Sikap dingin Abi malam itu tak membuat Rasha menyerah untuk mempercepat proses inseminasi. Meskipun Rasha sendiri merasa canggung dan serba salah karena Abi menjadi dingin kepadanya.
Jika biasanya wanita itu nampak ceria dan banyak bicara, kali ini Rasha hanya melihat wajah datar tanpa ekspresi dan bibir yang ditarik dengan paksa oleh pemiliknya agar terlihat seulas senyum.
Abi menyadari jika dia berubah dingin kepada Rasha tapi semua itu dia lakukan demi mengontrol perasaannya agar tidak tersakiti dengan sikap tak peduli Rasha kepada dirinya.
“Besok jadwalmu ke rumah sakit untuk periksa sebelum melakukan inseminasi minggu depan,” kata Rasha ketika Abi datang untuk makan malam seperti biasanya.
Abi hanya melirik tak berkomentar apapun. Wanita itu sudah malas berdebat dengan Rasha dan lebih menuruti apapun kemauannya agar cepat selesai.
Lagipula mansion dan rumah sakit seperti jadi bagian hidupnya saat ini, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Seteah pendarahan yang dia alami setidaknya seminggu sekali dia kontrol ke rumah sakit dengan pengawalan ketat untuk memastikan kondisi tubuh terutama rahimnya.
“Aku kira wanita sepertimu masih bisa untuk diajak bicara baik-baik, tapi aku tak tahu apa yang sudah kamu alami sampai kamu lebih memilih diam seperti ini,” sindir Rasha santai.
Abi menggenggam alat makannya erat, jika saja dia punya nyali besar, mungkin dia sudah melempar sendok ini ke wajah Rasha yang sayangnya masuk dalam kategori tampan.
“Karena tak perlu ada yang kita bicarakan jadi untuk apa aku bersuara, apapun yang aku katakan tetap tidak akan mengubah keputusanmu untuk mempercepat inseminasi,” skak Abi.
Rasha menghela napas pelan, “Aku tak punya pilihan lain karena waktu yang kita punya kurang dari enam bulan, setidaknya aku harus tahu ini berhasil atau tidak bukan masalah melahirkan pewaris saja,” ujar Rasha diplomatis.
Abi hanya menatap Rasha dan kembali melanjutkan makannya.
Beberapa menit mereka diam menikmati hidangan masing-masing, tapi lebih tepatnya memaksa hidangan untuk masuk dalam mulut. Makanan tersebut bukan untuk dicerna tapi membunuh waktu karena ketegangan di ruang makan yang semakin hari semakin mencekam.
Abi berdiri dan bersiap meninggalkan ruang makan tapi Rasha menghalanginya. “Kita bicarakan semuanya di ruang tengah saja,” ucap Rasha dan Abi tak membantah.
Keduanya duduk bersebrangan membuat Rasha kesal dan menggeser duduknya dekat Abi. Wanita itu tak peduli sama sekali dengan pergerakan Rasha. Lelaki itu berdehem berharap Abi memperhatikannya tapi nihil.
“Sebenarnya apa yang membuatmu jadi seperti ini?” tanya Rasha tiba-tiba membuat Abi menatapnya lekat. “Maksudku apa kamu menginginkan sesuatu sampai kamu mogok bicara denganku,” Rasha meluruskan maksud pertanyaannya karena tak ingin kegelisahannya diketahui oleh Abi.
Abi menggeleng.
“Apa itu artinya kamu akan melakukan semua yang aku rencanakan tanpa kecuali?” tanya Rasha pnuh hati-hati.
Abi mengangguk.
“Karena?” tanya Rasha kembali tapi nadanya seakan ingin Abi bicara.
Abi menghela napas, “Tak ada alasan, bukankah ini memang yang kita janjikan di awal,” ucapnya santai.
Rasha menggeser tubuhnya cepat membuat jarak mereka semakin dekat sampai Abi berusaha menjauh tapi cekalan tangan Rasha membuatnya terjebak dalam aroma tubuh lelaki tegap itu.
Keduanya saling memandang lekat untuk menyelami isi pikiran masing-masing. Rasha merasakan debar yang berbeda dengan tatapan mata penuh luka yang ditunjukkan Abi kepadanya.
Perlahan, Rasha melepaskan cekalan itu dan menghembuskan napas kasar. Abi hanya diam berusaha menormalkan detak jantungnya karena perlakuan Rasha tiba-tiba.
Lelaki itu berdiri membelakangi Abi, “Jika kamu tak bisa mengatakannya kepadaku, kamu bisa bilang kepada Maria atau Sergy. Tidurlah sudah malam besok kamu harus ke rumah sakit,” kata Rasha pelan dan meninggalkan Abi di sana.
Abi hanya diam menunduk tak bergerak sama sekali setelah Rasha pergi meninggalkannya. Dia tak tahu apa yang membuatnya menjadi seperti ini, tapi dalam hatinya mendorongnya untuk melakukan hal ini.
“Aku sendiri tak tahu kenapa aku begini, tapi aku tak mungkin mengatakannya karena sampai kapanpun kamu tak mengerti dengan perasaan ini,” isak Abi yang terdengar jelas di ruang tengah.
Sorot mata tajam ini diam tak bersuara mendengarkan keluhan Abi yang muncul begitu saja. Dia sengaa tak banyak bicara di depn Abi karena dia sendiri juga tak mengerti kenapa dirinya begitu peduli dengan sikap Abai yang berubah kepadanya.
“Dan anehnya sikap itu justru membuatku tak bisa jauh darimu,” gumam Rasha yang sedari tadi memperhatikan Abi dari sudut yang lain.
***
Abi kembali ke rumah sakit dan Varrel menyambutnya dengan ramah seperti biasanya. Namun, sikap Varrel berubah saat meihat Rasha, dia lebih banyak diam beda dengan pertemuan sebelumnya yang banyak bicara dan bertingkah.
Rasha merasakan aura yang tidak bersahabat dari orang-orang di sekitarnya. Tapi dia tak mau ambil pusing soal itu, yang terpenting sekarang adalah dia harus bisa menjalankan inseminasi untuk mendapatkan pewaris Sandr.
“Bagaimana kondisinya?” pertanyaan yang selalu Rasha utarakan setelah Varrel memeriksa Abi.
“Ada kemajuan untuk lukanya tapi aku tak menjamin itu bisa sembuh dan berhasil seratus persen,” urai Varrel tak ingin menutupi apapun lagi.
“Jika perhitungan medis benar, seharusnya Abi akan melalui masa suburnya minggu depan, tapi kita tak tahu apa yang terjadi setelah kuret yang dia lakukan beberapa minggu lalu akan berpengaruh atau tidak,” jelas Varrel.
Rasha mengangguk paham, ada rasa lega menghampirinya karena prosedur ini akan berhasil tanpa gangguan dari Adrian.
“Biarkan dia dirawat di sini sampai proses inseminasinya berjalan, aku hanya bisa membantu menyuntikkan hormone untuk membantu pelepasan indung telur lebih cepat,” kata Varrel.
Rasha tak membantah dan menelpon Maria untuk menemani Abi di rumah sakit.
“Atur saja semuanya aku tak masalah,” balas Rasha dan tersenyum samar kepada Abi tapi sayangnya senyumannya tak mendapat respon dari wanita itu.
Varrel hanya bisa menghela napas melihat kelakuan Rasha yang sudah tak bisa diberi pengertian secara manusiawi. Sindirannya untuk menempatkan Abi di rumah sakit pun tidak dia sadari.
Rasha meninggalkan ruangan Varrel begitu saja setelah hening diantara mereka. Abi merapikan bajunya dan berniat keluar ruangan tapi Varrel menghalanginya.
“Maafkan aku,” ucap Varrel tulus.
Abi tersenyum samar, “Ini bukan salah Dokter, tak masalah kok,” kata Abi pelan.
Varrel megnhembuskan napas kasar, “Aku kehabisan cara untuk menunda prosedur ini, aku tak tahu apa yang membuatnya kehilangan belas kasihan kepadamu sampai dia nekat seperti ini,” urai Varrel.
“Kita hanya tak punya waktu Dok, pilihannya hanya bertindak lebih dulu atau menunggu dihancurkan,” analogi Abi yang cukup kasar.
“Hanya menjagamu di rumah sakit ini sampai inseminasi yang bisa aku lakukan, aku berdoa kejadian kemarin tak terulang lagi,” Varrel menjelaskan hal yang ambigu membuat Abi bingung.
“Aku tak mengerti,” timpal Abi.
Varrel menjelaskan alasannya kenapa menempatkan dirinya di rumah sakit sebelum inseminasi yang sebeneranya tak perlu dilakukan oleh pasangan normal.
Inseminasi sebenarnya cukup sederhana selama benih dan indung telur sudah diperiksa, memiliki hasil yang bagus maka proses inseminasi bisa dilakukan.
Bagi Varrel inseminasi kali ini memang sedikit berbeda dari yang lainnya bukan dari alat atau prosedur yang harus dijalankan, tapi Varrel harus melakukan sedikit rekayasa hormon agar indung telur milik Abi lekas bereproduksi untuk bertemu dengan benih milik Rasha.
Abi tersenyum dengan penjelasan Varrel, “Terima kasih Dok, sudah membantuku, tapi sungguh itu tak perlu, ini memang tugas yang harus aku jalankan,” ucap Abi tulus.
Varrel mengangguk paham, “Ayo aku antar kamu ke kamar yng akan kamu tempati,” ajak Varrel dan keduanya berjalan menyusuri koridor rumah sakit sambil sesekali bercengkrama.
Dua hari menjelang inseminasi, Varrel mendapatkan hasil tes keseluruhan. Sesuai dugaannya, inseminasi ini terlalu beresiko karena kondisi Abi yang belum seratus persen sembuh.
“Aku tidak berani menjanjikan apapun padamu kali ini, karena kondisinya belum pulih seratus persen,” kata Varrel menunjukkan hasil tes yang dia lakukan kepada Rasha.
“Berapa persen?” tanya Rasha saat memperhatikan hasil tes itu.
“Ga sampai 70 persen dan menurutku itu wasting time sih,” tegas Varrel.
“Resikonya?” kembali Rasha mencecar Varrel dengan tanya sambil menatap tak suka.
“Jika hamil 50 persen akan keguguran, terburuknya hamil di luar kandungan, tapi aku berharap tidak akan ada pembuahan,” kata Varrel santai.
Rasha berdehem dan memicingkan matanya, “Kau sepertinya sensi denganku sampai aku ingin anak saja kamu tidak bisa mengabulkannya padahal ini pekerjaanmu dan aku tahu kau bisa merekayasa semuanya,” sarkas Rasha.
Varrel membungkukkan badannya sambil menatap Rasha tajam. “Aku akan kembalikan semua uang pembayaranmu, cari dokter lain untuk urusan ini,” desis Varrel.
Dokter itu berdiri dan membuka pintu ruang prakteknya pertanda mengusir Rasha secara halus. Rasha berdiri dan menghampiri pintu itu tapi dia membantingnya begitu saja.
“Jangan kekanak-kanakan, aku menerimamu karena pesan dari Eleanor, jadi selesaikan tugasmu dan aku akan pergi dari kehidupanmu setelah itu,” timpal Rasha sambil menepuk pipi Varrel pelan.
“Jika Abi hamil sekarang itu penuh resiko dan mungkin mengancam nyawanya di masa depan. Namun, jika dia tidak hamil maka indung telur itu akan meluruh dan membantu membersihkan organ rahimnya dari pendarahan sebelumnya, semacam dicuci secara alami,” jelas Varrel.
Rasha berdiri di tepi jendela ruang praktek Varrel, sorot matanya menatap jalanan kota Rusia yang mendadak ramai.
“Jalankan saja dulu, hasilnya kita pikirkan nanti,” perintah Rasha dan dia berlalu dari sana.
Abi sudah siap di ruang tindakan, Varrel sudah siap dengan peralatannya dan dibantu oleh seorang asisten dan perawat. Rasha diam di salah satu sudut ruangan melihat semua prosedur itu.
Varrel menyiapkan satu set alat dokumentasi berupa kamera digital untuk merekam prosedur ini yang sempat jadi perdebatan baginya dan Rasha. Namun, Rasha menyerah setelah Varrel mengatakan semua ini untuk kepentingan medis.
“Selmat pagi Nona Abi,” sapa Varrel sambil memakai sarung tangan karet dan melihat reaksi Abi hari ini.
“Pagi Dok,” balas Abi normal.
“Apa ada keluhan pagi ini sebelum saya melakukan proses inseminasi?” tanya Varrel dan Abi menggeleng.
“Sebelum saya mulai, ada beberapa hal yang harus saya sampaikan kepada Nona Abi karena hasil medis ini hak Nona untuk tahu,” kalimat pembuka dari Varrel dan Abi mengangguk tak masalah.
“Secara keseluruhan hasil tes Nona baik pada awalnya, sampai asupan zat kimia berbahaya masuk dalam tubuh Nona dan membuat beberapa cedera dalam organ reproduksi yang Nona miliki,” ujar Varrel menekankan beberapa kata sambil membaca lembar laporan yang ada di tangannya.
*****