Mereka bertiga duduk pada meja makan berbentuk persegi panjang dan mulai menyantap makanan yang telah disediakan di meja itu.
“Kamu mau kerja di Jakarta atau kembali ke Paris? Sebaiknya kamu segera mencari pekerjaan jika ingin tinggal di sini.” Jhon bertanya kepada putrinya yang tengah menyantap sepiring gado-gado di hadapannya dengan lahap.
“Tadinya aku pengen tinggal di sini, tapi setelah melihat Papa yang menyebalkan. Aku lebih memilih pulang ke Paris dan tinggal di rumah kakek yang ada di sana. Setidaknya, kakak nggak akan mengusirku dan menyuruhku langsung bekerja.” Jocelyn mengerucutkan bibir.
Jhon tertawa geli melihat wajah putrinya. “Apa yang Papa lakukan sehingga kamu bilang kalau Papamu yang ganteng ini menyebalkan?”
“Papa udah tua nggak usah sok ganteng lagi.” Jocelyn meleletkan lidah ke arah Jhon.
“Lihat putrimu itu, Sayang. Bagaimana bisa dia mengataiku tua?”
Angel terkekeh geli. “Kamu memang sudah tua, Jhon. Seharusnya kita sudah menimang cucu di usia senja seperti ini.”
“Bagaimana kalau kita jodohkan Jocelyn supaya dia cepat memberikan kita seorang cucu?” Jhon menatap Jocelyn dengan mata berbinar-binar.
“Papa kira ini zaman apa? Perjodohan itu sudah punah. Zaman sekarang orang-orang juga nggak tahu apa artinya kata perjodohan itu.” Jocelyn memutar mata jengah.
Angel dan Jhon tertawa secara bersamaan. Setidaknya, itulah yang dulu pernah mereka pikirkan. Perjodohan sudah punah, tetapi kenyataan berkata lain, mereka berdua bahkan menikah karena perjodohan yang tidak masuk akal.
“Papa dan Mama saja menikah karena dijodohkan.” Jhon tersenyum bangga.
Jocelyn memutarkan kedua bola matanya. “Ada maksud terselubung di dalam perjodohan itu. Jika Mama nggak mencintai Papa, Mama pasti nggak mau menerima perjodohan absurd.”
“Sudah … sudah … baru berkumpul lagi kok malah mulai berdebat.” Angel mencoba melerai perdebatan antara suami dan putrinya itu.
“Papa yang mulai.”
“Jocelyn Enid yang memulai perdebatan ini,” ujar Jhon tidak mau kalah dari putrinya.
Mereka bertiga tertawa secara bersamaan. Jocelyn sungguh merindukan saat-saat berkumpul dengan keluarganya seperti saat ini. Ia merindukan kehangatan keluarga yang selalu menguatkannya dalam setiap keadaan. Ia tidak berencana tinggal di Jakarta karena Jay sudah menghilangkan niatnya menetap di Indonesia.
***
Jocelyn mengadah wajah dan menatap sendu langit yang dipenuhi bintang. Ia memejamkan mata, mencoba menikmati desiran angin malam yang membelai lembut pipinya. Berdiri di balkon kamar seperti saat ini, membuatnya mengenang masa lalu yang begitu indah. Jocelyn mencoba memutar ulang kenangan indah itu, saat di mana ada dirinya dan Jay di sana.
“Kamu mau dengar lagu apa, Jo?” Jay memiringkan wajah dan menatap Jocelyn lembut. Ia membelai lembut wajah gadis remaja itu.
“Hmm ...” Jocelyn tampak berpikir sejenak. “Apa aja, Kak.” Jocelyn tersenyum lebar, ia menyandarkan kepala pada pundak Jay.
Jay memetik gitar dan alunan intro lagu mulai memenuhi indera pendengaran mereka. Keduanya memejamkan mata mereka saat mendengarkan alunan musik yang indah.
From my youngest years till this moment here
I've never seen such a lovely queen
From the skies above to the deepest love
I've never felt crazy like this before
Suara merdu milik Jay membuat Jocelyn tersenyum saat mendengarkannya, senandung lelaki itu selalu membuatnya merasa bahagia. Jay dan ayahnya sama-sama gemar menyanyi untuk orang yang mereka sayangi.
Paint my love, you should paint my love
It's the picture of a thousand sunsets
It's the freedom of a thousand doves
Baby you should paint my love
Been around the world then I met you girl
It's like coming home to a place I've known
Jocelyn mengadahkan wajah dan manik matanya bertemu dengan mata Jay. Lama mereka saling berpandangan dengan lembut, lalu Jocelyn kembali memejamkan mata, mencoba menikmati senandung Jay yang terdengar begitu merdu.
Paint my love, you should paint my love
It's the picture of a thousand sunsets
It's the freedom of a thousand doves
Baby you should paint my love
Since you came into my life
The days before all fade to black and white
Since you came into my life
Everything has changed
Jocelyn membuka matanya kembali dan senyuman manis Jay menyambutnya. Mereka berdua bertukar senyum. Malam-malam yang mereka lalui bersama amatlah indah. Ada Jay dan dirinya yang duduk di balkon kamar. Mereka akan bercerita tentang banyak hal, bercanda, dan bernyanyi bersama. Masa-masa yang tidak akan mungkin bisa terulang kembali
Air matanya mulai mengalir melalui kedua sudut mata Jocelyn. Rasa sesak dan sakit itu kembali lagi. Rasa cintanya tidak pernah hilang sedikitpun. Semua kenangan bersama Jay membuat hatinya pedih bukan main. Ia tak tahu kapan semuanya dimulai, saat tidak dapat mencintai lelaki lain, selain Jay.
“Apa kita harus berakhir seperti ini?” gumam Jocelyn lirih. Ia tersenyum miris ke langit, seakan menyalahkan Tuhan yang ada di atas sana karena telah mempermainkan hatinya, mempermainkan takdir yang selalu membuat mereka berdua tidak bisa bersatu. Salah, seharusnya ia tidak menyalahkan sang takdir karena dari awal dirinya lah yang bersalah. Dirinya terlalu bodoh untuk mencintai dan menerima cinta dari lelaki itu. Sekarang hanya ada penyesalan yang menghiasi hatinya.
***
“Kak, Jonathan … Apa kabarmu, Kak? Sudah lama kita nggak berjumpa ya?” Jocelyn mengusap-usap batu nisan di hadapannya dengan lembut.
Jonathan adalah kakak lelakinya yang tidak sempat menikmati indahnya dunia seperti dirinya. Semenjak dulu, kedua orang tuanya selalu membawanya menemui kakaknya itu, mereka sekeluarga sering berkumpul di depan batu nisan dan saling berbagi cerita layaknya sebuah keluarga yang tengah berkumpul dan menghabiskan waktu bersama.
“Aku tahu kamu pasti bahagia di atas sana.” Jocelyn tersenyum ke arah langit, “Kamu tahu Kak. Terkadang, aku merasa hidup ini nggak adil. Aku nggak tahu, kenapa Tuhan nggak membiarkanmu hidup di dunia ini? Mengapa Tuhan nggak membiarkanku merasakan kasih sayang seorang kakak darimu? Jika kamu ada di sini, mungkin saja aku nggak akan pernah menyakiti Kak Jay. Mungkin juga, aku bisa dengan cepat menyadari perasaanku padanya. Kenapa kakak membiarkanku menyalahartikan perasaanku ini, Kak? Rasanya sakit, Kak.” Air mata itu kembali turun dan membasahi pipi Jocelyn.