Mungkin saja, bila kakaknya itu hidup di dunia ini, maka ia tidak akan merasakan bahwa rasa cintanya kepada Jay adalah cinta kepada seorang kakak. Tapi, apakah ia bisa mengubah apa yang sudah dituliskan oleh Tuhan? Ia hanyalah manusia yang tidak bisa mengubah semua yang telah terjadi di dalam hidupnya, ia hanyalah manusia kerdil yang tak sempurna.
“Lo nggak bisa nyalahin Kakak lo begitu, Jo.”
Jocelyn mengarahkan wajah ke sumber suara tersebut. Senyuman manis milik seorang lelaki tampan berwajah oriental menyambutnya. Jocelyn tersenyum tipis, lelaki itu berlutut di hadapannya, lalu mengusap air matanya dengan lembut.
“Ken …,” Jocelyn memanggil nama lelaki di hadapannya itu dengan lirih. Lelaki di hadapannya tersenyum manis dan mengusap pipi Jocelyn dengan lembut.
“I’m here, Jo.”
Jocelyn memeluk tubuh lelaki di hadapannya dengan erat dan menangis terisak di dalam pelukan lelaki itu. Sedari dulu, hanya lelaki di hadapannya itulah yang menjadi sandarannya saat bersedih. Lelaki itu selalu ada untuk menguatkan hatinya yang rapuh.
“Masa ketemu pacar malah nangis?”
Jocelyn mengerucutkan bibir. “Kita masih pacaran, ya?”
“Perjanjian masih berlanjut, Pacar cantikku. Sampai mata ini tertutup, kita masih pacaran.” Ken mengecup kening Jocelyn.
“Lupakan perjanjian itu, Ken. Gue nggak mau hubungan kita ini hanya didasari sebuah perjanjian konyol. Gue tulus mau jadi pacar lo. Walaupun gue nggak bisa mencintai lo seperti gue mencintai lelaki itu, tapi gue nggak akan pernah ninggalin lo.” Jocelyn memeluk tubuh Ken dengan erat, lelaki itu tersenyum bahagia.
“Udah dari dulu gue lupain perjanjian konyol itu.” Ken terkekeh pelan, “Maaf ya, gue nggak bisa pulang bareng lo. Tadi gue ke rumah dan mama lo bilang kalau lo di tempat Kak Jonathan. Ternyata lo lagi curhat tentang lelaki lain di sini sama Kak Jonathan.”
Ada perasaan yang menyesakkan d**a saat melihat wanita yang dicintainya menangis karena lelaki lain. Walaupun Ken tahu bahwa selamanya hanya ada nama Jay di dalam hati Jocelyn, tetapi ia tidak peduli. Ia sudah tahu akibatnya saat membuat perjanjian konyol dengan Jocelyn. Sedari dulu, Ken berusaha untuk menghapus cinta itu dari hati Jocelyn, tetapi usahanya sia-sia. Cinta yang telah tumbuh dengan kuat itu tidak akan pernah mungkin bisa dihapus begitu saja.
Jocelyn menunduk, merasa bersalah saat melihat Ken yang merasa sedih karenanya. Ken tersenyum lebar dan mengacak puncak kepala Jocelyn. “Udah bilang ke mama-papa lo kalau kita pacaran?”
Jocelyn mengerucutkan bibir. “Dari setahun yang lalu, gue nggak pernah cerita apa pun tentang lo ke orang tua gue.”
“Teganya … punya pacar tapi nggak diakui.” Ken menggembungkan kedua pipi.
Jocelyn terkekeh geli. “Nanti gue kenalin . Kita pulang yuk, pacar!” Jocelyn melingkarkan tangan pada lengan Ken, “Aku pulang dulu ya, Kak. I love you, Kak.” Jocelyn mengecup batu nisan kakak kandungnya sebelum pergi meninggalkan tempat di mana kakaknya beristirahat dengan tenang.
Ia tahu bahwa tidak bisa menyalahkan siapapun atas kesalahan yang telah dibuatnya. Ia tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubah apa yang telah terjadi. Hidup harus terus berlanjut, bukan? Selama setahun lamanya ia sudah mencoba melupakan Jay dengan lelaki yang bernama Ken itu. Tetapi nyatanya cinta itu terlalu kuat untuk dilupakan. Saat ini mereka berdua sudah memiliki seseorang yang selalu berada di samping mereka dan mungkin ini saatnya bagi keduanya untuk menutup buku masa lalu dan memulai lembaran baru di mana tidak ada air mata yang menghiasi kisah baru itu.
Biarlah cinta dan kenangan menjadi sebagian dari masa lalu yang tidak akan pernah mereka lupakan. Jocelyn tahu kepulangannya saat ini akan mempertemukannya kembali dengan Jay, ia pikir hati dan pikirannya sudah cukup kuat untuk berhadapan dengan lelaki itu. Nyatanya, ia tidak siap sama sekali untuk bertemu lelaki itu.
***
Wanita itu memandang foto yang berada di nakas samping tempat tidurnya dengan tatapan sendu. Ia tersenyum lirih, lalu mengusap foto lelaki yang tengah tersenyum manis sembari merangkul pundaknya.
“Belenggu waktu telah mengubah kita berdua, Kak. Meniadakan perasaan yang dulu terasa begitu indah. Kini, rasa itu menjelma menjadi pedih yang menyesakkan d**a. Adakah jalan yang akan membawamu kembali kepadaku?” Jocelyn berkata lirih. Lelaki itu telah lama menunggu cintanya dan saat ia merasakan cinta yang sama, lelaki itu malah pergi menjauh dan meninggalkannya. Ia tidak tahu apakah masih ada setitik cinta untuknya di dalam hati lelaki itu.
“Jo.” Angel berdiri di ambang pintu kamar putrinya dan memanggil nama putrinya itu dengan lirih. Ia mengerti dengan perasaan putrinya. Selama ini, Angel mencoba menyakinkan Jocelyn bahwa semuanya akan baik-baik saja, jodoh tak akan lari kemana. Ia selalu memberitahu putrinya itu, sejauh apa pun mereka berlari menjauh, jika memang jodoh mereka akan bersatu kembali.
“Ma,” ujar Jocelyn sembari tersenyum manis. Ia merasa beruntung karena mewarisi topeng senyuman manis milik ayahnya. Sekarang ia telah tumbuh menjadi wanita yang selalu menutupi rasa dukanya dengan senyum penuh kepalsuan.
Angel berjalan ke arah Jocelyn, ia duduk di samping putrinya dan tersenyum manis. “Sudah sembilan tahun, Jo. Sudah saatnya kamu bertemu dengan Jay.” Angel membelai rambut Jocelyn, “Jay sudah kembali ke Jakarta. Mama Cora mengundang kita sekeluarga untuk berkumpul di rumahnya.” Angel melanjutkan perkataannya dan menggenggam tangan putrinya itu dengan erat, seolah ingin menyakinkan putrinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Jocelyn menggeleng lemah. “Aku nggak mau ikut, Ma. Aku sakit perut.” Jocelyn meremas perutnya yang tidak sakit.
Angel tersenyum tipis. “Sampai kapan kamu mau terus menghindar? Apa seumur hidupmu, akan kamu habiskan dengan berlari menjauh dari Jay?” Angel menatap ke dalam manik mata putrinya, mencoba mencari setitik kejujuran di dalam mata putrinya, “Jangan pernah menghindari perasaanmu sendiri, Jo. Cinta itu bukanlah perasaan yang bisa kita cegah. Mama sudah membuktikannya.”
Jocelyn tersenyum miris, ia tahu betul bahwa cinta bukanlah perasaan yang dapat ia cegah. Rasa itu datang begitu saja dan tanpa ia sadari cinta telah menghiasi hati. Saat cinta telah terukir dengan indah di dalam hati seseorang, maka perasaan itu tidak mudah untuk dihapus, dicegah maupun dikontrol.
“Mama Cora merindukanmu, Sayang Dia mau kita berkumpul seperti dulu lagi.” Angel mencengkram pundak Jocelyn sembari menatap putrinya itu lembut.
“Tapi, Ma … Apa yang akan kulakukan jika hati ini nggak dapat kukontrol saat bertemu dengan Kak Jay? Bagaimana jika dia mengatakan kepadaku kalau dia membenciku?” Jocelyn meremas-remas ujung dress-nya dan menundukkan. Angel memegang dagu Jocelyn dan mengarahkan wajah putrinya itu ke arahnya.
“Keluarkan semua perasaanmu dan biarkan perasaanmu yang menuntunmu, Sayang. Ikuti saja nalurimu. Mama mengenal Jay, dia bukanlah seseorang yang dapat membencimu, dia mencintaimu lebih daripada dia mencintai dirinya sendiri. You are, his perfect bride.” Angel tersenyum manis dan mengacak puncak kepala Jocelyn.
Jocelyn tersenyum lirih. Jika saja mama tahu kalau bukan akulah pengantin sempurna untuk Kak Jay. Dia memiliki seorang wanita di sampingnya saat ini. Belenggu waktu telah menghapus posisiku sebagai his perfect bride, Ma. Lagi-lagi hanya senyumanlah yang bisa ia pertunjukkan untuk menutupi hatinya yang patah.