Jocelyn tidak pernah menyangka pertemuan menggenaskannya dengan Jay itu adalah pertemuan terakhir mereka berdua. Setelah kejadian di mobil, ia tidak bertemu Jay selama satu minggu lamanya. Ia pikir, semuanya akan kembali normal setelah pertengkaran kecil itu. Lelaki itu tidak menghubungi dan ia pun tidak pernah berusaha mencari Jay. Biasanya, bila mereka bertengkar, Jay akan menemuinya, meminta maaf, dan menghadiahkannya begitu banyak bunga maupun coklat, tetapi saat ini Jay tidak melakukan apa pun untuk membujuknya dan semua itu membuatnya bersedih. Jocelyn kecewa walau ia sendiri tak tahu apa yang akan ia lakukan jika Jay membujuknya seperti biasa.
Jocelyn hanya bisa tersenyum lirih saat mencari tahu keberadaan lelaki itu dan mendapat kabar mengejutkan dari ibu lelaki itu. Jay memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Inggris dan meninggalkan Jocelyn tanpa sepatah katapun. Lelaki itu pergi begitu saja, seakan dirinya tak pernah jadi bagian dari hidup lelaki itu. Tak terlalu penting, hingga lelaki itu tak perlu berpamitan ataupun menemuinya untuk terakhir kali. Hati Jocelyn hancur menghadapi kenyataan pahit itu. Ingin ia marah dan memprotes, namun pada siapa? Dirinya turut bersalah.
“Jo … kamu nggak pa-pa? Apa Jay nggak bilang sama kamu? Dia nggak pamit dulu?” Cora, ibu dari lelaki bernama Jay itu menatap Jocelyn lembut dan menggenggam kedua tangannya dengan erat. Ia tak habis pikir, jika putranya pergi begitu saja dari gadis itu.
Jocelyn menggeleng lemah. Tanpa sadar, air mata telah turun melalui sudut mata dan membasahi pipinya. “Kapan Kak Jay pergi, Ma? Kak Jay nggak ninggalin pesan buat aku ya, Mama Cora? Dia nggak bilang apa-apa sebelum pergi?” Jocelyn bertanya lirih.
Cora tersenyum lirih dan menggeleng pelan. “Nggak, Sayang.”
“Kenapa dia ninggalin Jo? Kenapa dia nggak bilang kalau dia mau kuliah di Inggris? Seharusnya berpamitan dulu sebelum pergi. Apa Jo nggak berarti lagi?” Jocelyn berkata terisak.
Cora memeluk tubuh Jocelyn yang bergetar dengan erat. “Mungkin dia lupa kasih tahu kamu. Beberapa minggu lalu, memang Jay sempat nolak untuk kuliah di Inggris, dia nggak mau jauh dari kamu, padahal Mama sudah mengurus semua keperluannya untuk melanjutkan kuliah di sana. Anehnya, seminggu yang lalu, tiba-tiba aja dia minta Mama untuk kembali mengurus semua keperluannya untuk kuliah di Inggris. Anak itu kayak bocah labil.”
“Jo nggak mau pisah dari Kak Jay. Jo mau minta maaf sama Kak Jay. Ma ... minta Kak Jay kembali. Ada hal yang harus kami bicarakan. Jo nggak mau begini.” Jocelyn berkata terisak.
Cora menghela nafas panjang. “Nanti Mama marahin tuh anak ya, Sayang. Kamu jangan nangis lagi, kalau memang jodoh nggak akan lari kemana kok, Jo. Jay pasti akan kembali, kamu tungguin dia ya, Sayang.” Cora melepaskan pelukan mereka dan menatap Jocelyn lembut. “Kamu masih bisa kirim email ataupun telfon dia, ‘kan? Nanti Mama suruh Jay telfon kamu ya.”
Jocelyn mengangguk dan tersenyum tipis. Cora mengusap air mata yang telah membasahi pipi Jocelyn. Ia tidak tahu apa yang terjadi kepada mereka berdua, tetapi satu hal yang ia sadari, Jocelyn tidak bisa berpisah dari Jay, begitupun sebaliknya. Ia tidak tahu masalah apa yang terjadi di antara mereka berdua sehingga Jay ingin segera meninggalkan Jakarta, tetapi ia ingin keduanya tetap berhubungan baik. Aneh, melihat bagaimana dekatnya kedua insan itu.
***
Jocelyn kehilangan semangat hidup, seakan separuh jiwanya telah pergi meninggalkan dirinya. Ia sudah mencoba menghubungi Jay selama satu bulan lamanya, tetapi hasilnya nihil. Lelaki itu tidak mau menerima panggilan darinya, lelaki itu bahkan tidak membalas semua email yang ia kirimkan. Jocelyn diabaikan dan sikap lelaki itu meremukkan hatinya yang rapuh.
Jocelyn meminta ayahnya untuk melanjutkan sekolah ke Inggris dan menyusul lelaki itu, tetapi ayahnya menolak dengan keras permintaannya. Ayahnya tidak ingin putrinya pergi ke negeri orang hanya untuk mengejar seorang lelaki, bukan untuk mengejar ilmu. Cora bahkan tidak dapat membujuk putra semata wayangnya untuk menghubungi Jocelyn. Para orangtua mereka tidak mengerti apa yang membuat anak-anak mereka itu menjauh seperti saat ini, mereka hanya meminta Jocelyn menyerahkan semuanya pada sang takdir. Para orang tua Jocelyn maupun Jay hanya bisa berdoa semoga anak-anak mereka mendapatkan yang terbaik.
“Kak… kita masih di bawah langit yang sama ‘kan, Kak? Kenapa Kakak nggak mau ngomong sama aku?” air mata Jocelyn mengalir deras, “Aku kangen Kak. Kepergian kakak buat aku sadar, kalau aku cinta sama Kakak, bukan cinta sebagai saudara, tapi cinta seorang wanita kepada seorang lelaki, aku mau jadi pengantin Kakak. Bisakah kakak kembali lagi?”
Jocelyn mengadahkan wajahnya ke langit dan memperhatikan bintang-bintang kecil yang menghiasi langit malam. Ia memeluk kedua kakinya dengan erat dan menenggelamkan wajah pada lututnya, mencoba menguatkan hatinya untuk tetap menunggu lelaki yang dicintainya itu. Ia ingin menyerahkan semuanya kepada sang takdir dan membiarkan takdir mempermainkan perannya saat ini, biarlah takdir yang mempertemukan mereka kembali.
Telah banyak cinta yang diberikan lelaki itu untuk Jocelyn dan bodohnya, ia baru menyadari perasaannya sendiri saat kehilangan lelaki itu. Mengapa kita tidak bisa menyadari sesuatu yang kita miliki, sebelum kita kehilangannya?
Jocelyn marah pada dirinya sendiri, ia juga marah kepada lelaki yang sudah menanamkan pesan bahwa ia adalah pengantin untuk lelaki itu di dalam otaknya dan dengan teganya sekarang lelaki itu menghilang dari hidupnya. Ya, lelaki itu menghilang bagai ditelan bumi. Jocelyn tidak dapat bertemu dengan lelaki itu lagi, ia tidak dapat mendengar suara lelaki itu lagi, ia tidak dapat merasakan kehangatan lelaki itu lagi, dan ia telah kehilangan cinta yang sangat disukainya.
“Aku akan menyerahkan jodoh kita di tangan takdir, Kak. Jika kamu meninggalkanku karena kebodohanku, suatu saat nanti takdir yang akan membawamu kembali kepadaku,” gumam Jocelyn pelan. Ia tersenyum miris. Kini, ia hanya bisa menikmati penyesalan yang menggerogoti hati secara perlahan. Sakit bukan main.