Belenggu Waktu

973 Kata
“Bersiap-siaplah, Sayang. Kita akan ke rumah Mama Cora malam ini.” Angel mengecup kening putrinya, lalu berjalan keluar meninggalkan Jocelyn yang masih duduk terpaku. Getaran ponsel membuat Jocelyn menoleh ke arah nakas, Jocelyn meraih ponsel yang berada di sana, lalu segera menggeser icon pada ponselnya saat melihat nama Ken tertera pada layarnya. “Hallo, Sayang,” ujar Ken di seberang sana. “Ya, Ken. Maaf, Ken, gue harus batalin kencan kita malam ini,” ujar Jocelyn dengan nada yang terdengar sedih. “Lo ada urusan?” Keheningan menguasai pembicaraan mereka sesaat, “Lo mau kemana, Pacar?” Jocelyn terkekeh pelan. “Makan malam di rumah Mama Cora, Pacarku sayang.” Ken terdiam sesaat ketika mendengar kemana tujuan kekasihnya. “Ken, are you there?” tanya Jocelyn saat tidak mendengarkan jawaban dari Ken. “Ya, I'm here. Gue selalu berada di sisi lo, Jo” Jocelyn tersenyum miris dan mengadahkan wajah ke atas, memandang kosong langit-langit kamarnya. “Yes, you are. Makasih karena lo selalu ada buat gue, gue nggak tahu apa jadinya gue tanpa lo di samping gue.” “Gue cinta sama lo, Jo. Sampai kapanpun gue akan selalu menunggu lo. Walaupun seribu tahun lamanya, gue akan tetap menunggu. Seperti lagu yang gue nyanyiin buat lo, masih inget?” Jocelyn tersenyum tipis. “Inget, gue inget setiap kenangan sama lo, nggak pernah ada kesedihan saat gue sama lo.” “Dan nggak pernah ada cinta juga.” Ken berkata lirih. “Sorry, Ken … gue … gue ….” Jocelyn terbata dan membiarkan perkataannya menggantung di udara. Terdengar suara kekehan Ken. “I'm okay, Honey. Cukup gue yang mencintai lo, Jo. Gue percaya suatu hari nanti akan ada cinta buat gue, gue akan menunggu lo satu tahun lagi paling lamanya. Sebenernya gue mau nunggu seribu tahun lagi, tapi hidup gue nggak bakal sampe seribu tahun, setahun aja lagi gue bisa hidup itu udah termasuk keajaiban.” Rasa sedih mendadak menyerang Jocelyn. “Jangan ngomong begitu, Ken. Lo bilang kalau lo bakalan hidup lebih lama lagi buat gue. Gimana jadinya gue tanpa lo?” Jocelyn berkata lirih. Membayangkan Ken akan meninggalkannya membuat hatinya dilanda kesedihan yang luar biasa. Ia tidak akan pernah siap untuk hidup tanpa Ken yang sudah berada di sisinya selama ini. “Gue akan hidup lebih lama untuk lo. Seharusnya lo cium gue setiap hari, obat gue yang paling mujarab itu adalah lo.” Jocelyn terkekeh pelan. “Modus, itu mah emang maunya lo.” Ken tergelak pelan. “Nggak ada salahnya kalau suka sama bibir pacar gue sendiri, ‘kan? Ya udah siap-siap dulu sana, nanti telfon gue ya.” “Iya, Pacar bawel.” Lagi-lagi tawa lelaki itu terdengar. “Bawel tapi super ganteng, ‘kan? I love you, Jo.” “Ganteng, ganteng banget malah.” Jo tersenyum miris. “I will learn to love you.” lanjutnya lirih. Jawaban yang selalu sama saat Ken mengatakan cinta untuknya. Ken memutuskan panggilan telfon setelah ia mendengarkan mantra penguat hatinya di setiap akhir pembicaraan mereka. Jocelyn segera mempersiapkan diri. Ia mengenakan dress selutut berwarna biru laut, memoles make up natural pada wajah cantiknya, dan rambut ikal coklatnya itu dibiarkannya tergerai. Ia tersenyum manis menatap pantulan dirinya pada cermin besar di hadapannya. Sempurna! Aku kuat, aku kuat, cinta itu telah berakhir dan kisah kita nggak mungkin diulang kembali. Ini adalah awal dari semuanya, ini bukanlah sebuah akhir kisah kami. *** “Jo …,”Cora berlari ke arah Jocelyn saat melihat wanita itu berjalan memasuki rumahnya, “Mama kangen banget sama kamu, Sayang,” ujar Cora sembari memeluk tubuh Jocelyn dengan erat. “Sayang, Jo kehabisan nafas kalau kamu peluk begitu.” Dibalik punggung Cora, ada Tony, suaminya yang menatap iba ke arah Jocelyn yang terlihat sesak nafas di dalam pelukan Cora. “Eh … maaf, Sayang.” Cora melepaskan pelukannya, “Mama kangen berat.” “Jo juga kangen sama Mama.” Jocelyn mengecup kedua pipi Cora dan memeluk tubuh wanita berusia senja itu. “Masuk, yuk! Kita dinner di halaman belakang ya. Jay lagi manggang daging di sana.” Cora menarik tangan Jocelyn, Tony menyambut kedua sahabatnya sementara Cora memberikan perhatian penuhnya kepada Jocelyn. Tony, Angel, dan Jhon hanya bisa terkekeh geli melihat Cora yang sangat merindukan Jocelyn. “Jay, Jo udah datang nih.” Lelaki yang tengah sibuk dengan pemanggangan di hadapannya itu mengarahkan pandangan ke arah dua wanita yang berjalan memasuki halaman belakang rumahnya, ia tersenyum manis kepada kedua wanita itu. Di belakang kedua wanita tadi menyusul keseluruhan tamunya, ia mempersilahkan semua tamunya mengisi kursi kosong yang berada di balik meja kayu berbentuk persegi panjang. “Jay, kamu udah besar sekarang.” Angel menatap Jay dengan mata yang berbinar-binar, sama halnya dengan Cora yang merindukan putrinya, Angel sangat merindukan Jay. Angel berjalan ke arah Jay yang tengah berada di depan pemanggangan, lalu memeluk tubuh lelaki itu dengan erat. “Ya, Mama Angel. Jay udah dewasa sekarang. I miss you, Ma.” Jay mengecup kedua pipi Angel dan memeluk tubuh wanita itu dengan erat. “I miss you so much, Jagoan.” Mereka berdua saling tersenyum manis, Jay menuntun Angel untuk duduk. Tatapan mata Jay bertemu dengan mata Jocelyn, dengan cepat Jocelyn membuang pandangannya ke sembarang arah. Ia tidak sanggup untuk terus menatap sepasang mata biru safir yang memabukkan itu. Jay tersenyum miris, ia tidak tahu mengapa saat ini hubungan mereka bisa menjauh seperti saat ini. Ia akui, kalau ia turut ambil andil dalam jarak yang terbentuk di antara mereka. Ia tidak pernah membayangkan bahwa cinta tidak pernah hilang sedikitpun dari hatinya. Melihat wanita itu di Bandara kemarin membuat jantungnya berhenti berdegup dalam hitungan detik, lalu berdebar liar, seakan kembali hidup setelah sekian dalam keadaan mati. Gadis kecilnya telah tumbuh menjadi wanita dewasa yang sangat cantik. Hati Jay seakan mengenali pemiliknya saat melihat Jocelyn setelah sekian lama tak berjumpa. Wanita itu tampak sempurna di matanya. Jay kembali ke alat pemanggang, mencoba menyibukkan dirinya sendiri dan berusaha tidak terpanah oleh wanita pemilik hatinya. Ia tidak ingin kembali menelan pil kekecewaan saat -menaruh harapan pada wanita itu. Ia tidak ingin terus disakiti saat mendengar wanita itu hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Cukup sudah cinta yang diberikannya untuk wanita itu. Sekarang bukan saatnya bagi Jay meratapi masa lalun karna hidup harus terus berjalan, bukan? Cinta tidak harus memiliki. Walaupun ia benci perkataan itu, tetapi ia tidak dapat melakukan apa pun. Seberapa kuat ia berusaha, wanita itu tidak akan pernah memandangnya sebagai seorang lelaki, di mata wanita itu ia hanyalah sosok kakak yang sempurna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN