Abi kembali menjalani kehidupannya seperti tahanan, semua yang diinginkan sudah tersedia di mansion milik Rasha. Bedanya penjara yang dia huni kali ini lebih luas dan dia masih bisa melakukan kegiatan apapun kecuali keluar dari mansion.
Abi duduk diam di meja makannya membuat Maria bertanya apa ada menu yang dia inginkan tapi Abi hanya menggeleng sambil menatap Maria cemas.
“Apa kamu tidak mendapatkan kabar apapun dari Rasha?” pertanyaan yang sama setiap hari yang dilontarkan Abi setiap dia keluar dari kamarnya.
Maria menggeleng.
“Tapi ini sudah hampir satu minggu Rasha tidak muncul dan memberi kabar, apa dia baik-baik saja?” komentar Abi membuat Maria hanya bisa menghela napas.
Bagi Maria kondisi ini sudah sering terjadi setiap Rasha pergi, dia tidak pernah tahu kapan dia kembali dan tidak pernah mendengar kabar tuannya dan sebagai pelayan yang sudah mengabdi kepada Rasha sejak dia kecil, hanya doa yang bisa Maria panjatkan untuk keselamatan tuannya.
“Maria, aku ada ide,” ucap Abi tiba-tiba membuat Maria terkejut dari lamunannya. Abi berjalan mendekati Maria dengan senyum mengembang sempurna membuat pelayan itu curiga.
“Kamu pasti tahu nomer ponselnya Sergy atau Digga kan,” ucap Abi dengan cengiran lebar.
“Bantu aku menanyakan kabar Rasha melalui mereka jika kamu tak mau menelpon Rasha secara langsung,” rengek Abi membuat kecurigaannya terbukti.
Maria menghela napas kasar tapi tak lama dia mengeluarkan ponsel di kantong rok seragamnya. Dia menelpon Sergy dan mendengarkan ucapannya dengan seksama.
“Tuan Rasha tidak bisa diganggu sampai waktu yang tidak bisa ditentukan Nona, beliau hanya berpesan jika ada hal penting apapun itu, Nona bisa menghubunginya langsung melalui ponsel yang sudah Tuan berikan,” ucap Maria setelah menutup panggilannya.
Wajah Abi kembali muram, dia tahu jika ponselnya ada nomer Rasha entah kenapa tangannya berat untuk menghubungi lelaki itu.
“Bukankah dia bilang mau inseminasi seharusnya itu dilakukan dua hari lalu tapi kenapa sampai sekarang dia tak muncul,” gerutu Abi meninggalkan Maria begitu saja.
Varrel memeriksa berkas Rasha dan Abi sebelum keduanya melakukan inseminasi. Namun, keseriusannya terganggu karena melihat nama seseorang yang tak asing di ponselnya.
“Ada apa?” tanya Varrel santai.
Dahinya berkerut sempurna dan menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Itu terserah kamu, tapi kalo kamu mau penundaan, aku tetap harus memeriksa kondisinya, tidak bisa diabaikan lagi,” sahut Varrel membuat lelaki di sebrang sana menggerutu.
Varrel menghembuskan napas kasar, “Jika kamu sendiri sudah tidak bisa mengurusinya lalu siapa yang mengurusnya jika bukan aku,” balas Varrel jumawa.
Dokter itu masih mendengar umpatan dan ocehan tak jelas.
“Rasha, aku tahu kamu sibuk dan banyak hal yang kamu urus, tapi saat kamu memutskan untuk melakukan inseminasi, itu artinya kamu juga harus fokus sama kesehatan pasangan kamu demi keberhasilan program ini,” pesan Varrel.
Rasha diam.
“Sudah berapa kali aku katakan kepadamu, hormon Abi harus bagus biar tingkat keberhasilan kalian maksimal, terutama setelah kejadian kemarin itu,” ucap Varrel dengan helaan napas.
Rasha masih diam.
“Aku tidak munafik mungkin kamu takut aku tergoda dengannya dan aku ga membantah hal itu. Tapi, kecemasanmu itu soal isi dalam hati, perasaan seseorang yang kamu tahu sendiri jawabannya jika perasaan itu itu tidak bisa dipaksa,” Varrel meluruskan pikiran Rasha selama ini soal dirinya.
“Kapan kamu akan memeriksanya?” tanya Rasha setelah sesi bungkamnya.
Varrel berdehem, “Itu terserah kamu yang kasih ijin kan aku hanya mengikuti kemauan kalian. Tapi karena jadwal inseminasi ini meleset dua hari setidaknya besok atau lusa aku harus memeriksanya untuk tahu kondisinya,” urai Varrel.
“Datanglah ke mansion sendirian dan bawa kartu identitasmu kepada penjaga, karena mereka tidak akan memberikan akses jika kamu tidak menunjukkan identitas aslimu,” ujar Rasha cepat.
Varrel mengiyakan ucapan Rasha.
“Satu lagi, jangan coba-coba membawa Abi keluar dengan alasan apapun meskipun meminta penjaga untuk mengawalnya karena keamanan Abi bisa terancam di luar mansion,” tegas Rasha dan Varrel paham hal itu.
***
“Nona, ada dokter Varrel datang untuk menemui Nona,” sapa Maria saat mengantarkan Varrel ke taman belakang dekat kolam renang tempat dia duduk.
Abi menoleh dan melihat Varrel tersenyum hangat kepadanya. Dokter itu bisa melihat jika kondisi Abi tidak dalam baik-baik saja tapi dia masih menahan diri untuk bertanya.
“Silahkan duduk Dok,” sahut Abi dan Varrel duduk di sebelah Abi. Maria pergi untuk mengambil minuman sesuai yang diminta oleh Abi.
Varrel menghela napas pelan, “Apa kondisimu baik-baik saja?” tanya Varrel pelan membuat Abi mengangguk tapi kemudian menggeleng.
Dokter itu mengerutkan dahinya masih menatap Abi, “Jadi yang benar baik atau tidak baik?” tanya Varrel kembali.
Abi mendongak, “Apa Rasha yang menyuruhmu kemari?” tanya Abi bali mengabaikan pertanyaan Varrel. Dokter itu mengangguk cepat.
“Apa sekarang inseminasinya?” tanya Abi lagi.
Varrel membuang pandangannya ke kolam renang dan hening terjadi diantara mereka.
“Apa kamu takut?” tanya Varrel balik seakan pembicaraan mereka tak ada ujung hanya saling melempar tanya.
“Apa gunanya aku takut jika nantinya Rasha akan tetap melakukan hal itu kepadaku, bukankah seharusnya aku bersyukur setidaknya dia menepati janjinya tidak melakukan hal yang lebih buruk selama aku bersedia jadi penampung benihnya,” cerita Abi membuat Varrel kaget.
Dokter muda itu kembali menatap Abi untuk mencari apa yang sebenarnya ingin disampaikan wanita di sampingnya. Namun, di luar dugaan Varrel melihat mata merah Abi seolah menahan tangis dan membuatnya tak tega.
“Menangislah jika memang itu membuatmu merasa lebih baik,” Varrel tak tahu harus berkomentar apa lagi melihat situasi di hadapannya.
Abi menggeleng cepat tapi air mata itu perlahan jatuh tak beraturan dan semakin banyak sampai membuatnya terisak.
Maria datang membawa minuman untuk Varrel ikutan panik dengan tingkah Abi tapi dokter itu meminta Maria untuk diam dan mengambil tisu. Beberapa menit Varrel menunggu akhirnya Abi sudah mulai tenang dan menghapus air matanya.
“Maafkan aku,” ucap Abi masih dengan suara serak.
“Tak masalah, kadang air mata bisa membuat perasaan lebih tenang dari sebelumnya,” ujar Varrel santai.
“Apa dia mengatakan kepadamu, bagaimana kondisinya sekarang?” tanya Abi tiba-tiba membuat Varrel sedikit bingung tapi kemudian dia sadar siapa yang Abi tanyakan.
“Rasha menelponku untuk mengabarkan jika inseminasimu yang seharusnya dilakukan beberapa hari lalu ditunda karena urusannya belum selesai,” jelas Varrel.
Abi mengangguk paham.
“Kamu ga perlu cemas soal Rasha, dia tidak akan mati dengan mudah, jika dia mudah mati ga bakal hidup sampai umur sekarang dan memaksamu inseminasi,” goda Varrel berusaha mencairkan suasana.
Abi terkekeh perlahan dan membenarkan ucapan Varrel.
“Awalnya memang terlihat memaksa, tapi sepertinya dia orang yang bisa diajak berdiskusi dan mau membantu orang lain,” ucap Abi sambil memimum teh hijau miliknya.
“Aku ga ngerti,” sahut Varrel sambil memicingkan matanya mendengar komentar Abi.
Abi menghela napas, “Perjanjian bisnis, dia dengan pewaris yang dia inginkan sedangkan aku ingin dibayar dengan layak karena permintaannya ini. Sayangnya aku sudah menerima p********n itu jadi mau ga mau aku harus mengikuti kemauannya,” ujar Abi.
Varrel paham situasi seperti apa yang melingkupi keduanya. Dokter itu kembali menatap Abi dan melihat jika Abi sedang gelisah.
“Jika sama-sama menerima kondisi seperti itu, lalu apalagi yang kamu khawatirkan?” tanya Varrel penasaran.
Abi menengok, dia tak mengerti bagaimana cara menjelaskan kepada Varrel kondisinya kali ini.
“Aku hanya berpikir apa mungkin Rasha akan meninggalkanku jika aku memang aku tak mampu jadi penampung benih untuknya,” ucap Abi terbata.
“Kenapa kamu bisa berpikir begitu?” tanya Varrel bingung.
Abi berdehem dan membetulkan posisi duduknya, “Aku tak tahu apa yang terjadi pada tubuhku, tapi sejak 3 hari lalu sepertinya aku sedang haid,” kata Abi.
Varrel mengangguk paham, “Tak masalah, itu masalah hormonal kan, jadi kita hanya menunggu haid kamu selesai dan melakukan inseminasi,” jawab dokter itu santai.
Abi menggeleng pelan, “Tapi feelingku mengatakan bukan seperti itu, karena yang keluar itu semacam darah segar,” cicit Abi pelan membuat Varrel kaget.
Varrel mulai menanyakan detil apa yang Abi alami dan melihat bagaimana kondisi Abi sekarang dia mulai paham kenapa wanita itu nampak tidak baik-baik saja.
“Rasha, pilihanmu Cuma 2, ijinkan aku bawa Abi ke rumah sakit karena dia pendarahan atau akan ada banyak orang yang datang ke mansion kamu untuk membawa peralatan USG untuk memeriksa kondisinya,” ujar Varrel saat dia menelpon Rasha di depan Abi sampai membuat wanita itu kaget.
Rasha yang mendapat kabar itu kontan saja terkejut sampai dia berdiri di hadapan banyak orang membuat semuanya kaget karena mereka ada di tengah meeting penting.
“Jangan ngaco, aku sudah bilang tidak ada alasan apapun untuk keluar mansion,” sentak Rasha cepat membuat semua orang saling pandang.
Sergy dan Digga yang melihat kondisi ini saling pandang. Digga memberi kode kepada Rasha untuk melihat sekeliling karena dia berada di tengah meeting.
Rasha keluar dari ruangan dengan cepat dan kembali mengomeli Varrel soal pilihan yang dia berikan. Varrel yang tak sabar mengganti mode panggilan dengan video call dan menunjukkan kondisi Abi yang pucat.
“Aku kira dia begini karena mogok makan atau cemas sama inseminasi yang akan dilakukan tapi barusan dia cerita kepadaku jika dia mengalami pendarahan tapi ga bilang sapa-sapa karena mengira itu haid,” cerocos Varrel panjang lebar.
Rasha memperhatikan kondisi Abi dengan seksama, memang dia terlihat berbeda dibanding hari pertama dia meninggalkan wanita itu. Beberapa hari ini dia tak pernah melihat lagi kondisi Abi sehingga tidak tahu ini bakal terjadi.
“Dia ga akan mati kan hanya karena mengeluarkan darah sedikit, kalo perlu transfusi darah saja, tunggu aku sampai datang baru periksa ke rumah sakit,” tegas Rasha dan mengakhiri panggilannya begitu saja.
Ada perasaan kecewa yang melingkupi Abi mendengar ucapan Rasha semacam itu. Dia semakin paham posisinya dalam hidup Rasha.
“Dia tidak akan meninggalkan Sandr hanya demi dirimu Abi, sadarlah,” gumam Abi dan Varrel bisa mendengarnya bicara.
“Nona Abi,” panggil Varrel.
“Jika sudah tidak ada yang perlu diperiksa, saya permisi,” pamit Abi tiba-tiba tapi Varrel tahu jika wanita itu menahan tangis.
“Simpan nomorku jika ada apa-apa kamu bisa menghubungiku, Rasha hanya mengijinknku datang kemari tapi tak bsia membawamu ke rumah sakit,” pesan Varrel sambil menyodorkan kartu namanya.
“Hati-hati di jalan Dok, terima kasih,” ucap Abi menerima kartu dari Varrel dan pergi menuju kamarnya.
Abi tak menghiraukan sapaan Maria membuat pelayan itu cemas dan bertanya kepada Varrel mengenai kondisi Abi. Dokter itu menjelaskan kepada Maria apa yang Abi alami dan tentu saja hal itu membuat Maria kaget.
Varrel memberikan nomer ponselnya kepada Maria agar bisa menghubunginya kapan saja jika Abi butuh bantuan.
Abi duduk di balkon kamarnya sambil melipat kakinya di tubuh depannya. Ucapan Rasha terus terngiang di kepalanya.
“Kenapa rasanya sakit sekali,” ucap Abi sambil terus menekan kakinya di perutnya.
Dia tak tahu sakit ini karena ucapan Rasha atau nyeri di perutnya yang tiba-tiba dia rasakan. Namun, air matanya tak berhenti mengalir.
“Rasha,” isaknya lemas dan tak bisa melihat apapun lagi.
***