B.41 Closer

1431 Kata
Abi terkejut dengan suara berat yang tiba-tiba ada di belakangnya. Matanya membulat sempurna melihat seseorang yang ada di sana. “Ra-sha,” cicit Abi. Lelaki tampan, tegap, tinggi menjulang itu hanya melipat tangannya di d**a sambil memicingkan matanya melihat reaksi Abi. “Apa kamu baru saja melihat hantu sampai terkejut begitu?” tanya Rasha santai. Abi hanya bengong tak menjawab sampai Rasha menghampirinya dan menjentikkan jarinya. “Apa,” tiba-tiba Abi bersuara membuat lelaki itu mengerutkan dahinya. “Aku ga nyangka cewek kalo bengong keliatan bego dan ga ada aura cantiknya sama sekali,” celetuk Rasha membuat Abi manyun. “Aku kan ga bengong,” lirihnya sambil menunduk dan mengalihkan pandangannya dari Rasha. “So, kenapa mulutmu terbuka lebar sampai lalat saja bisa masuk saat melihatku ada di sini,” bisik Rasha. Abi menoleh mendengar bisikan itu membuat jarak mereka terlalu dekat sampai hembusan napas mint Rasha menerpa wajah polos Abi. “Nona, ini minuman –“ keduanya terhenyak dan memutuskan pandangan ketika mendengar suara Maria. “Maafkan saya Tuan, saya tidak tahu kalau Tuan ada di sini,” sesal Maria canggung karena mengganggu kedekatan keduanya. Rasha berdehem dan berbalik hendak pergi dari sana, tapi Abi menyadari jika dia ingin bicara dengan Rasha. “Rasha, tunggu,” panggil Abi dan Maria pergi setelah meletakkan minuman dingin di meja makan. Rasha menghentikan langkahnya, Abi mendekatinya dan menatap Rasha sekilas. “Emm, apa aku boleh minta waktumu sebentar,” ucap Abi ragu. Rasha menatap Abi, “Ada apa?” tanyanya cepat. Abi menatap lama, “Maaf,” ucap Abi begitu saja membuat Rasha bingung. Abi berdehem untuk membasahi tenggorokannya. Dia membuka mulutnya ingin bicara tapi seruan Rasha membuat Abi menutup mulutnya kembali. “Maria,” panggil Rasha kencang. Pelayan itu datang dengan langkah tergopoh-gopoh dan menunduk hormat. Abi hanya bisa melihat interaksi keduanya tak bisa berkomentar. “Bawakan cemilan di balkon lantai tiga,” perintah Rasha sambil melirik Abi dan berjalan ke lantai tiga. Abi menggerakkan mulutnya kepada Maria untuk mengucapkan terima kasih dan mengikuti langkah Rasha ke lantai tiga. Keduanya duduk di balkon lantai tiga, Rasha sibuk dengan ponselnya membuat Abi hanya diam menatap Rasha. Tak sampai lima belas menit Maria datang membawa cemilan dan meninggalkan keduanya. Abi hanya menghembuskan napas berkali-kali membuat Rasha terganggu sampai meletakkan ponselnya dengan keras dan menatap Abi tak suka. “Kamu yang meminta waktuku tapi kamu hanya diam saja dan melakukan pemborosan dengan menghirup banyak oksigen di sini,” cela Rasha tanpa ampun. Abi menatap lelaki di hadapannya lekat sambil menggigit bibirnya. “Aku menunggumu.” Rasha menaikkan alisnya, “Menungguku, untuk apa?” tanya Rasha tak mengerti. “Kenapa kamu tak bilang jika Varrel baik-baik saja, sedangkan aku sudah berpikir macam-macam karena suara tembakan itu,” ucap Abi dalam satu tarikan napas. Rasha mengeraskan rahang dan menautkan tangannya erat. Amarahnya mendadak muncul karena ucapan yang pertama kali dikatakan Abi soal Varrel. Ada perasaan kesal dan tak suka mendengar mulut wanita itu mengucap nama Varrel di hadapannya dan sekarang Abi berkata seolah dia khawatir dengan dokter genit itu. “Jika kamu minta waktuku untuk membahas Varrel, aku tak punya waktu,” balas Rasha tak ingin menjawab pertanyaan Abi dan berdiri dari sana. Rasha menghentikan langkahnya karena dia merasakan ada tangan lembut yang memegang tangannya. “Aku tak tahu apa yang terjadi padamu, kamu menghilang setelah kejadian itu dan aku belum sempat mengucapkan terima kasih,” kata Abi ragu, karena dia merasakan jika Rasha marah kepadanya. Rasha melepas genggaman tangan itu dan kembali duduk di hadapan Abi sambil makan biskuit yang sudah Maria sajikan. “Terima kasih, kamu sudah menolongku dan menjagaku selama aku tak sadarkan diri, sebenarnya aku tak berniat –“ “Apa kamu ga bisa melakukan hal yang lebih masuk akal selain bunuh diri,” sentak Rasha tiba-tiba membuat Abi tak menyelesaikan ucapannya. Wanita itu hanya menunduk saat mendapat seruan semacam itu. Rasha menyadari jika dia terlalu keras kepadanya dan menghela napas. “Katakan padaku, apa yang sebenarnya kamu inginkan, apa kamu tidak suka tinggal di sini atau tidak suka melihatku?” cecar Rasha cepat. “Lebih baik kamu katakan semuanya, aku bisa saja pergi dari hadapanmu jika memang itu yang kamu inginkan, tapi jangan lakukan hal konyol semacam itu lagi,” Rasha lebih lembut mengatakannya membuat Abi menatapnya. “Bukan, bukan seperti itu,” timpal Abi tiba-tiba membuat Rasha menatapnya lekat. “Lalu,” desak Rasha. Abi meremas kedua tangannya, berpikir bagaimana mengatakan perasaannya kepada Rasha saat itu sampai dia menenggelamkan tubuhnya di bak mandi. “Abisha,” panggil Rasha mulai tak sabar. Abi menunduk semakin dalam membuat Rasha penasaran dan melihat gelagat Abi yang terlihat ragu. “Katakan saja terus terang aku mendengarnya,” ucap Rasha pelan dengan rasa penasaran tinggi. “Malu,” celetuk Abi tiba-tiba. “Malu apa? Siapa yang malu? Apa maksudnya dengan malu,” Rasha semakin penasaran sampai dia mendekatkan tubuhnya dengan Abi. “Aku malu karena kamu sudah melihat tubuhku yang terekspos meskipun belum semuanya, seolah kamu ingin –“ suara Abi tercekat seolah ada ganjalan di tenggorokannya dan airmata mengalir begitu saja. Rasha terhenyak dengan ucapan Abi sampai lidahnya kelu tak bisa menimpali ucapan Abi. Lelaki itu sama sekali tak menyangka jika semua tindakan Abi saat itu disebabkan oleh kelakuannya demi melampiaskan kekesalan karena kedekatannya dengan Varrel. Namun, semua itu justru membawa Abi dalam tindakan depresi sampai ingin bunuh diri. Apakah dia tak pernah melakukan hal seintim itu dengan pria sampai merasa malu atau karena semua ini karena dirinya yang melakukan? “Dan aku tak mengerti kenapa kamu melakukan itu kepadaku, sedangkan kamu mengatakan jika kamu tak tertarik kepadaku dan tak ingin berhubungan lebih dekat denganku. Jadi, aku merasa seperti –“ Abi terisak dan tak bisa melanjutkan ucapannya. Rasha mengusap wajahnya kasar. “Mulai sekarang, jangan terlalu dekat dengan pria manapun termasuk Varrel jika kamu tak ingin kejadian itu terulang kembali,” pesan Rasha tanpa berniat menjelaskan kenapa dia melakukan hal itu. Abi menatap Rasha dengan wajah sembab. Rasha membalas tatapan wanita mungil di hadapannya dan entah perasaan apa yang dia rasakan tapi melihat mata sembab itu ada sesak dalam dirinya. Lelaki itu menyodorkan tisu, “Hapus air matamu, calon ibu dari anakku tidak boleh menangis terlalu lama, apalagi menangis di depan musuh. Memalukan,” celetuk Rasha. Abi tak tahu kenapa Rasha mengatakan itu tapi dia tak membantah dan menerima tisu yang Rasha berikan. “Ada lagi?” tanya Rasha sambil menunggu Abi menghapus air matanya. Wanita itu menggeleng. Rasha menyodorkan minuman dingin milik Abi yang sebelumnya dia minta kepada Maria. “Maaf, jika sebelumnya aku menuduhmu membunuh Varrel,” kata Abi sambil menerima minuman itu. Rasha tak berkomentar dan asyik mengunyah biskuitnya. Abi merasa jika Rasha tak ingin mengobrol dengannya lebih lama. Dia menggenggam gelas yang dingin itu dan berdiri. “Aku permisi,” ucap Abi dan berbalik dari sana. “Apa kamu menyukainya?” seru Rasha yang tak bisa menahan rasa penasarannya. Abi diam mencerna ucapan Rasha. Wanita itu berbalik dan menatap Rasha. “Maksudmu Varrel?” tanya Abi balik dan Rasha menatapnya datar. Abi menggeleng. “Aku hanya berusaha bersikap baik dengannya karena dia selama ini menemaniku ngobrol dan dokter untuk inseminasi ini,” jawab Abi santai. Rasha menyelami pikiran Abi melalui manik mata indahnya, dia mengira Abi berbohong dengan ucapannya itu tapi sayangnya yang nampak justru binar kejujuran. “Tapi kamu diam saja saat dia bertindak kurang ajar kepadamu,” selidik Rasha. Abi mengerutkan dahinya tak mengerti. “Kurang ajar, maksudnya?” sahut Abi sambil mengerjapkan matanya nampak berpikir. Rasha berdiri dan berjalan mendekati Abi. Wanita itu menelan ludahnya dan tak tahu bagaimana harus bersikap karena Rasha menghampirinya membuat jarak mereka cukup dekat. Rasha meraih pinggang Abi sontak membuat wanita itu kaget dan menumpahkan minumannya di baju Rasha. Matanya membulat karena perlakuan Rasha yang tiba-tiba bersamaan dengan jantungnya yang berdetak lebih cepat. “Kenapa kamu tak menyiramnya dengan air seperti saat ini tapi menikmati pelukan yang dia berikan waktu itu,” desis Rasha yang tak bisa berbohong jika terpesona dengan mata Abi yang memancarkan kilat berbeda. Abi menggeleng cepat. “Aku tidak,” sahutnya cepat tapi tak tahu bagaimana menjelaskannya kepada Rasha. “Dokter genit itu tak mendengarkan peringatanku bahkan saat aku menodongkan pistol di kepalanya. Aku tak suka dia menggoda dan menghasutmu untuk pergi dariku,” lirih Rasha membuat Abi kaget. Rasha menggerakkan kepalanya tepat di ceruk leher Abi membuat wanita itu meremang dan memejamkan matanya. Rasha menghirup aroma tubuh Abi yang entah sejak kapan menjadi aroma kesukaannya. “You are the mother of my child. So no other man can touch you,” hembusan napas Rasha di lehernya membuat Abi melayang. “Cause you’re mine.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN