LOL - BAB 2

3026 Kata
"Kenapa muka lo nggak enak kayak gitu?” Tanya Fara sahabat dari Amanda. Jam sudah menunjukkan jam makan siang, maka Amanda memutuskan untuk makan siang dengan kedua sahabatnya. Fara dan Galen, mereka sudah bersahabat semenjak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Mereka di satu kampus yang sama, namun dengan berbeda jurusan. Bahkan sekarang juga berbeda kantor. Hanya Amanda saja yang satu kantor dengan Galen tetapi beda divisi. Maka itu keduanya baru datang ke tempat yang di janjikan dengan bersama. Fara yang lebih dulu tiba di tempat pertemuan. “Menurut lo aja kenapa kalau gue udah kayak gini.” Kata Amanda dengan ketus. Fara langsung saja melirik kearah Galen yang ada di sampingnya, guna mencari tahu apa yang terjadi. “Ribut sama Arven.” Jawab Galen santai dan memanggil pelayan untuk memesan makanan. “Elah Arven lagi ternyata biang keroknya, kalian aneh deh. Mau nikah malah sering berantemnya, kesel banget gue dengernya.” Fara yang memang sudah memesan memainkan sedotan miliknya sebentar lalu meminumnya. “Punya gue udahkan?” Tanya Amanda pada Galen. “Udah.” Pelayan tersebut pergi setelah mencatat pesanan mereka. Galen sudah memesan makanan yang akan di makan Amanda, karena ia tahu pesanan wanita itu. Tempat yang mereka kunjungi ini sudah biasa, jadi Galen sudah hapal akan pesanan Amanda. Apalagi Amanda yang tidak terlalu suka dengan banyak pilihan, kalau sudah suka satu ya satu aja tidak dengan yang lain. “Ribut kenapa lagi emang? Bisa nggak kalian jangan bertengkar terus?” “Nggak tahu deh gue, pening kepala gue mikirin itu. Arven itu kayak nggak peduli aja gitu sama pernikahan kita. Kayak nggak mau ikut campur, malah ketahuan bohong lagi. Katanya sibuk tapi malah pergi ke club, gue capek mikirin semuanya sendirian. Gue maunya dia juga ikut bantuin gue buat ngurusin pernikahan kita. Ini pernikahan kita loh bukan pernikahan gue doang, kesel banget deh gue.” Fara melirik Galen lalu seolah memberikan kode supaya pria itu memberikan saran untuk Amanda. Biasanya pria itu yang paling bijak di antara mereka. “Gue nggak mau ikut campur.” Jawab Galen cuek sambil mengambil ponselnya dalam saku dan bermain game. Fara menghela napasnya kasar, karena Galen seoalah tidak mau membantunya kali ini. “Yaudahlah pake jasa WO aja, kemarin Arven udah nyaranin lo kan buat jasa itu. Supaya lo nggak kelimpungan sendiri, lagian Arven juga kerjakan. Jadi menurut gue wajar aja sih kalau emang dia sulit bantuin lo.” Amanda berdecak. “Kenapa lo jadi belain Arven sih, lo tahu sendirikan kalau gue punya impian pernikahan. Jadi gue mau terlibat langsung sama persiapan pernikahan ini. Kita pake WO tapi nggak sepenuhnyakan, gue nggak bisa percaya sepenuhnya gitu aja.” Fara memilih bungkam, karena sepertinya apapun yang akan dia sampaikan akan menjadi salah bagi Amanda. Ia tahu bagaimana dengan watak sahabatnya itu. Lebih baik ia tidak menyarankan apa-apa agar dirinya juga aman dari amukan Amanda. “Okay kita ke sini mau rileks, mau santai. Jangan pikirin masalah dulu okay, kerjaan juga banyak di kantor. Saatnya quality time, kayaknya kita perlu liburan bareng deh. Gimana kalau kita liburan bareng? Kalau lo mau ajak Arven boleh deh, kayaknya kalian berdua juga butuh waktu liburan berdua. Udah lamakan kalian nggak liburan lagi? Kayaknya kalian emang butuh waktu tenang deh sebelum menikah.” Usul Fara tiba-tiba. Amanda jadi memikirkan ide sahabatnya itu, memang benar mereka sudah lama tidak liburan bersama. Terakhir liburan saat Arven melamarnya, setelah itu mereka tidak pernah liburan lagi. “Untuk ngurus pernikahan aja Arven sibuk nggak punya waktu, apalagi buat liburan. Mana ada waktu dia.” Ucap Amanda dengan lesu. “Coba aja dulu, nggak usah lama-lama. Satu malam aja, yang deket aja yang penting liburan. Puncak aja, ngambil villa satu malam itu udah cukup.” Kata Fara lagi membuat Amanda berpikir dengan ide yang di usulkan oleh Fara. “Makan dulu yuk, udah lapar nih. Jam makan siang udah mau habis, lo juga mau rapat setelah inikan? Nanti di marahin loh sama Pak Irwan.” Kata Galen pada Amanda. “Nanti aja di bahas lagi, coba aja tanya Arven kalau emang bisa. Makasih Mbak.” Kata Galen pada pelayan yang baru saja mengantarkan makanan mereka. “Ini punya lo, buruan habisin.” Galen lebih dahulu makan dan Amanda akhirnya memakan makanannya juga. Nanti ketika ia sudah baikan dengan Arven mungkin akan menanyakan hal itu pada sang tunangan. Mudah-mudahan Galen bisa harapnya. ***** “Gimana? Arven bisa nemenin kamu?” Tanya Riris, Bunda dari Amanda. “Nggak tahu deh Bun.” Jawab Amanda cuek sambil mengisi gelas dengan air lalu meminumnya. Riris tersenyum lalu mendekati anaknya itu. “Kenapa? Kamu berantem lagi sama Arven?” Tanya Riris pelan sambil mengelus lengan anaknya itu. “Iya, Manda kesal sama Arven Bunda. Arven itu kayak nggak niat banget sama pernikahan kita. Kontribusi sama perjuangannya untuk mikirin aja enggak, jangan mikirin deh waktunya aja deh buat nemenin aku juga nggak ada sama sekali. Buat kesal banget Bunda, capek Manda kalau gini terus. Manda juga capek harus berantem sama Arven.” “Kalau capek berantem ya jangan berantem dong. Bunda aja yang dengernya aja capek.” Kata Riris dengan sedikit tertawa. “Kamu ini moodnya nggak stabil karena lagi kecapekan aja mikirin pernikahan. Kemana anak Bunda yang sabar? Anak Bunda yang pengertian kemana? Kasihan Arven kalau kamu lampiasin ke dia, coba kasih pengertian lagi. Kalau kamu emang ada kendala, butuh bantuan ada Bunda ada Mamanya Arven juga yang siap bantuinkan? Jangan capek sendiri okay? Sekarang kamu mandi, berendam sebentar pakai air hangat biar lebih rileks. Kamu kayak gini karena lagi capek aja, makanya moodnya kayak gini. Jangan sampai karena stress kamu nggak datang bulan lagi loh, nanti kalau gitu terus kamu perlu check ke rumah sakit. Jangan siksa kamu sendiri, di bawah santai okay? Nanti Bunda masakin sop ayam deh supaya kamu lebih enakan.” Amanda menghela napasnya kasar lalu memeluk Riris dengan erat. “Makasih ya Bun, kalau nggak ada Bunda mungkin Manda nggak tahu deh bakalan gimana. Makasih udah ingatin Manda, jangan sampai nggak datang bulan lagi deh. Walaupun ada enaknya jadinya perutnya nggak sakit, tapi kalau terusan kayak gitu Manda jadi takut juga. Nanti ada yang aneh-aneh lagi.” “Husss jangan gitu, dokternya kemarinkan udah bilang karena stress. Makanya kamu jangan terlalu stress, jangan terlalu kebeban banget ya? Bunda siap bantuin kamu, okay? Atau mau resign dari kantor supaya kamu bisa fokus sama persiapan pernikahan? Kemarin katanya kalau mau nikah nanti dan punya anak kamu nggak mau kerja.” “Iya tapikan itu nanti Bunda, Manda aja belum nikah. Belum punya anak juga, nanti resignnya kalau Manda udah hamil mungkin?” Riris tertawa. “Iya deh iya terserah kamu aja. Mandi gih sana berendam ya biar lebih enak. Nanti Ayah kamu pulang lihat anak gadisnya belum mandi, di usilin lagi. Eh bentar lagi anak Bunda udah nggak gadis lagi ya.” Amanda merengut sambil memukul lengan Bundanya. “Apaan sih Bunda, tapikan sekarang Manda masih gadis. Kenapa godanya sekarang sih.” Protes Amanda membuat Riris tertawa. “Bunda masih nggak nyangka aja kalau kamu nanti nggak tinggal di sini lagi, nggak bakalan ada yang bawelin Bunda, nggak ngerepotin Bunda lagi. Tiap pagi Bunda harus ngomel bangunin kamu, Bunda harus marah sama kamu kalau selesai masak tapi nggak di beresin. Nanti Bunda jadi sepi di sini.” “Ihhh Bunda apaan sih ngomongnya dari tadi ngaco mulu, Mandakan bakalan sering datang ke sini. Bunda juga bisa datang ke rumah Manda sama Arven nanti.” “Jelas beda dong sayang, nanti kamu pasti bakalan sibuk. Kalau jadi seorang istri mana bisa bangun lama lagi, karena harus bangun pagi siapin keperluan suami, masak sarapan buat suami. Harus bisa ngatur rumah juga, padahal kalau kamu di sini Bunda yang kerjain semuanya.” Mata Amanda sudah berkaca-kaca. “Udah dong Bunda jangan gini, Manda jadinya mewekkan.” Riris tersenyum menahan air matanya agar tidak jatuh. “Tapi Bunda senang bentar lagi kamu jadi seorang istri, tanggungjawabnya udah beda. Nggak nyangka anak yang Bunda lahirin akhirnya bentar lagi mungkin udah punya anak sendiri. Pokoknya sebelum nikah, kamu harus puas-puasin manja sama Bunda sama Ayah. Nanti kalau udah ada suami, pasti manjanya sama suami. Kalau sekarang kamukan masih resmi ada di bawah ketek Bunda,” “Emang nanti aku nggak boleh manja sama Bunda?” “Pasti udah beda, nanti kamu rasain sendiri. Dulu nenek kamu juga bilang gitu, ternyata bener. Bunda jadi manjanya sama Ayah, kamu juga nanti gitu. Pokoknya dipuasin deh sekarang.” Amanda tertawa lalu memeluk Riris lagi dengan erat. “Oke, aku akan lebih manja sekarang sama Bunda sama Ayah. Nggak boleh nolak loh.” Ancam Amanda membuat Riris tertawa. “Udah gih sana mandi, Ayah kamu udah pulang tuh. Suara mobilnya udah kedengaran, buruan sana.” Amanda menganggukkan kepalanya, sebelum naik ke atas ia mencium Riris di pipi perempuan yang melahirkannya itu. Setelah itu ia berlari naik ke atas. Riris tertawa sambil melihat Amanda yang berlari. Setelah Amanda pergi ia tak bisa menahan laju air matanya, bagaimanapun Amanda anak satu-satunya. Akan sedih kalau harus berpisah dengan Amanda, walaupun ia tahu itu untuk kebaikannya. “Bunda,” Panggil Andriawan, Suami dari Riris dan Ayah dari Amanda. “Udah pulang Yah.” Riris mencium tangan suaminya sebagai bentuk baktinya. “Bunda kenapa nangis?” Tanya Andriawan sambil melihat ke atas karena pandangan Riris tadi ke atas. “Bunda sedih aja Yah, bentar lagi Amanda bakalan ninggalin kita. Nggak akan ada lagi yang repotin Bunda, kalau Ayah kerja Bunda nggak ada temennya di rumah. Bunda sedih aja kalau nggak ada Amanda di rumah kita.” “Amanda pergikan karena dia harus nikah Bunda.” “Iya, tapi tetep aja Bunda sedih. Nanti tanggungjawab Amanda bakalan beda, Bunda juga takut sebenernya ngelepas Amanda. Arven bisa nggak ya ngejaga Amanda? Arven banyak maunya nggak ya? Kalau Amanda nggak bisa gimana? Arven bakalan marah sama Amanda nggak? Selama inikan kita kasih yang terbaik buat Amanda. Kalau nanti Arven nggak bisa kasih sama seperti yang kita kasih gimana Yah?” “Hey, Bunda kenapa ungkit masalah itu sekarang. Harusnya di awal sebelum kita terima lamaran Arven untuk Amanda kita pertimbangkan itu. Arven udah janji buat jaga Amanda, jadi kita harus percaya. Itu udah pilihan Amanda juga, dia udah dewasa. Biarkan mereka memilih kebahagiaan mereka sendiri. Bunda kayak gini karena belum siap aja, udah ayo Bunda siapin makan malam aja jangan nangis lagi.” Amanda yang masih di atas guna menguping pembicaraan kedua orangtuanya itu ikut menangis. Apa yang dikatakan Riris benar adanya, menjadi anak satu-satunya membuat Amanda selalu diberikan yang terbaik. Amanda menjadi pusat utama bagi kedua orangtuanya, kini ia tidak lagi sepenuhnya menjadi tanggungjawab orangtuanya ketika menikah dengan Arven. Karena ia akan menjadi tanggungjawab pria yang sudah menjadi pilihannya. Apakah Arven memang bisa memperlakukannya dan memberikan yang terbaik juga untuknya sama seperti kedua orangtuanya memperlakukannya? Di satu sisi Amanda juga sedih harus berpisah dengan kedua orangtua yang sudah merawatnya selama dua puluh tujuh tahun ini. Bagaimanapun Amanda tak pernah berpisah jauh dan lama dengan kedua orangtuanya. Pasti ia akan merindukan masa-masa di mana bersama dengan kedua orangtuanya. Amanda menutup pintu kamarnya dan masuk ke dalam kamar mandi sambil menangis. ***** “Selamat Pagi.” Amanda di buat kaget saat membuka pintu kamarnya ada Arven di depan pintu kamarnya dengan membawa sebuket bunga besar. “Kamu kenapa bisa ada di sini.” Arven tersenyum dan langsung memeluk Amanda dengan erat. “Aku nyapa di balas dong sayang.” Amanda sebenernya senang dengan adanya Arven, namun ia masih gengsi saat ini. “Iya Pagi.” Balas Amanda cuek, Arven mencium kening Amanda. “I love you, maaf ya kemarin aku ikutan marah sama kamu. Hari ini aku ambil cuti supaya bisa nemenin kamu untuk persiapan pernikahan kita hari ini. Kamu maukan?” Raut wajah Amanda seketika berubah. “Kamu serius?” Tanya Amanda dengan excited. “Serius dong, lihat aku ada di rumah kamu pagi-pagi nggak pakai pakaian mau ke kantorkan? Hari ini aku bener-bener bakalan nemenin kamu satu harian, kemanapun kamu mau aku ayo. Sekalian jalan sama kamu, kita udah lama nggak jalan barengkan?” Amanda jadi terharu dengan sikap Arven saat ini, ia mengambil bunga yang di pegang Arven menciumnya karena bunga tersebut wangi lalu memeluk Arven dengan erat. “Makasih ya, aku juga minta maaf udah marah-marah kemarin sama kamu.” Arven mencium puncak kepala Amanda. “Iya sayang, emang salah aku jugakan karena yang nggak kasih waktu untuk siapin pernikahan kita. Jadi sekarang kita baikankan?” Amanda melepaskan pelukan mereka lalu menatap Arven dengan tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya. “Makasih atas bunganya, aku suka.” Kata Amanda sambil mencium bunga tersebut. “Bunganya aja yang di cium? Yang kasih enggak?” Goda Arven membuat Amanda tertawa. Amanda mencium pipi Arven membuat pria itu merengut. “Di sini dong sayang, aku susah tuh nyari bunganya pagi-pagi kayak gini.” Amanda mencubit perut Arven membuat pria itu kesakitan. “Dasar genit, ada Ayah sama Bunda di bawah. Emang kamu nggak ikhlas ya kasih aku bunga ini?” Arven tertawa lalu mencuri ciuman di pelipis Amanda. “Ikhlas dong sayang, inikan sogokan juga supaya kamu maafin aku.” Kata Arven dengan tertawa terbahak-bahak, pria itu langsung di hadiahi cubitan di perut lagi. “Ampun dong, udah sayang. Masa pagi-pagi gini aku dapat cubitan terus sih.” Protes Arven membuat Amanda berhenti membalas pria itu. “Kamu tahu aku cuti hari ini?” Tanya Amanda pada Arven yang langsung di angguki oleh pria itu. “Aku tanya Bunda tadi malam, jadi aku langsung ajuin cuti juga supaya bisa nemenin kamu hari ini.” Amanda tersenyum sambil mengelus pipi Arven. “Makasih ya, maaf kalau perkataan aku kasar sama kamu.” Arven menangkup wajah Amanda. “Iya sayang, maaf kalau aku nggak banyak bantu kamu ya? Aku juga minta maaf nggak ngerti mood kamu juga yang lagi berantakan karena persiapan pernikahan kita. Harusnya aku lebih sabar lagi ngadepin kamu, udah lama aku nggak lihat kamu semanis ini. Kamu bener-bener stress kayaknya karena pernikahan kita ya? Jangan stress dong sayang, nanti kamunya sakit aku jadi kepikiran kan. Kamu belum datang bulan juga?” Amanda menggelengkan kepalanya. “Nahkan kamu aja belum datang bulan lagi, ingat apa kata dokternyakan?” “Iya aku ingat, makanya kamu jangan buat aku jadi kepikiran juga dong. Kamu harus bantu aku juga persiapin pernikahan kita.” “Aku nggak janji sayang, sebisa aku ya? Bunda sama Mamakan katanya mau bantu, mau serahin ke WO aja kalau nggak sanggup gapapa sayang.” “Aku masih bisa Ar.” Kata Amanda dengan tegas. “Yaudah okay kalau kamu masih bisa.” Kalau Amanda sudah memanggil Arven dengan “Ar” Itu berarti ia sudah tahap serius tanpa embel-embel sayang. Di saat semua orang memanggil Arven dengan ‘Ven’ maka Amanda memanggilnya berbeda. “Amanda, Arven! Udah selesai belum baikannya? Sarapan bareng yuk.” Panggil Riris dari bawah. Arven tertawa mendengar Riris memanggil mereka. “Kenapa kamu ketawa?” Tanya Amanda bingung. “Lucu aja Bunda bilang udah selesai belum baikannya, kayak apa aja gitu. Yaudah deh ayo ketawa, karena nyari bunga aku juga belum sarapan. Tadi aku lihat Bunda masak enak.” “Kayaknya kamu datang ke sini pagi-pagi tujuannya sekalian numpang makankan? Secara kamukan mana mungkin masak di apartement kamu, iyakan?” Arven tertawa lalu memeluk Amanda dengan erat sambil berjalan ke bawah. “Kamu tahu aja apa yang ada di dalam isi hati aku.” Amanda mencibir Arven, ia tahu bukan itu tujuan awal Arven. Tujuannya karena memang mau menemuinya, Arven memang sering makan di rumahnya. Entah itu masak makanan Bundanya atau masak makanannya sendiri. Karena memang Amanda suka masak. “Udahkan baikkannya?” Goda Riris pada anak dan calon menantunya itu. “Udah dong Bun, udah di sogok pake bunga.” Canda Arven. “Murah banget pake bunga.” Balas Riris lagi dengan becanda. “Bunda.” Protes Amanda. “Pake cinta sekalian Bun, yang nggak di dapat di manapun.” Kata Arven sambil tertawa menatap Amanda membuat wanita itu tersipu malu. “Mbok, minta tolong buat di vas bunga ya terus tolong letakin di kamar Manda.” Kata Amanda sambil memberikan buket bunga yang diberikan Arven kepada asisten rumah tangganya yang memang baru datang membawa piring. “Baik non.” “Mentang-mentang di kasih bunga, maunya di letakin di kamar. Kenapa? Supaya bisa di lihatin terus ya?” Goda Riris. “Padahal tadi malam ada yang masih kesel tuh, marah-marah karena Arven nggak mau bantuin. Sekarang udah malu-malu aja.” Goda Riris lagi. “Bunda!” Protes Amanda. “Sebenernya yang anaknya Bunda itu Manda atau Arven sih?” “Loh dua-duanya dong. Kamu sama Arven mau nikah, berarti Arven anak Bunda juga dong.” Balas Riris kalah telak membuat Amanda jadi kesal sendiri karena dari tadi di goda. Arven hanya tertawa saja melihat Amanda yang di goda oleh Bundanya sendiri. “Udah Bun, kasihan Amanda digodain terus dari tadi. Pipinya merah, nanti jadi kebakar.” Amanda mencubit paha pria itu yang ada di sampingnya membuat Arven merintih kesakitan. “Yaampun sayang, dari tadi aku di cubitin mulu.” “Makanya jangan ikutan goda aku juga dong.” Protes Amanda membuat Riris tertawa. Andriawan hanya menggelengkan kepala saja melihat istri dan calon menantunya itu yang menggoda anaknya. “Udah-udah, ayo sarapan. Kalian mau pergikan.” Kata Andriawan menengahi. Riris langsung saja menyendokkan nasi goreng ke piring suaminya itu. Maka Amanda juga ikut menyendoki nasi goreng ke piring Arven. “Cieee yang belajar melayani calon suami.” Goda Riris lagi membuat Amanda menatap Bundanya dengan galak, sedangkan Arven malah tertawa. “Kamu mau ikutan juga?” “Enggak dong sayang, aku senang karena kamu kayak gini. Jadi nggak sabar cepat-cepat nikah sama kamu. Supaya ada yang ngurus kayak gini tiap hari, di layani. Makasih ya sayang.” Kata Arven sambil mengusap kepala Amanda dengan sayang dan menatap wanita itu penuh dengan cinta. Andriawan menatap tatapan Arven pada anaknya itu dan Riris menangkap pandangan suaminya itu. Riris paham apa yang dikhawatirkan suaminya, sama seperti dirinya. Hanya saja suaminya itu tidak mengatakannya, memendamnya sendiri agar ia bisa tenang. Padahal Riris tahu kalau suaminya yang paling khawatir dan takut kalau Arven gagal menyayangi anaknya. “Ayah kenapa?” Tanya Amanda saat melihat Ayahnya yang menatap Arven. “Gapapa.” Jawab Andriawan cepat sambil kembali fokus dengan makanannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN