LOL - BAB 3

3110 Kata
“Arven,” Panggil Andriawan saat mereka sudah selesai makan. “Iya Yah?” Arven mengangkat kepalanya guna menatap Ayah dari calon istrinya itu. “Bagaimana untuk ke depannya? Kamu mau bawa Amanda ke apartement kamu itu atau udah pikirin rumah sendiri?” “Ayah,” Protes Amanda. Ia tidak mau membebani Arven saat ini, ia tahu untuk mewujudkan pernikahan impiannya saja Arven sudah habis banyak. Kalau untuk rumah ia tidak mendesak Arven untuk membelikannya. Setidaknya Arven sudah punya apartement untuk mereka bisa tinggal bersama. “Gapapa sayang, Ayah wajar tanya itu sama aku.” Arven tersenyum lalu menggenggam tangan Amanda di bawah meja makan. Guna menahan sang tunangan di bawanya ke atas pahanya. “Kemarin Arven udah diskusikan sama Amanda. Untuk persiapan pernikahan ini kita emang udah habis banyak, jadi untuk rumah saat ini Arven emang lagi nabung lagi. Mungkin setahun atau dua tahun kerja baru bisa ke beli. Karena Amanda juga punya rumah impian sendiri, kalau untuk rumah biasa Arven masih bisa Yah. Tapi Arven nggak mau itu, Arven mau wujudin rumah impiannya Amanda. Jadi untuk sementara setelah kita nikah nanti mau tinggal di apartement dulu sambil nabung beli rumah Yah.” Andriawan menganggukkan kepalanya paham. “Gimana kalau kalian langsung di kasih anak? Apa apartement kamu cukup untuk kalian? Ayah dengar juga Amanda nanti kalau hamil nggak mau kerja, itu permintaan kamu atau kemauannya Amanda?” Tanyanya lagi. “Ayah, udah dong. Jangan ditanyain kayak gitu lagi.” Arven tersenyum dan mengelus tangan Amanda yang digenggamannya sehingga pandangan keduanya bertemu. “Cukup Yah kalau masih satu, makanya Arven usahain dalam dua tahun uang untuk rumah udah bisa terkumpul. Kalau untuk keputusan kerja itu kemauannya Amanda. Karena emang Amanda mau jadi ibu rumah tangga aja katanya kayak Bunda fokus untuk ngurusin Arven sama anak kita Yah.” Jawab Arven seadanya. Hal ini memang sudah keduanya bahas di awal, Arven tidak masalah kalau itu sudah menjadi keputusan Amanda. “Kalau suatu saat nanti Amanda berubah pikiran bagaimana? Kamu nggak masalah kalau Amanda kerja?” Arven tersenyum. “Gapapa Yah, apapun yang Amanda inginkan pasti Arven dukung kalau itu masih di tahap wajar. Arven nggak aakn larang Manda buat kerja.” Jawab Arven dengan tegas. “Kalian bawa si mbok aja dari sini, Ayah takut kalau Amanda nggak bisa kerjain keperluan kalian sepenuhnya di sana. Apalagi selama ini Amanda nggak pernah kerja kayak gitu, kamu nggak masalahkan kalau pakai jasa as—“ “Ayah udah, itu udah terlalu jauh. Gimanapun nanti biar Manda sama Arven aja yang pikirkan. Ayah udah terlalu jauh untuk ikut campur, Manda tahu kalau Ayah mau yang terbaik untuk Manda tapi jangan kayak gini dong. Biarin Manda sama Arven yang pikirin ini, udah cukup Yah.” Arven menggenggam tangan Amanda lagi dengan keras, wanita itu menatap Arven dan pria itu menggelengkan kepalanya. “Ayah udah keterlaluan Ar, jangan terlalu jauh.” Protes Amanda pada Arven. “Maaf kalau Ayah terlalu jauh, Ayah hanya mau yang terbaik buat kamu. Selama ini Ayah sama Bunda kasih kamu yang terbaik, Ayah hanya takut kalau nanti kamu nggak dapat yang terbaik. Ayah takut kalau ka—“ “Ayah tenang aja, Arven udah janjikan sama Ayah sama Bunda buat bahagiain Amanda? Harus percaya ya Yah? Jangan kayak gini, kasihan Arven. Jadi beban juga buat aku Yah.” Kali ini nada suara Amanda sedikit menurun. “Manda tahu kalau Ayah kayak gini karena sayang sama Manda, tapi please Yah udah ya?” Riris menggenggam tangan suaminya lalu menganggukkan kepalanya pelan agar Andriawan mau mengiayakan perkataan Amanda. “Ayah minta maaf ya Arven. Tapi kalau memang kamu nggak mampu bisa bilang sama Ayah atau Papa kamu. Kita siap untuk bantu kalian kalau nanti mungkin kalian ada kesulitan mengenai keuangan mungkin. Ayah tahu nggak seharusnya Ayah ngomong kayak gini, tapi Ayah mau supaya kalian tahu bahwa walaupun kalian menikah tetap saja kalian anak Ayah da nada Papa kamu juga Arven. Ayah tahu kalian mandiri, tapi kita nggak tahu kedepannya gimana. Jadi Ayah harap kalian nggak sungkan untuk datang ke Ayah.” Arven tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. “Iya Yah, Arven janji.” Andriawan sebenernya orang yang ramah dan suka becanda, hanya saja kalau sudah serius maka akan seperti ini. Andriawan sangat welcome dulu saat pria itu mendekati anak perempuannya. Hanya ketika tahu kini hubungan anaknya akan masuk ke dalam jenjang yang lebih serius lagi dan tidak main-main. Maka ketakutan dan kekhawatiran itu datang membuat Andriawan harus lebih serius. Karena pernikahan baginya sekali untuk selamanya, ia ingin anaknya mendapat yang terbaik. “Ayah kayak gini, karena Amanda akan pergi dari sini. Kamu tahu gimana kami memperlakukan Amanda, kamu juga tahu gimana kami menjaga Amanda. Ketika dia menikah sama kamu, dia akan tinggalkan kami. Jelas kami kehilangan Amanda, begitu juga sebaliknya. Amanda akan tinggal dan hidup sama kamu, dia akan meninggalkan kehidupannya yang enak di sini. Dia akan meninggalkan zona nyamannya, jadi Ayah harap kamu bisa kenyamanan yang sama seperti yang Amanda dapatkan di rumahnya. Ayah berharap kamu benar-benar bisa menapati janji kamu saat melamar Amanda.” Arven menganggukkan kepalanya. “Iya Yah, Arven janji.” Kata Arven dengan tegas. Amanda menarik tangannya dari genggaman Arven, lalu bangkit berdiri dan mendekati Ayahnya itu. Memeluk Andriawan dengan erat sambil menangis. “Makasih ya Yah. Makasih banyak.” Mata Andriawan berkaca-kaca sambil menepuk bahu putrinya itu. “Iya udah pergi sana, kamu udah mau nikah juga masih manja sama Ayah. Yaudah pergi sana nanti kalian terlambat.” Andriawan tidak mau menangis di depan anaknya. “Kata Bunda sebelum nikah Manda harus puas-puasin untuk manja sama Ayah sama Bunda juga. Jadi gapapa dong kalau sekarang Manda manja sama Ayah.” Protes Manda membuat Riris dan Arven tertawa. Setelah puas berpelukan dengan Andirawan akhirnya Amanda dan Arven pamit untuk pergi. Amanda masih saja mewek mengingat perkataan Ayahnya itu. “Aku tadi lihat mata kamu juga bengkak, kurang tidur atau kamu habis nangis tadi malam?” Tanya Arven di saat mereka sudah di dalam perjalanan. “Iya habis nangis juga. Pembicaraan Bunda sama Ayah ya gitu, gimana nggak nangis. Apalagi Bunda bilang yang sedih-sedih, akunya kan jadi ikut sedih.” “Wajarlah, kamu anak perempuan satu-satunya. Apalagi Ayah kamu pasti paling sensitive untuk ngelepas anak perempuannya. Samalah kayak Papa agak protektif jugakan sama Rheyna.” Amanda menganggukkan kepalanya paham, Rheyna itu adik perempuan Arven. “Tapi kamu nggak tersinggungkan sama perkataan Ayah?” Arven tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. “Konsekuensi mau nikahi anak tunggal, jadi aku emang udah siapin mental untuk ada di tahap itu.” Ucap Arven bangga membuat Amanda mencibir. “Emang iya sayang, aku udah siapin diri untuk ditanya kayak gitu. Menurut aku wajar Ayah kamu nanya kayak gitu, dia mau yang terbaik untuk anaknya. Mungkin nanti kalau aku punya anak perempuan kayak gitu juga.” Amanda memilih diam saja tidak tahu mau menjawab apa lagi. “Jadi kemana kita hari ini?” Tanya Arven dengan semangat. “Kita fitting baju dulu ya.” ***** “Wah ternyata beneren capek ya ngurusin pernikahan. Pindah tempat kesana kemari, belum milihnya. Belum lagi kalau ada yang salah, ada yang kurang. Banyak banget ternyata yang di siapin, kepala aku pusing banget baru satu hari loh ini.” Kata Arven sambil membaringkan kepalanya di atas paha Amanda. Mereka baru saja tiba di apartement Arven guna menghabiskan waktu bersama sebelum Amanda pulang ke rumah. Mereka sudah berkeliling satu harian dari pagi sampai malam. Sebelum mampir ke apartement Arven, mereka singgah untuk makan malam di luar terlebih dahulu guna mengisi perut yang sudah mengeluh minta di isi. “Kamu baru satu hari, gimana sama aku? Akhirnya kamu tahukan apa yang aku rasakan, gimana nggak stress coba. Apalagi aku kerjainnya sendiri, ini masih enak ada kamu jadi aku bisa tanya pendapat kamu jadi pusingnya bareng. Aku pusingnya sendiri, capeknya sendiri, makanya kadang mood aku buruk banget kalau udah nggak beres. Wajarkan kalau sampai berpengaruh ke bulanan aku.” “Tapi jangan sampai stress banget dong sayang, jangan ganggu kesehatan kamu gitu. Aku nggak mau ya denger kamu sakit karena ngurus pernikahan kita. Kalau aku tahu kamu sakit, langsung serahin semuanya ke WO. Aku nggak kasih kamu buat ngurus langsung lagi, yang ada nanti aku malah nggak jadi nikah kalau kamu kayak gitu.” “Kepengen banget nggak jadi nikah sama aku?” “Yaampun enggak dong sayang, amit-amit. Aku hanya nggak mau kamu jatuh sakit, kalau nggak sanggup bilang okay? Untuk pake jasa WO full masih ada uangnya, kamu nggak usah khawatir.” Amanda tersenyum lalu memijat kepala Arven. “Dari tadi harusnya, makasih banyak sayang enak banget.” Amanda tertawa, sedangkan Arven memejamkan kepalanya untuk menikmati pijatan yang diberikan Amanda. “Untuk wujudin rumah, kita bareng aja yuk. Pake uang aku juga, jadi jangan semuanya pake uang kamu. Lagian itukan rumah kita bersama.” Kata Amanda tiba-tiba membuat Arven membuka matanya kembali. “Akukan udah janji sama kamu untuk kasih ke kamu. Kalau uang kamu juga ikutan kesana berarti aku nggak kasih kamu hadiah dong. Udah mengenai rumah kamu jangan ikut campur, biar itu jadi urusan aku. Nanti aku akan lebih semangat lagi kerjanya, akukan selalu dapat proyek gede nah keuntungannya juga gede jadi bisa. Kamu tenang aja.” Kata Arven dengan yakin. “Tapi kalau kita mau bareng aku nggak masalah loh ya.” Arven tersenyum dan mengelus pipi Amanda. “Iya sayang, nanti kalau aku rasa perlu aku bilang sama kamu ya?” Amanda menganggukkan kepalanya masih dengan memijat kepala Arven. “Makasih ya buat hari ini karena kamu mau nemenin aku. Kamu juga bahkan sampai cuti, aku makasih banget sama kamu.” “Sama-sama sayang, inikan pernikahan kita. Jadi wajar kalau aku temenin, kamu nggak perlu bilang makasih. Harusnya aku yang bilang makasih karena kamu yang paling repot ngurus semuanya sendirian. Aku sekarang paham kalau sebenernya nggak mudah, ingatin aku terus ya untuk lebih sabar. Aku harusnya lebih paham sama keadaan kamu. Jadi jangan bilang kalau aku nggak peduli sama pernikahan kita ya? Kamu tahukan biaya nikah kita nggak murah, aku harus kerja keras supaya dapat bonus untuk kita. Kamu juga tahu kalau kelebihan cuti, bonus aku bisa di potongkan?” Amanda menganggukkan kepalanya paham akan hal itu. “Aku kangen sama kita yang kayak gini. Aku kangen sama kebersamaan kita, aku kangen kita bisa jalan-jalan kayak dulu lagi. Udah lama kita nggak jalan, kayaknya kita terus bertengkar juga karena quality time kita udah kurang. Weekend ini kita jalan yuk, ke Puncak aja nggak usah jauh-jauh. Ada Galen sama Fara juga, udah lama nggak liburan. Aku butuh refreshing, kalau weekend kitakan sama-sama libur. Weekend ini kita nggak usah ngurus pernikahan, liburan aja sebentar. Kamu maukan?” Amanda memasang wajah sendunya sambil memohon. “Gimana kalau kalian bertiga aja yang jalan? Kalian juga udah lama nggak pergi bertigakan? Nah sebelum kita nikah mending kamu habiskan waktu bareng mereka. Nanti kalau kita nikah kamu sulit loh pergi sama mereka karena ada aku. Gapapa kalau kamu mau liburan bertiga, aku nggak masalah loh.” Amanda menggelengkan kepalanya. “Aku maunya kamu juga ikut. Mereka nggak masalah kalau kamu ikut, lagian supaya Galen ada temennya juga. Ayo dong kamu ikut mau ya? Udah lama kita nggak jalan, aku maunya kamu ada. Nanti kalau kita nikah belum tentu bisa jalan berdua.” “Bisa sayang, bulan madu. Kamukan mau kita bulan madu, aku udah janji mau bawa kamu bulan madu.” Amanda merengut. “Itukan beda Ar, kalau bulan madu jelas beda. Aku tahu apa yang ada di otak kamu kalau kita bulan madu.” Arven bangkit untuk duduk dan menatap Amanda dengan tersenyum penuh arti. “Emang apa yang kamu tahu tentang isi kepala aku tentang bulan madu kita?” Goda Arven membuat Amanda jadi malu sendiri ketika ditanya seperti itu. “Adadeh pokoknya, kita lihat aja nanti waktu bulan madu. Kalau dugaan aku bener, aku pasti bilang sama kamu.” “Kenapa nggak bilang sekarang? Aku mau tahu supaya bisa membenarkan kalau emang benar. Aku ingin tahu apa kamu bener-bener paham sama apa yang aku inginkan.” Goda Arven sambil mendekatkan wajahnya pada Amanda sambil tersenyum penuh arti. “Ihhh pokoknya ada deh, itu rahasia. Aku bakalan bilang kalau udah saatnya aja. Awas kamu mundur jangan deket-deket, aku mau ambil minum.” Amanda hendak bangkit namun di tahan oleh Arven. Pria itu menarik Amanda agar duduk kembali membuat wanita itu kaget. Arven semakin mendekatkan wajahnya pada Amanda dan wanita itu memilih mundur. Sampai akhirnya Amanda tak sadar kalau ia sudah berbaring di sofa dan Arven tersenyum penuh arti sudah berada di atas Amanda. “Kamu masih nggak mau bilang apa yang ada di dalam kepala aku tentang bulan madu kita?” Amanda menggelengkan kepalanya pelan, ia sudah takut melihat Arven seperti ini. “Kalau aku tebak gimana? Kamu bisa jawab iya atau tidakkan?” Goda Arven lagi semakin mendekatkan wajahnya pada Amanda. “Okay aku coba ya, kita jalan-jalan sepuasnya?” Tanya Arven dan Amanda menggelengkan kepalanya. “Wahh salah, kalau kulineran? Supaya kamu bisa masak buat aku?” Tanya Arven lagi masih dengan tersenyum, Amanda menggelengkan kepalanya. “Salah lagi, padahal yang aku pikirkan itu loh. Apa lagi ya?” Arven berpura-pura berpikir sampai wajahnya semakin dekat dengan Amanda bahkan hanya tinggal beberapa senti saja, Arven bahkan bisa merasakan deru napas Amanda di wajahnya. “Aaaa aku tahu, pasti aku nggak akan kasih kamu kemana-mana. Karena aku bakalan kurung kamu di kamar buat mela—“ Arven sengaja menahan ucapannya dan akhirnya berakhir dengan mencium bibir Amanda membuat wanita itu kaget. Setelah berhasil mencium Amanda sebentar, Arven tertawa lalu menarik Amanda untuk duduk kembali seperi diawal. “Yaampun sayang, wajah kamu merah. Andai aja ada kamera di sini kamu bisa lihat muka kamu yang ketakutan, terus merah.” Amanda jadi merasa malu lalu memkul Arven bertubi-tubi membuat Arven mengadu kesakitan dan mundur. Sampai akhirnya tak sadar kini Arven yang berbaring dan Amanda yang berada di atas. Amanda kaget dengan posisi mereka, sedangkan Arven tersenyum senang. Amanda hendak bangkit namun Arven langsung menahan pinggang Amanda dan memeluk wanita itu erat agar Amanda tidak bangkit. “Ar, lepas jangan kayak gini.” Tapi Arven nggak mendengarkan Amanda sama sekali. “Aku mau kita kayak gini sayang, sebentar aja. Udah lama kita nggak sedekat inikan? Udah lama kamu nggak manja ke aku begitupun sebaliknya. Siapa tadi yang bilang kangen masa-masa kita berdua? Nah sekali-sekali kita manis kayak gini gapapa dong sayang.” Kata Arven manja sambil menyelipkan anak rambut Amanda ke belakang telinga. “Tapi aku berat Ar.” Arven tertawa kecil lalu menggelengkan kepalanya. “Kamu nggak berat sayang, nanti kalau kita nikah lebih dari ini loh yang kita lakukan dan aku bisa jamin kalau itu nggak berat sama sekali tapi enak. Aku janji.” Goda Arven sambil tertawa dan mengdipkan matanya. Namun Amanda mengulum bibirnya menahan senyumannya dan memukul d**a Arven pelan. “Kamu apaan sih!” Amanda merasa malu ketika Arven berkata seperti itu. “Aku bener-bener nggak sabar nikah sama kamu. Bisa bareng sama kamu terus kayak gini, kita nggak pisah-pisah lagi rumahnya. Bangun tidur aku bisa langsung lihat kamu, mau tidur juga ada kamu di samping aku. Aku juga udah nggak sabar, hidup sama kamu sampai kita punya anak. Gimana repotnya punya anak, harus begadang, aku pulang kerja ada istri dan anak yang nungguin di rumah. Kita liburan bareng, nganterin anak-anak sekolah, rewelnya anak-anak. Gimana kita bertengkar karena beda pendapat mengenai anak-anak. Sampai akhirnya nanti mereka punya pacar, gimana protektifnya kamu, protektifnya aku. Gimana kamu yang marahin mereka kalau habis pulang sekolah nggak ganti baju, sampai akhirnya mereka menikah dan kita kembali berdua lagi menua bersama. Aku nggak sabar melewati masa-masa itu sama kamu.” Kata Arven dengan pelan sambil menatap Amanda dengan mesra. “Kamu maukan ngejalanin itu semuanya sama aku? Kamu maukan ngehabisin seumur hidup kamu sama aku? Kita besarin anak kita bersama sampai akhirnya maut memisahkan kita.” Mata Amanda sudah berkaca-kaca. “Kamu kenapa sih malah ngomong kayak gitu, kamu tahu sendiri kalau aku cengengkan.” Rajuk Amanda membuat Arven jadi tertawa. “Jangan nangis dong sayang, nanti aja nangis bahagianya kalau kita udah hadapi semuanya sama-sama okay? Intinya aku udah nggak sabar ngehabisin waktu aku bareng sama kamu. Aku cinta banget sama kamu, percaya sama akukan?” Amanda tertawa kecil sambil menganggukkan kepalanya. “Jangan tinggalin aku ya?” Pinta Amanda yang langsung di iyakan oleh Arven melalui anggukan kepala. “Enggak sayang, aku nggak akan tinggalin kamu. Aku akan selalu ada untuk kamu, semarah apapun kamu nanti ke aku. Tetap aja aku akan bertahan sama kamu dan aku nggak akan pernah tinggalin kamu sampai aku mati. Aku janji sama kamu, aku nggak akan ngelepas kamu. I love you.” “I love you too.” Balas Amanda dengan tersenyum. Arven memegang tengkuk Amanda lalu mencium bibir wanita itu dengan lembut. Amanda membalas ciuman Arven tak kalah lembut, sampai akhirnya Arven yang melepaskan ciuman tersebut lebih dahulu. Mengusap bibir Amanda pelan guna membersihkan salivanya dan tersenyum. “Kamu masih mau kayak gini terus?” Goda Arven sambil mengedipkan matanya. Pria itu sudah melepaskan pelukannya namun Amanda masih saja belum bangkit. Di saat Amanda sadar wanita itu memukul d**a Arven dan segera bangkit untuk duduk. Arven tertawa dan ikut duduk, ia senang karena sudah membuat Amanda jadi malu. Dari tadi ia berhasil menggoda sang tunangan. “Puas banget kayaknya kamu ngegoda aku satu harian ini.” Protes Amanda. “Ngelihat kamu malu-malu buat gemes sayang, buat aku tambah cinta.” Amanda mencibir Arven karena menggombalinya. Amanda memeluk lengan Arven lalu menautkan jari-jarinya pada jari-jari Arven sambil tersenyum. Setelah itu bersandar di pundak pria itu membuat Arven ikut tersenyum dan mencium puncak kepala Amanda. “Bersandar kayak gini aku jadi ingat masa-masa dulu deh. Gimana kamu ngejar aku duluan, sampai akhirnya kita pacaran. Kamu minta izin sama Ayah, semuanya masih aku ingat. Dan itu masih terekam jelas di dalam ingatakan aku.” Kata Amanda sambil mengingat masa lalu. “Oh ya? Coba gimana? Aku mau tahu apa kamu bener-bener masih ingat atau enggak, coba ceritain lagi ke aku.” Tantang Arven membuat Amanda tertawa. “Kamu nantang aku?” Tanya Amanda dengan semangat. “Iya aku tantang kamu, nanti kalau kamu bener aku bakalan kasih kamu hadiah, mau nggak? Kayaknya udah lama aku nggak kasih kamu hadiah selain karena anniversary atau ulang tahun ya?” “Hadiah apa?” Tanya Amanda penasaran. "Kamu mah gitu, padahal di awal pacaran suka banget kasih aku hadiah." Arven tertawa. “Iyayah, Ada deh pokoknya hadiah, kamu nggak boleh tahu. Yang penting hadiahnya udah aku siapin, coba kamu ceritain bener nggak kamu masih ingat atau enggak.” “Beneren ya kamu kasih aku hadiah?” “Iya sayang aku janji, mana mungkin aku bohong.” Kata Arven dengan yakin. Amanda semakin erat memeluk Arven dan mencoba mengingat masa lalu keduanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN