“Para orang tua masuk yuk, biarin dua orang muda ini di sini.” Jhon berkata setengah teriak dan mulai meminta istrinya, Tony, dan Cora untuk masuk ke dalam rumah.
“Ma… Jo ikut….” Jocelyn berlari kecil ke arah Angel, ia tidak ingin berduaan dengan Jay saat ini, ia sungguh tidak ingin bersama dengan lelaki itu saat ini.
“Nggak denger tadi papa bilang apa? Anak muda diluar dulu, kami para sesepuh mau ngomongin sesuatu yang penting. Anak kecil nggak boleh dengar,” ujar Jhon sembari menarik tangan Angel untuk masuk ke dalam rumah.
“Ma,” gumam Jocelyn dengan pelan.
Jay berdiri di samping Jocelyn dan terkekeh pelan. “Aku nggak bakalan gigit kamu, Jo.”
Jocelyn tersenyum kikuk. Bukan gigit –mengigit yang saat ini ia takutkan, ia takut dengan perasaannya sendiri kepada lelaki itu. Ia tidak ingin lelaki itu mendengar jantungnya yang berdegup dengan kencang. Ia takut lelaki itu akan mengatakan alasan kepergiannya ke Inggris adalah karena dirinya yang menolak lelaki itu. Ia takut lelaki itu membencinya. Ia takut rasa rindu yang menyiksa itu akan membuatnya kehilangan kewarasannya. Terlalu banyak hal yang ditakutkannya saat bersama dengan lelaki itu.
Jay menarik tangan Jocelyn dan duduk di sebuah bangku taman yang berada di bawah sebuah pohon akasia. Jay mengadahkan wajahnya dan menatap langit malam yang saat ini terlihat sangat indah, pekatnya langit malam dihiasi oleh cahaya-cahaya kecil dari bintang-bintang yang bertaburan di atas sana membuat malam ini terasa begitu indah dan damai.
“Apa kabarmu, Jo?” Jay bertanya tanpa mengarahkan pandangannya ke arah Jocelyn.
Jocelyn turut mengadahkan wajahnya ke atas dan memandang langit malam yang begitu memukau. “Baik, bagaimana kabarmu Kak?”
Jay tersenyum lirih. “Jika yang kamu tanyakan adalah kondisi fisikku, fisikku sangat sehat, tapi tidak dengan hatiku.” Jay mengarahkan pandangannya ke arah Jocelyn, sementara Jocelyn tetap menatap langit di atas mereka.
“Ada apa dengan hatimu, Kak?” Jocelyn memberanikan diri untuk menatap mata biru safir yang memabukkannya itu.
“Hmm…” Jay tampak berpikir keras, “Terluka, gundah, tidak tenang, sedih dan juga bahagia secara bersamaan. Kata orang rindu itu indah, namun bagiku ini menyiksa.” Jay tersenyum lirih.
“Perasaan rindu itu memang menyiksa, Kak. Rindu adalah perasaan yang membunuh seseorang secara perlahan. Mungkin kamu harus menemui dokter Kak.” Jocelyn menundukkan kepalanya, ia sungguh tidak mengerti apa yang harus ia katakan saat ini. Jarak dan waktu yang telah memisahkan mereka selama sembilan tahun lamanya, membuatnya merasa Jay adalah orang asing yang baru dikenalnya. Baginya rasa rindu itu tidak seindah apa yang orang katakan selama ini, nyatanya perasaan bernama rindu itu telah menyiksanya selama sembilan tahun.
“Nggak ada dokter yang bisa mengobati lukaku.” Jay menatap Jocelyn dengan sendu.
‘Hanya kamu yang bisa menyembuhkan lukaku, Jo. Tapi aku tahu bahwa semuanya sudah terlambat. Saat ini ada seorang lelaki yang telah mengisi tempatku di sisimu dan mungkin juga di hatimu,’ gumam Jay di dalam hatinya.
“Jika semua rasa sakit dapat disembuhkan oleh dokter, mungkin nggak akan ada yang namanya patah hati.” Jocelyn tersenyum miris, ia mengalihkan pandangannya ke arah kakinya, mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Sembilan tahun telah berlalu bukan? waktu yang sangat panjang ya,”ujar Jay, ia kembali mengadahkan wajahnya ke arah langit di atas mereka, ia menghirup nafas panjang dan menghelanya, “Sembilan tahun itu sama dengan seratus delapan bulan dan sekitar 3240 hari. Waktu terlalu cepat berlalu bukan? waktu dan jarak yang selama memisahkan kita. Apa yang sudah sang waktu rubah dari dirimu, Jo?” Jay mengarahkan wajahnya ke arah Jocelyn, ia menatap wajah wanita itu dengan sedu.
“3240 hari, banyak yang telah terjadi di dalam hidupku Kak, banyak sekali.” Jocelyn menundukkan kepalanya.
'Begitu banyak hal yang telah terjadi selama sembilan tahun ini dan begitu banyak penyesalan yang menggerogotiku secara perlahan,'gumam Jocelyn di dalam hatinya.
“Aku ingin mendengar semuanya tentangmu,”ujar Jay sembari tersenyum manis.
“Nggak ada yang menarik di dalam kisahku.” Jocelyn tersenyum lirih, ia tidak tahu dari mana ia harus memulai semua kisahnya. Ia tidak tahu apakah masih pantas baginya untuk menceritakan apa yang ia rasakan saat kepergian Jay, ia merasa tidak pantas untuk mengatakan cinta kepada lelaki itu. Walau bagaimanapun mereka berdua telah berubah, waktu telah merubah mereka, jarak telah menjauhkan mereka, rindu telah menyiksa mereka dan cinta tidak pernah menghilang dari hati mereka.
Jay tersenyum lirih, “Semua kisah tentangmu selalu menarik untukku.”
'Aku ingin mengetahui isi hatimu, di dalam email terakhirmu hanya ada satu kata maaf. Hanya kata maaf yang kamu ucapkan padaku. Maaf untuk apa Jo?maaf karena kamu telah menyakitiku dengan semua kata-katamu?maaf karena kamu nggak sanggup membalas cintaku?maaf untuk apa?' Jay bertanya di dalam hatinya, rahangnya mengeras begitu saja saat begitu banyaknya pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya.
Jocelyn tersenyum miris, ia tidak ingin memupuk harapan yang besar di dalam hatinya, walau bagaimanapun mereka tidak mungkin dapat bersama lagi, sekarang ada Ken di sisinya, dan lelaki itu memiliki Margareth di sisinya. Jocelyn tidak akan pernah bisa untuk meninggalkan Ken, walaupun ia harus mengorbankan cintanya, ia rela , karena baginya Ken itu adalah segalanya. Ken adalah malaikat tak bersayap untuknya, Ken adalah bintang kecil yang sanggup menerangi hatinya, Ken adalah mentari yang mampu menghangatkan hatinya, Ken itu adalah separuh nafasnya, dan hanya Ken yang bisa membuatnya nyaman saat ini.
“Tidak pernah ada yang menarik tentang kisahku kak, bagaimana denganmu? Apa yang sudah kamu lalui selama sembilan, hmm ... 3240 hari itu?”
Jay tersenyum lirih, “Aku bertahan hidup, menjaga hati, dan menyembuhkan lukaku. Nggak ada yang menarik di dalam kehidupanku.”
'Aku mencoba menggantimu dengan semua wanita yang kukenal, aku mencoba mencari penggantimu untuk mengisi kekosongan hatiku, aku mencoba menikmati rasa rindu yang menyiksa dan aku mencoba untuk melupakanmu, namun aku gagal melakukan itu semua,' Jay berkata di dalam hatinya, ia tersenyum tipis ke arah Jocelyn dan mengadahkan wajahnya ke langit di atas mereka.
Jocelyn tersenyum lirih dan ikut mengadakan wajahnya ke arah langit, seakan langit dapat mengerti perasaan bimbangnya saat ini. Saat ini Jocelyn merasa seperti berada di sebuah persimpangan jalan yang sulit untuk ia pilih. Ia memejamkan matanya dan berharap semua ini hanya mimpi, ia berharap jika saat ini ia masih berada bersama dengan Jay yang berusia dua belas tahun itu, Jay yang selalu mencintai dan menginginkannya. Walaupun itu semua hanya angan belaka, tetapi setidaknya ia ingin menikmati rasa perih yang saat ini menghiasi hatinya.
Dulu, Jay selalu bertanya, apakah Jocelyn dan dirinya masih berada di bawah langit yang sama?apakah wanita itu merasakan rindu yang sama?apakah wanita itu dapat mencintainya sebagaimana ia mencintai wanita itu? tapi, hingga saat ini Jay tidak menemukan jawaban dari semua pertanyaannya itu. Jarak terbentang yang tak kasat mata itu telah menjauhkan mereka.
Cinta itu seharusnya terasa indah bukan?tetapi kenapa cinta yang di rasakan oleh kedua insan manusia itu terasa begitu menyesakkan d**a, mereka tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hati mereka yang masih saling mencintai itu, Jay maupun Jocelyn hanya bisa berharap cinta itu tidak akan menghancurkan mereka berdua. Menghancurkan dua hati yang serapuh kaca itu.