“Mari kita pulang ke Paris, Ken.” Jocelyn mengadahkan wajahnya dan menatap Ken dengan memelas.
Ken tersenyum manis menatap Jocelyn. “Kita akan menetap di Jakarta, Jo.” Ken mengusap puncak kepala Jocelyn dan membiarkan Jocelyn kembali menyandarkan kepalanya pada bahunya, “Lo lupa kalau gue udah janji sama bokap lo, gue bakalan direstui pacaran sama lo kalau gue bisa bujuk lo untuk menetap di Jakarta.” Ken melanjutkan perkataannya.
“Lo nggak perlu dengerin perkataan bokap gue, dia itu emang suka nyebelin.” Jocelyn mendengus kesal.
Ken mengacak puncak kepala Jocelyn. “Lo tuh nggak peka banget jadi orang, bokap-nyokap lo tuh kangen sama lo Jo, lo anak mereka satu-satunya, mereka nggak mungkin biarin lo ninggalin mereka lagi, lagian bokap-nyokap lo kan udah tua Jo, lo harus berada di samping mereka, jaga mereka berdua. Lo tuh beruntung banget punya dua orang tua sebaik mereka, nggak enak kalau udah nggak punya orang tua kayak gue.” Ken menceramahi Jocelyn dengan panjang lebar.
Jocelyn menghela nafas panjang. Ia akui bahwa selama ini ia adalah wanita yang egois, demi menyembuhkan luka hatinya, ia kerap melupakan kebahagiaan kedua orang tuanya. Jocelyn tersenyum lirih menyadari kebodohannya, kata-kata Ken selalu mampu menenangkan dan menyadari semua kesalahannya.
“Ok..ok.. Gue nyerah, kita akan tinggal di Jakarta.” Jocelyn melingkarkan tangannya pada pinggang Ken. Lelaki itu tersenyum lega melihat kekasihnya yang keras kepala akhirnya mau mendengarkan perkataannya.
“Jo,” Panggil Ken.
“Apa Ken?” Jocelyn bergumam pelan.
“Mulai sekarang kita rubah panggilan kita ya Jo, jangan panggil lo-gue lagi, kita rubah jadi aku-kamu biar lebih mesra gitu.” Ken tersenyum lebar.
Jocelyn terkekeh pelan. “Ya ampun Ken, gue tuh udah biasa manggil lo itu dengan sebutan lo, dari zaman kita sekolah, panggilan itu udah mendarah daging, aneh rasanya manggil lo itu pake kata kamu.”
Ken mendengus kesal. “Semua itu harus di rubah Jo, karena aku mau kamu jadi istri aku, masa suami-istri manggilnya lo-gue?”
Senyuman menghilang begitu saja dari wajah Jocelyn, wajah cantik itu berubah suram saat mendengarkan angan-angan Ken, ia tahu memberi harapan palsu pada Ken adalah sebuah kesalahan besar, tetapi ia tidak tega untuk menolak cinta lelaki yang sudah banyak berkorban untuknya itu.
Ken menggenggam erat tangan Jocelyn dan menatap ke dalam manik mata wanita itu. “Aku mau kamu menjadi istriku, Jo. Walaupun waktuku tidak banyak lagi, aku ingin melihatmu mengenakan gaun pengantin, aku ingin menjadi lelaki yang berdiri di sampingmu di atas altar. Aku tahu impianku ini gila, aku tahu bahwa aku itu egois, tetapi bisakah kamu mengabulkan permintaan terakhirku Jo?maukah kamu menikah denganku?” Ken tersenyum manis dan menatap Jocelyn penuh harap.
“Ken...” Gumam Jocelyn dengan lirih. Ia tidak bisa menikah dengan Ken, rasa iba yang ia rasakan akan membuatnya semakin bersalah jika ia menikah dengan lelaki itu. Bagi Jocelyn menikah dengan Ken, artinya sama saja membuat lelaki itu lebih terluka dengan cinta yang tak berbalas.
“Kamu nggak perlu jawab sekarang Jo. Walaupun aku tidak setampan Jay, aku tidak sekaya Jay, tetapi aku yakin bahwa aku bisa membahagiakanmu.” Ken mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Jocelyn, “Bukan harta yang bisa kuberikan untukmu, hanya cinta yang tulus dan hatiku yang bisa kuberikan untukmu,Jo.”
Air mata Jocelyn mengalir begitu saja saat mendengarkan perkataan Ken, ia memeluk lelaki itu dengan erat dan menangis di dalam dekapannya. “Aku sayang sama kamu Ken, aku mau jadi pengantin kamu,” ujar Jocelyn sembari terisak.
“Makasih Jo, makasih sayang.” Ken tersenyum manis dan mengecup kening Jocelyn penuh kasih. Mereka saling tersenyum dengan air mata yang telah jatuh dari kedua pasang mata mereka masing-masing, Ken menempatkan tangannya di balik tekuk Jocelyn dan mendekatkan bibir wanitanya itu pada bibirnya, ia melumat bibir Jocelyn dengan lembut, Jocelyn turut membalas ciuman Ken dengan air mata yang tidak dapat ia kontrol.
Ia tahu bahwa waktu yang Ken miliki tidak banyak, ia tahu satu-satunya alasannya untuk menerima Ken di dalam kehidupannya hanyalah di dasari dengan rasa iba. Tetapi sekarang rasa iba itu membuatnya tidak sanggup untuk melihat lelaki yang di sayanginya itu untuk terus bersedih. Mungkin, Tuhan sudah menuliskan takdir bagi Jocelyn, takdir di mana Jocelyn tidak akan pernah lagi menjadi pengantin untuk seorang Jay.
Cinta tidak harus memiliki bukan?cukup melihatnya dari kejauhan sudah lebih dari cukup bagi Jocelyn, biarlah ia menikmati rasa cinta yang terasa begitu perih dan menyiksa.
***
“Kamu selalu dingin Jay, kenapa kamu nggak bisa sedikit saja hangat padaku?.” Margareth mengerucutkan bibirnya dan menguncangkan lengan Jay.
“Hmm..”Gumam Jay pelan tanpa menghiraukan Margareth.
Margareth mendengus kesal dan memukul lengan Jay.”Kamu jahat!”
“Kamu mau apa sih Mar?aku lagi sibuk, kamu nggak lihat dokumen yang menumpuk di depanku.” Jay berkata dengan sarkastis.
“Jay kamu itu batu apa orang sih? Setahun sudah aku menunggumu Jay, setahun sudah aku terus bertahan dengan sifat dinginmu, setahun lamanya sudah aku hanya menjadi pelampiasan nafsumu, tapi apa selama setahun ini kamu tidak memiliki sedikit perasaanpun untukku?”
Jay menghembuskan nafas gusar.”Mari kita menikah!” Ujar Jay tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Margareth.
Margareth membelalakkan kedua matanya dengan lebar. Ia rasa ada yang salah dengan pendengarannya. “Menikah?apa kamu baru saja melamarku?”
Jay menganggukkan kepalanya tanpa melihat ke arah Margareth. Tanpa ia lihat reaksi wanita itu, ia sudah yakin wanita itu sangat bahagia dengan lamarannya barusan.
“Maksud kamu menikah, menjadi suami-istri?apa kamu serius Jay?” Margareth menangkup wajah Jay dengan kedua tangannya, ia mengarahkan wajah Jay ke arahnya. “Apa maksudmu melamarku Jay?”
“Bukankah itu yang kamu mau?sebuah ikatan pernikahan?” Jay berkata dengan sarkastis.
Margareth tersenyum miris. Ya, sedari dulu ia memang ingin menjerat Jay untuk menjadi suaminya. Ia tidak akan menyia-nyiakan lelaki setampan dan sekaya Jay untuk lepas dari jeratannya. Tetapi mendengarkan lamaran Jay yang sedingin es itu membuat hatinya sakit.
“Jay, apa kamu mencintaiku?” Margareth bertanya kepada Jay dengan lirih.
Jay tersenyum sinis. “Sejak kapan kamu mengharapkan cinta dariku? Bukankah dari awal semuanya sudah jelas bagimu? Aku memberikanmu uang, kedudukan tapi tidak dengan cinta.”
Margareth tersenyum lirih. Ia lupa bahwa Jay menerimanya hanya sebagai teman tanpa status yang bisa dimainkannya begitu saja. Ia lupa jika selama ini hati Jay yang beku tidak dapat tersentuh oleh siapapun. Ia lupa jika selama ini perjuangannya mendapatkan Jay hanya untuk kedudukan dan harta. Tanpa ia sadari permainan yang dimulainya itu telah menjeratnya sendiri.
“Ok, mari kita menikah!” Margareth tersenyum manis, mencoba menutupi rasa sakit yang di rasakannya. Sudah seharusnya kisahnya dengan Jay adalah sebuah kisah tanpa perasaan cinta di dalamnya.