Setelah pembicaraan keduanya saat itu, Rasha kembali tinggal di mansion dan mulai bersikap lebih lunak kepada Abi.
Lelaki itu tak memahami kenapa dia harus merubah sikapnya yang selalu ingin terlihat dingin di depan siapa saja, tapi di depan Abi dia meruntuhkan es yang ada dalam dirinya dan berusaha bersikap apa adanya.
Sergy membuka pintu utama mansion untuk memberi akses masuk kepada Rasha. Lelaki itu menghentikan langkahnya di ruang tengah karena melihat lampu di ruangan itu masih menyala.
Aroma kue yang mendadak membuat perutnya berbunyi. Langkahnya mengikuti aroma itu dan melihat ada beberapa cupcake di meja dengan hiasan warna warni yang membuatnya geli.
Namun, perhatiannya beralih kepada wanita yang terbaring pulas di sofa dengan celemek yang masih menempel di badannya.
Rasha melihat jam di tangannya sudah menunjukkan tengah malam. Sejak kapan Abi tertidur di sini dengan celemek dan kue yang tak disentuh olehnya.
Pemandangan yang tak pernah dia lihat membuatnya bingung harus berbuat apa sampai suara Sergy mengganggu lamunannya.
“Saya akan panggil Maria untuk membangunkan Nona agar pindah ke kamarnya,” usul Sergy tapi lengan Rasha mencengkram pundak pengawalnya membuat pria itu menghentikan langkahnya.
“Biar aku yang memindahkannya,” ucap Rasha menyerahkan jas dan menggulung lengan kemejanya.
Rasha membawa Abi ke kamar dan meletakkannya di ranjang perlahan. Wanita itu bergerak perlahan membuat Rasha memundurkan tubuhnya dan berdiri di tepi ranjang.
“Ya ampun jam berapa ini,” tiba-tiba suara Abi terdengar dan bangun dari tidurnya cepat sampai Rasha dibuat terkejut dengan pergerakan itu.
“Maria,” Abi menoleh dan matanya membulat karena melihat Rasha yang ada di sana.
“Rasha, aku kira kamu Maria,” lirihnya pelan dan Rasha hanya berdehem menanggapinya.
“Apa kamu baru datang?” tanya Abi menyingkirkan kecanggungan diantara keduanya.
Rasha mengangguk.
“Kalau kamu mengantuk seharusnya kamu pindah ke kamar kenapa masih duduk di ruang tengah,” komentar Rasha membuat Abi berpikir dan seketika dia memekik.
“Kueku,” ucap Abi dan lompat dari ranjang meninggalkan Rasha di kamarnya membuat lelaki itu bingung dengan kelakuan ajaib Abi.
“Apa dia lebih memikirkan kuenya daripada aku yang berat menggendongnya dari lantai satu,” kesal Rasha sambil berjalan keluar kamar Abi.
Abi kembali ke kamarnya tapi tak menemukan Rasha di sana, dia memutuskan pergi ke kamar Rasha. Abi mengetuknya berkali-kali tapi lelaki itu tak muncul.
Tak ada sahutan dari pemilik kamar membuat Abi pergi dari sana dengan perasaan kecewa. Namun, belum jauh melangkah dia mendengar suara pintu dibuka membuatnya berbalik dan seketika memekik kencang melihat pemandangan di hadapannya.
“Kenapa kamu ga pakai baju begitu, malu,” ujar Abi cepat membuat Rasha menyadari jika dia masih belum selesai merapikan diri.
Lelaki itu mengambil Tshirt dan mengenakannya di hadapan Abi. “Ada apa?” tanya Rasha polos.
Abi membuka matanya perlahan sambil menghela napas lega. Sekilas dia melongok ke kamar Rasha yang didominasi warna abu-abu dan putih khas kamar lelaki.
“Abisha,” tekan Rasha karena wanita itu malah mengamati kamarnya bukan bicara tujuannya berdiri di sana.
“Ah, ini selamat ulang tahun Rasha,” ucap Abi sambil tersenyum lebar menyodorkan cupcake yang sempat dia lihat di ruang tengah tadi.
Rasha hanya diam menatap reaksi Abi. Lelaki itu sudah lupa kapan terakhir kali dia merayakan ulang tahun bahkan dia lupa jika hari ini merupakan hari lahirnya.
“Apa kamu tidak suka kuenya?” tanya Abi mulai cemas karena reaksi Rasha yang terlampau datar.
“Aku tidak ulang tahun,” sahut Rasha masih memandang kue yang menggelikan untuknya.
Abi mengerutkan dahinya, “Bukankah kamu berulang tahun tanggal 23 bulan ini,” gumam Abi.
“Memang sih sekarang sudah lewat tengah malam jadi masuk tanggal 24, tapi aku membuat ini untuk merayakan ulang tahunmu kemarin, aku tak tahu kalau kamu pulang larut,” jelas Abi.
Rasha menatap wanita di hadapannya lekat. Dia tak perlu bertanya dari mana Abi tahu hari ulang tahunnya tapi kenapa wanita itu harus peduli kapan dia ulang tahun sedangkan dia tak pernah peduli dengan kehidupannya.
“Aku akan pergi jika kamu memang tidak suka dengan kuenya,” ucap Abi dengan wajah kecewa dan berbalik.
Lengan kekar Rasha menghalanginya dan hampir saja kue yang dia pegang terjatuh.
“Kenapa?” tanya Rasha ingin tahu.
“Apanya yang kenapa?” tanya Abi balik.
Rasha mengambil satu kue dan mencobanya, tatapannya sulit dimengerti membuat Abi cemas dengan rasa kue miliknya.
“Apa kuenya tidak enak?” tanya Abi penasaran.
Rasha hanya diam.
“Maria yang membuatnya?” tanya Rasha balik dan Abi menggeleng.
“Aku membuatnya sendiri, aku kira kamu suka kue atau makanan yang manis karena beberapa waktu lalu, kamu menikmati biskuit yang dibuat oleh Maria,” ungkap Abi.
Rasha menatapnya lekat seakan tak percaya dengan apa yang Abi katakan.
“Jangan lupa gosok gigi setelah makan makanan manis,” pamit Abi karena Rasha tak kunjung memberikan komentarnya.
Lelaki itu hanya bisa menatap punggung Abi yang meluruh, dia tahu jika Abi kecewa dengan dirinya tapi Rasha tak mungkin mengatakan sejujurnya kepada wanita itu yang nanti membuatnya besar kepala.
Abi diam menatap kue yang masih tersisa. “Setidaknya katakan saja kue ini tidak enak, itu lebih baik daripada diam saja,” helaan napas menyiratkan rasa kecewa membuatnya meninggalkan kue itu di meja makan dan kembali ke kamarnya.
Rasha mencerna rasa dalam kue itu yang jujur rasanya cocok di lidahnya. Lelaki itu keluar kamar dan berjalan ke dapur untuk mencari kue yang dibuat oleh Abi.
“Apa Tuan mencari ini?” tanya Maria tiba-tiba membuat Rasha kaget dan memasang wajah datar.
Lelaki itu melihat piring berisi cupcake buatan Abi. Rasha berdehem dan mengambil gelas yang dekat dengannya. Dia menuangkan air mineral dan mengacungkannya kepada Maria.
“Jika Tuan tidak suka saya akan membuangnya,” ucap Maria membuat Rasha menghalangi langkahnya.
“Memangnya kue itu tak bisa dimakan buat besok?” tanya Rasha pura-pura.
Maria mengangguk. “Bisa saja, tapi rasanya berbeda dengan yang sekarang. Apalagi Nona Abi membuatnya sejak pagi karena dia tahu Tuan berulang tahun,” ucap pelayannya.
“Apa kamu yang mengatakannya?” selidik Rasha penasaran.
Maria menggeleng, “Ada kiriman kado dari sepupu Anda di Amerika dan itu membuat Nona Abi panik ingin memberi kejutan tapi Nona tertidur sambil menunggu kedatangan Tuan,” jelas Maria.
Rasha terdiam membuat Maria pamit undur diri.
Rasha menarik kursi dan duduk menghadap kue itu. Lelaki itu memejamkan matanya sebentar dan tersenyum.
“Terima kasih,” lirih Rasha dan menikmati kue itu yang tersaji dalam berbagai rasa.
Rasha tak menyadari jika ada dua pasang mata mengawasinya dan tersenyum bahagia melihat reaksi Rasha seperti itu.
“Senyum yang sudah dua puluh tahun hilang muncul kembali sejak kehadiran Nona Abi,” ucap Maria dijawab dengan anggukan Sergy.
***
Adrian mengepalkan tangannya kesal karena tak menemukan celah untuk menggagalkan rencana Rasha. “Aku ga boleh kehilangan kesempatan ini apapun caranya,” gumamnya.
“Cedric, selidiki keluarga Abi secara detail, aku yakin pasti ada celah yang bisa aku gunakan untuk melumpuhkan mereka,” perintah Adrian dan Cedric menyanggupinya.
Adrian berpikir keras, “Apa yang kamu miliki Abelone sampai Rasha tak memberikan ruang kepadamu untuk jauh darinya,” geram Adrian.
Tak sampai sepuluh menit dia mendengar keributan di ruang kerjanya yang menarik perhatiannya. Cedric menghalangi beberapa orang yang ada di sana untuk masuk ruangan Adrian.
“Selamat pagi Tuan Adrian,” sapa seorang pria yang lebih tua darinya dan berseragam khas Interpol.
“Ada apa ini?” tanya Adrian berusaha tenang.
“Surat penyelidikan dan penangkapan Anda terkait beberapa bisnis illegal dari organisasi Lev yang Anda miliki,” ucap pria itu.
Adrian menggeram kesal.
“Rasha, kurang ajar!”
***
Rasha tersenyum lebar mendapat laporan dari salah satu kenalannya di Interpol. Kemarin mereka sudah menangkap Adrian dan akan melakukan penyelidikan menyeluruh untuk pelanggaran yang dia lakukan.
“Tuan, tim pengembang Burskya ingin bertemu malam ini, saya sudah mengosongkan jadwal untuk Anda,” lapor Digga membuat Rasha penasaran.
“Apa ada hal serius kenapa mendadak sekali?” tanya Rasha sedikit cemas.
“Informasi sementara, ada hal di luar dugaan yang mereka temukan dalam penggalian pertama, tapi demi keamanan mereka ingin mengatakan langsung kepada Anda,” ujar Digga.
Rasha mengangguk paham.
Dering ponselnya berbunyi sebelum dia melanjutkan ucapannya kepada Digga. Meskipun enggan tapi dia tak bisa menolak panggilan itu.
“Iya Mah,” jawab Rasha.
“Kenapa Mamah ga boleh bertemu dengan Abi, Mamah ingin mengajaknya minum teh atau sekedar jalan-jalan sore,” protes mamanya membuat Rasha memijat keningnya menghadapi drama ibunya.
“Ini untuk keselamatan Abi Mah, aku tak bisa seratus persen menjaganya jika dia keluar dari mansion itu,” jawab Rasha semudah mungkin.
“Memangnya kamu tidak bisa bayar pengawal yang banyak untuk memberikan keamanan, apa Mamah harus minta Papah untuk menyiapkan pengawal buat Abi,” seru Carryn tak suka.
“Mah, ini urusan Rasha, jangan ikut campur. Jika tidak ada yang mau Mamah sampaikan, Rasha tutup telponnya,” ucap Rasha dan menutup panggilan itu tanpa menunggu balasan dari mamanya.
Belum sempat dia meredakan emosinya karena drama mamanya, ponselnya kembali berdering membuatnya kesal tanpa melihat siapa yang menelpon.
“Ga usah mulai deh, ini urusanku jadi jangan ikut campur lagi,” seru Rasha membuat lawan bicaranya bingung.
“Kau ga jadi inseminasi,” balas pria itu yang tak lain Varrel.
Rasha terkejut dengan suara yang berbeda dari sebelumnya membuatnya menjauhkan ponsel dan melihat siapa yang menelpon.
Rasha berdehem mengatur rasa malunya. “Ada apa?” tanya Rasha pelan.
“Barusan Abi mengabariku jika dia baru saja mendapatkan haid pertamanya. Aku harus memberikan obat penunjang hormon kepadanya sebelum inseminasi bulan depan,” terang Varrel.
“Datanglah ke kantorku sekarang,” ucap Rasha singkat dan bersiap mengakhiri panggilannya tapi seruan Varrel membuatnya batal melakukannya.
“Aku harus bertemu dengannya dan menjelaskan urutan obat yang harus dia minum,” pinta Varrel dan entah kenapa bagi Rasha ucapan itu terdengar seperti alasan untuk bertemu dengan Abi.
“Apa peringatan yang aku berikan tak cukup membuatmu jera dan menyerah untuk mendekati dan menghasutnya,” sentak Rasha membuat Digga kaget.
Varrel berdecak, “Katamu aku masih punya waktu sampai Abi hamil, jadi aku mau mengambil kesempatan itu sebisa mungkin,” jawab dokter itu polos yang menyulut emosi Rasha.
“Dasar tak tahu malu!” bentak Rasha.
Varrel terkekeh sumbang, “Kenapa aku harus malu jika kalian bukan pasangan suami istri, dia hanya alat bagimu untuk menaruh benih, hanya bisnis,” ujarnya.
Wajah Rasha memerah menahan amarah, baru kali ini dia punya bawahan yang tak patuh dan itu membuatnya kesal sampai ke ubun-ubun.
“Dan aku akan berusaha untuk membuatnya sadar bagaimana hubungan kalian dan siapa yang tulus mendampinginya selama ini,” kekeh Varrel.
“Sialan!” umpat Rasha.
“Aku akan datang ke rumahmu sore ini, terima kasih untuk ijinnya,” pamit Varrel tanpa dosa dan langsung mengakhiri panggilannya.
Rasha meletakkan ponselnya di meja dengan keras sebagai ungkapan kekesalannya.
“Apa terjadi sesuatu?” tanya Digga cemas.
“Batalkan semua jadwalku mulai sore ini,” perintah Rasha penuh emosi.
Digga terkejut, “Tapi Tuan, bukankah nanti malam ada pertemuan dengan tim –“
Rasha menatap Digga tajam, “Aku harus menemani Abi, sebelum Varrel berbuat kurang ajar lagi kepadanya.”
*****