Perjalanan cinta mereka telah melewati jarak dan waktu yang begitu panjang, jarak dan waktu itu bahkan tidak dapat menyatukan kedua hati mereka.
Sembilan tahun yang lalu mereka sudah saling meninggalkan jalan yang dapat menyatukan hati mereka, sekarang hanya penyesalan dan rasa sakitlah yang dapat mereka nikmati saat ini. Jalan mereka sudah jauh menyimpang saat ini, mereka tengah berada di sebuah persimpangan jalan yang tidak terhubung satu sama lain.
Tapi Jay yakin cintanya akan membawa Jocelyn kembali padanya, hatinya yakin hanya Jocelyn lah yang akan menjadi pengantinnya kelak. Walaupun saat ini mereka harus saling menyakiti, tetapi Jay menganggap rasa sakit itu adalah harga yang harus dibayarkannya untuk bisa hidup bahagia bersama dengan Jocelyn.
Jay tidak ingin bertindak bodoh seperti sembilan tahun yang lalu, ia sudah pernah mencoba menyerah dan meninggalkan cinta yang menyakitkan itu, tetapi nyatanya cinta itu tidak pernah pergi dari hatinya, cinta itu yang membuat Jay ingin memperjuangkan cintanya untuk yang terakhir kalinya. Dan di sinilah ia saat ini, mencoba segala cara untuk mendapatkan balasan atas cintanya, mencoba segala cara untuk menemukan jalan yang akan membawanya kembali kepada Jocelyn. Ia menyerahkan semuanya pada sang takdir dan berharap takdir berpihak padanya saat ini.
***
Wanita itu mencengkram kuat lengan kekasihnya, mencoba menyalurkan amarah yang mulai menjalar ke penjuru hatinya. Lelaki muda itu hanya bisa menahan rasa perih yang diakibatkan dari kuku-kuku kekasihnya yang telah menancap sempurna pada lengannya.
Sedangkan kedua insan manusia di hadapan mereka tampak tidak peduli dengan tatapan mereka berdua. Dunia seakan milik mereka berdua, sepasang manusia itu adalah Jay dan Margareth, mereka tampak terbawa nafsu yang tengah membelenggu mereka saat ini, bibir mereka saling melumat, ciuman itu kasar dan menuntut.
“Ehemm ...”
Ken berdehem keras, ia sudah tidak sanggup melihat kekasihnya yang tampak begitu terluka. Sakit pada lengannya tidak seberapa dibandingkan rasa sakit yang ia rasakan saat melihat api cemburu pada mata kekasihnya.
Margareth melepaskan ciuman panasnya dengan Jay. Ia merapikan rambut, lalu mengusap sudut bibirnya, sedang Jay berdiri di samping kekasihnya dan tampak sedingin es saat ini.
“Maaf ... kita keterusan ciumannya,” ujar Margareth sembari tersenyum polos.
Ken tersenyum tipis dan mengangguk mengerti, cengkraman pada lengannya mulai terasa mengendor saat Jay dan Margareth sudah menghentikan aksi panas mereka.
Ken melirik wanita di sampingnya melalui sudut mata, orang bodoh pun pasti tahu arti tatapan mata wanita itu kepada Jay. Tatapan sendu dan lembut itu tersirat makna yang sangat dalam. Cinta dan luka itu tersirat jelas melalui mata wanitanya. Ken merasakan rasa sesak yang membuat dadanya sakit luar biasa. Apakah cintanya tidak akan pernah menyentuh hati kekasihnya yang telah lama beku?
'Ting...'
Pintu lift di hadapan mereka mulai terbuka. Margareth menggandeng lengan Jay dengan erat, sedangkan Ken menggenggam tangan Jo dengan erat. Jo tersenyum manis saat merasakan genggaman tangan kekasihnya.
Mereka berempat berjalan dengan suasana hening, hanya Margareth yang tampak sesekali mencoba mencairkan keheningan di antara mereka. Margareth tidak suka suasana canggung seperti saat ini, begitupun dengan Jo, ia sudah menolak mentah-mentah permintaan ibunya untuk pergi double date seperti hari ini. Bukan sekedar kencan biasa, hari ini mereka akan mencari gaun dan tuksedo yang akan mereka kenakan pada pesta pertunangan mereka yang akan diadakan sebulan ke depan.
“Aku mau lihat ponsel di sana ya Jay,” Margareth berkata dengan antusias, tanpa mendengarkan jawaban lelaki itu, ia langsung melesat ke sebuah toko ponsel yang begitu menarik perhatiannya.
Jay, Ken, dan Jo hanya bisa mengikuti langkah Margareth dari belakang. Jay memperlambat langkah kaki dan mensejajarkan langkahnya dengan pasangan yang sedari tadi berjalan di belakangnya. Saat ini Jo tengah berjalan di antara Ken dan Jay. Sedari tadi Jo dengan susah payah mengatur debaran jantungnya. Dengan kehadiran lelaki itu di sampingnya semakin membuat jantungnya berdebar kencang.
“Ponsel ini keluaran baru. Jay. Aku mau beli yang ini.” Margareth berkata riang begitu Jay menghampirinya.
“Hmm ... aku akan membelikannya untukmu,” Jay berkata datar tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Margareth. Margareth mengikuti arah pandang Jay, ia menatap kekasih dan juga wanita yang tengah tertawa dengan lelaki di sampingnya itu secara bergantian, Margareth menatap sendu lelaki dihadapannya. Orang bodoh mana yang tidak mengerti dengan tatapan yang diberikan lelaki itu kepada wanita yang tengah ditatapnya. Pandangan penuh cinta itu membuat dadanya sesak, ia tersenyum miris. Apa haknya untuk meminta cinta dari lelaki yang sudah melamarnya itu?
“Aku bisa bayar sendiri.” Margareth segera bergegas ke arah kasir dan membayar belanjaannya. Entah sejak kapan ia sudah terjebak di dalam permainannya sendiri.
Jay berjalan mendekati Jo yang tampak tengah sibuk memperhatikan beberapa aksesoris ponsel yang berada di hadapannya, Ken tengah berdiri agak jauh dari Jo, ia tengah memperhatikan ponsel incaran Margareth tadi, posisi lelaki itu yang agak jauh memberi Jay kesempatan untuk mendekati Jo.
Jay menggenggam tangan kecil Jo begitu ia berdiri di samping wanita itu, Jo tampak terkejut saat mengetahui siapa yang tengah menggenggam tangannya saat ini. Mereka saling terkunci pada satu pandangan yang begitu dalam, pandangan penuh cinta dan luka yang tidak bisa mereka tutupi.
'Kita begitu dekat namun terasa jauh, ini adalah situasi yang aneh, kemanakah kamu selama ini?' gumam Jo di dalam hatinya.
'Aku kesepian walau di tengah keramaian, kamu selamanya berada di dalam hati maupun benakku. Jika seseorang menghentikanku sekarang maka hatiku akan dipenuhi oleh amarah.' gumam Jay di dalam hatinya.
“Yuk jalan.” suara Margareth membuat Jo menepis tangan Jay dengan kasar. Jay hanya bisa tersenyum tipis, dan kembali memasang wajah datarnya.
Ken mengacak puncak kepala Jo dan kembali menggenggam tangan kekasihnya itu. Mereka berempat kembali berjalan menuju tempat tujuan mereka semula, sebuah butik langganan ibu Jay adalah tujuan mereka saat ini.