Varrel mengepalkan tangannya mendengar ucapan Rasha, kemampuannya sedang diremehkan oleh lelaki yang tak pernah belajar soal ilmu medis.
“Apa sekarang kamu meremehkan kemampuanku?” desis Varrel menahan amarah.
Rasha berdecak, “Jika memang kamu mampu seperti Eleanor kenapa pada waktu itu aku memintanya kamu tidak langsung melakukannya,” sindir Rasha.
Varrel maju dan memukul Rasha keras, dia tak peduli meskipun lelaki itu yang selama ini membayarnya.
Rasha yang tak terima kembali mencekal Varrel tapi kali ini pria itu menghindar dan hal itu membuat Rasha menggeram kesal.
“Apa pukulanku itu cukup menyadarkanmu siapa dirimu sebenarnya?” bentak Varrel membuat Rasha tak peduli dan meraih kerah baju Varrel.
“Tak ada eorang pun yang berani memukulku dan tangan kotormu itu berani menyentuhku!” bentak Rasha tak kalah sengit.
Varrel melepaskan cekalan itu dan mendorong Rasha keras hampir saja lelaki itu hilang keseimbangan dan terjatuh.
“Baguslah, berarti ini prestasi yang luar biasa untukku karena aku orang pertama yang memukulmu,” sengit Varrel.
Varrel menarik baju Rasha, mendorongnya sampai ada di tepi ranjang tempat Abi berbaring.
“Lihat pakai mata kamu! Apa dia terlihat dalam kondisi baiik-baik saja jika aku melakukan inseminasi, heehh!” sentak Varrel.
“Meskipun itu hanya alat suntik tapi jika penerimanya tidak bisa menahan semua itu dan meluruh begitu saja, bagaimana caramu untuk punya anak,” Varrel mengucapkan itu sambil melepaskan cekalannya dengan sekali hentak.
Varrel menarik napas untuk meredakan emosinya yang tak bisa dia tahan lagi dengna tingkah Rasha yang egois. Jika saja dia mengenal Abi lebih dulu, dia akan pastikan Abi tak mengalami hal ini dan akan menyelamatkan Abi meskipun bertaruh nyawa.
Dokter muda itu memang sering melakukan inseminasi dan bisa saja sekali proses berhasil, tapi untuk kasus Rasha ini memang pertama kali dia lakukan terutama kondisi pasangannya yang tak sehat.
Rasha menatap Abi yang memang jauh dari kondis baik-baik saja dan sehat. Tapi ucapan ayahnya terus memenuhi isi kepalanya yang membuatnya tak bsia berpikir jernih.
Rasha merapikan bajunya dan menatap Varrel tanpa berkomentar. Sudut matanya melirik Abi dan berbalik untuk meninggalkan ruangan itu.
Varrel hanya bisa berdecak kesal dengan kelakuan Rasha yang tak memiliki empati itu. “Apa dia dilahirkan dari batu sampai tak punya perasaan seperti itu?” keluhnya dan kembali memeriksa kondisi Abi.
Setelah dirasa tak ada masalah pada Abi, dia menghela napas dan membelai rambut Abi lembut.
“Cepatlah sadar, besok aku akan kembali untuk memeriksamu dan kamu harus bangun, okay,” pamit Varrel yang tak tahu Abi akan mendengarnya atau tidak.
Mata lentiknya perlahan bergerak dan menyesuaikan pandangannya berharap dia bisa melihat dengan jelas. Namun, berkali-kali dia mengerjapkan matanya bukan pandangan jelas yang dia dapatkan tapi semakin buram dan air mata membasahi pipinya.
“Ini sebenarnya yang sakit perutku, mataku, atau hatiku,” lirih Abi dalam isakan tertahan.
Wanita itu mendengar semuanya, percakapan Rasha dan Varrel sebelumnya. Ada luka tak berdarah yang dia rasakan karena ucapan Rasha mengisyaratkan jika dia sama sekali tidak peduli dengan kesehatannya.
“Tenangkan dirimu Abi, ingat ini hanya bisnis. Kenapa kamu harus terbawa perasaan dan terluka dengan ucapannya,” Abi bergumam seorang diri meredakan nyeri dalam hatinya.
“Dia bosnya dan kamu hanya orang yang dia bayar untuk memenuhi kesepakatan bisnis kalian. Ayo, kuatkan hatimu Abi, demi semua orang yang ada di panti,” ucap Abi menghela napas berkali-kali dan perlahan mengusap air matanya.
Abi kembali memejamkan mata dan berusaha melupakan semua ini. Dalam doa yang dia panjatkan berharap semua ini hanya mimpi dan besok dia akan terbangun dengan perasaan damai tak tersakiti lagi.
Kelopak mata cantik itu perlahan bergerak dan memandang keadaan sekitar. Tembok putih, aroma khas obat-obatan menusuk hidungnya. Helaan napas terdengar pelan.
Wanita yang terbaring lemah di ranjang itu menyadari jika semalam yang dia dengar bukan mimpi karena masih mencium aroma ruangan yang sama dengan sebelumnya.
“Apa kamu sudah bangun?” tanya suara berat lelaki yang sangat familiar buatnya.
Abi menoleh dan menatap datar lelaki yang berdiri menjulang di sampingnya. Tak ada reaksi berarti membuat Rasha mengerutkan dahinya bingung.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Rasha kembali tapi Abi masih diam.
Wanita itu berpikir mungkin ini mimpinya yang paling aneh karena Rasha menanyakan keadaannya dan itu tidak mungkin sejauh ini dia mengenal Rasha.
Rasha sudah membuka mulutnya kembali untuk bertanya tapi keduanya mendengar suara pintu dibuka membuat Abi dan Rasha menengok ke arah suara itu.
“Selamat pagi, apa Nona –“ ucapan Varrel terhenti ketika dia melihat Abi menatapnya.
Varrel menghampiri Abi dengan semangat, “Selamat pagi Nona Abi, apa ada yang sakit setelah kamu bangun pagi ini?” tanyanya dengan antusias dan senyum mengembang.
Rasha melihat interaksi Varrel dan dia memicingkan matanya tak suka. Lelaki itu berdehem tapi Varrel tak peduli seolah tak ada orang lain di sana.
“Pagi Dok, hanya sedikit pusing,” ucap Abi dengan senyum samar.
Rasha terbelak melihat pemandangan itu dan menatap dua orang itu bergantian. Dia banyak bertanya soal keadaan Abi tapi kenapa wanta itu diam saja, sedangkan Varrel menanyakan satu hal saja dia langsung menjawabnya.
Decakan Rasha membuat Abi menoleh tapi tatapannya datar membuat denyut aneh dalam diri lelaki tampan itu. Kenapa Abi memandangnya seperti itu? Apa dia melakukan kesalahan?
“Saya akan memeriksa Nona terlebih dulu ya,” ucap Varrel yang dijawab anggukan oleh Abi dan meminta Rasha untuk menjauh agar dia bisa mendapat akses.
Rasha tak membantah meskipun dia merasa kesal dengan perlakuan Varrel.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Rasha dan Varrel menatapnya datar.
“Setidaknya masa kritisnya sudah lewat dan kita harus menunggu perkembangannya sampai tiga hari ke depan baru memutuskan Abi boleh pulang atau tidak,” Varrel menekankan beberapa kata dalam penjelasannya.
Rasha mengangguk paham, “Sudah aku duga, Abi itu tak seperti wanita lain yang lemah, dia wanita kuat,” ucap Rasha bangga membuat Varrel tahu arah pembicaraannya.
Varrel mendekati Rasha, “Sekali lagi kamu mengungkit soal masalah semalam, aku akan memberikan pelajaran kepadamu yang tak pernah kamu lupakan,” desisnya.
Rasha mendorong tubuh Varrel dan menatapnya sengit. “Sudah aku katakan kalau kau tak perlu ikut campur urusanku. Apa kau tak paham ucapanku?” seru Rasha.
“Apa kalian bisa bertengkar di luar saja, aku sedang tak ingin mendengar pertengkaran kalian hari ini,” sela Abi membuat keduanya sadar jika ada telinga lain yang mendengarkan perdebatan mereka.
“Jika kamu tidak ada urusan, tolong pergilah, Abi harus istirahat, hargai privasi pasienku,” usir Varrel tanpa dosa.
Rasha mengerutkan dahinya, “Aku kan yang bertanggung jawab soal Abi, justru dokter yang harus pergi dari sini jika sudah selesai, apa kamu tidak punya kerjaan lain selain mengurusi Abi,” sindir Rasha tak mau kalah.
Abi menghembuskan napas kasar mendengar celaan mereka berdua.
“Kalian berdua keluar saja dari sini, lanjutkan di luar. Aku ingin sendiri,” potong Abi membuat keduanya menatap Abi bingung.
“Aku yang berhak di sini karena aku penanggung jawabmu sekarang,” jawab Rasha.
Varrel menatap Rasha tak terima dengan ucapan itu meskipun memang itu kenyataannya.
“Keluarlah Rasha, aku ingin sendiri! Lagipula aku tidak bisa kemana-mana dengan tubuh lemah seperti ini,” seru Abi dengan menekankan kata ‘lemah’.
“Baiklah aku akan keluar dan meminta perawat untuk menyiapkan sarapan untukmu,” pamit Varrel yang memilih mengalah.
Abi mengangguk, “Terima kasih Dok,” jawabnya pelan.
Rasha hanya menghela napas, “Aku akan pergi setelah kamu menghabiskan sarapanmu,” kata lelaki itu yang menimbulkan rasa kesal dalam diri Abi.
“Kenapa susah sekali meminta waktu sendiri darimu sedangkan kamu sudah merampas kehidupanku. Apa sekarang kamu tidak percaya jika aku ingin istirahat sendiri bukan untuk menolak inseminasi yang kamu inginkan itu,” ungkap Abi penuh emosi membuat Varrel mengurungkan niatnya untuk keluar kamar dan menenangkan Abi.
Abi merintih kesakitan dan Varrel kembali memeriksanya. Rasha hanya bisa diam dengan kejadian di hadapannya, dia tak tahu jika Abi menjadi emosional seperti itu.
“Abisha,” panggil Rasha.
Abi mendongak dan menatap Rasha tajam. “Lakukan saja inseminasinya sesukamu, jika perlu minggu depan tak masalah. Mungkin bulan depan terlalu lama untukmu,” desis Abi.
Hening.
Varrel dan Rasha terdiam dengan ucapan Abi. Bagaimana wanita ini bisa tahu jika Rasha menginginkan inseminasi bulan depan, bukankah itu percakapan semalam.
“Apa kamu sudah sadar sejak semalam?” tanya Rasha lirih membuat Varrel menyadari jika semalam mereka berdebat di hadapan Abi yang notabene masih bisa mendengar.
“Kamu bisa koordinasikan itu dengan Varrel, aku akan mengikuti apapun keputusanmu,” kata Abi memilih tak menjawab pertanyaan Rasha.
“Saya tak masalah inseminasi kapan saja Dok, dia benar kita harus mencobanya terlebih dulu karena tak mungkin satu kali percobaan langsung berhasil,” sindir Abi.
Varrel dan Rasha bungkam.
“Tolong, sekarang kalian keluarlah. Aku benar-benar ingin sendiri,” pinta Abi dengna nada suaranya yang mulai berubah.
Varrel tak berkomentar langsung menarik lengan Rasha. Lelaki itu sempat berontak tapi tatapan sengit Varrel membuatnya menyerah dan mengikut langkah dokter sebayanya itu meskipun tatapannya tertuju kepada Abi.
Abi terisak setelah dia tak lagi melihat dua pria itu. Varrel memberi kode kepada Rasha untuk melihat kondisi Abi saat ini.
“Kita bicarakan soal inseminasi itu di ruanganku,” ajak Varrel sambil menepuk pundak Rasha dan berlalu dari sana.
Setelah dirawat hampir satu minggu Abi diperbolehkan pulang dengan sederet pesan terutama menghindari stress dan capek.
Semenjak kejadian itu Rasha tak meninggalkan Abi meskipun wanita itu melarangnya tapi dia sesekali tetap ada di sana untuk menemaninya. Rasha bisa merasakan ada aura berbeda yang Abi tunjukkan kepadanya, seakan dia menghindari dirinya dan tak ingin terlibat terlalu sering dengannya.
“Apa kamu marah kepadaku?” tanya Rasha begitu mereka tiba di mansion.
Abi menoleh dan menggeleng pelan, “Aku lelah, aku istirahat dulu, malam,” ucap Abi santai dan melenggang dari hadapan Rasha.
Langkah lebar Rasha membuatnya bisa menyusul Abi dengan cepat dan menghalangi pintu kamar Abi yang hendak dia tutup.
“Lalu, kenapa sikapmu berubah kepadaku?” desak Rasha dengan tatapan tak suka.
“Memang bagaimana sikapku selama ini kepadamu?” tanya Abi balik membuat Rasha bungkam.
Cekalan tangan Rasha di pintu kamar Abi meluruh seketika. Abi paham jika lelaki itu tak bisa menjawab ucapannya.
Abi mendorong pintu kamarnya membuat Rasha paham jika dia tak ingin bicara lagi dengannya.
“Istirahatlah, selamat malam,” ucap Rasha pergi dari hadapan Abi.
Abi membanting pintu begitu saja tak menjawab ucapan Rasha.
“Ini yang membuatku malas berurusan dengan wanita, terlalu drama,” keluh Rasha.
Abi membuka pintu dan berteriak kepada Rasha. “Kamu bisa membatalkannya kapan saja inseminasi itu dan aku akan bekerja untuk membayar hutangku padamu,” ucapnya.
Rasha menoleh cepat dan tak lama dia mendengar bantingan pintu untuk kedua kalinya.
“Apa pintu itu punya telinga sampai dia bisa mendengar ucapanku.”
*****