tak kuasa menahan perih yang menyelimuti. Mengapa setelah sekian lama jarak dan waktu memisahkan, hari ini ia bertemu kembali dengan lelaki itu?
“Jocelyn Enid.” Panggilan lelaki itu membuat Jocelyn menghentikan langkah. Suara itu telah berubah, terdengar dalam, dan lebih dewasa daripada saat terakhir ia mendengar suara lelaki itu. Ia menarik nafas panjang, lalu menghelanya sebelum membalikkan tubuh ke arah lelaki itu.
“Ya?” hanya satu kata itu yang dapat keluar dari mulutnya, lelaki itu tersenyum dan berjalan ke arahnya.
“Kamu baru sampe? Dari mana, Jo? Gimana kabarnya? Nggak nyangka kita bisa ketemu di sini, udah lama kita nggak ketemu ya, Jo?” Lelaki itu menghujani Jocelyn dengan begitu banyak pertanyaan. Lelaki itu tersenyum manis, walaupun lelaki itu berada di hadapannya saat ini, tetapi ia terasa begitu jauh bagi Jocelyn.