Rasha memeluk Abi erat dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Ada gejolak emosi yang muncul dalam dirinya karena rumahnya mendapat ancaman oleh musuh.
“Rasha,” panggil Abi berusaha melepas pelukannya.
“Diamlah,” balas Rasha dan meraih ponsel di meja samping tempat duduknya.
“Periksa siapa yang baru melepaskan peluru di mansion, sekarang!” sentak Rasha kepada lawan bicaranya.
Abi terkejut dengan ucapan Rasha, apa baru saja ada adegan penembakan kepadanya atau mungkin sasarannya Rasha. Tapi kenapa dia tak menyadari hal itu.
Setelah dirasa kondisinya aman Rasha melepaskan pelukan dan memeriksa sekitar balkon tapi dia tak menemukan apapun.
Dia beralih ke sudut lain untuk mencari peluru yang sudah dilepaskan tapi beberapa pengawal dan Sergy datang untuk memeriksa.
“Tuan, apa ada yang terluka?” tanya Sergy sambil menunduk hormat.
Rasha ingat jika dia tak sendiri, lelaki itu menghampiri Abi dan memeriksa kondisinya.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Rasha dan Abi mengangguk kaku.
Rasha melihat jam di pergelangan tangannya. Langkah mantapnya berjalan mendekati Sergy.
“Tidak ada ampun untuk siapapun yang berani merusak ketenangan mansion milikku!” ancam Rasha.
Sergy menunduk dan mengangguk paham maksud ucapan Rasha.
Lelaki itu menoleh ke belakang, “Ayo kita ke rumah sakit,” ajak Rasha membuat Abi terhenyak dan melangkah pelan.
“Siapkan pengawalan ketat!” sentak Rasha setelah Abi ada di sampingnya.
Semenjak kejadian di balkon membuat Abi diam saja meskipun sesekali melirik belakang mobil yang dia tumpagi. Dia tak menyangka jika ada empat mobil SUV mengawalnya hanya untuk ke rumah sakit.
Wanita itu juga sempat melirik Rasha yang duduk di sampingnya di kursi penumpang sambil memainkan ponsel. Di bangku depan ada seorang pengawal dan supir yang mengemudi dengan cukup tenang.
“Sekarang kamu mengerti kenapa aku melarangmu keluar mansion,” ucapan Rasha yang tiba-tiba membuat Abi kaget dan diam menatapnya.
“Mereka sudah berani melakukan ancaman di mansion yang memiliki penjagaan ketat, bagaimana jika kamu keluyuran sembarangan,” tegas Rasha.
Abi hanya diam menunduk mengatur napasnya, dia tahu jika Rasha seorang pemimpin organisasi Kogens yang banyak orang bilang itu organisasi mafia.
Namun, Abi tak menyangka jika nyawanya juga jadi taruhan meskipun ada banyak pengawal di sekitarnya. Dia yakin tak memiliki sesuatu yang berharga untuk diambil.
“Kamu memang tidak berharga,” ucap Rasha seakan tahu isi kepala Abi.
Wanita itu menengok karena Rasha mengucapkan apa yang dia pikirkan.
“Tapi mereka tahu jika kamu wanita yang disiapkan untuk mengandung anakku, pewaris Sandr dan Kogens,” lanjut Rasha membuat Abi paham.
Wanita itu meremas tangannya cemas, muncul rasa takut dalma dirinya. Apakah dia bisa bertahan sampai melahirkan pewaris gen Aleksandr dengan selamat.
Seakan tahu apa kekhawatiran Abi, Rasha berdehem membasahi tenggrokannya.
“Selama kamu mengikuti aturanku, maka kamu dan bayi itu akan selamat, itu janjiku kepadamu,” kata Rasha membuat Abi menatap lelaki matang di sampingnya dengan debar tersendiri baginya.
Keduanya tiba di rumah sakit yang khusus disewa dan didanai oleh kelompok Kogens. Meskipun begitu beberapa orang yang ada di sana sempat memperhatikan kedatangan Rasha dan rombongannya.
Rasha dan Abi berjalan menyusuri lorong untuk menemui Varrel. Abi sempat berpikir mengenai keadaan Varrel setelah kejadian di kolam renang, tapi dia tak mungkin bertanya saat ada Rasha seperti sekarang.
“Kalian tunggu di sini dulu,” ucap Varrel begitu melihat keduanya datang.
Varrel terkejut dengan banyaknya pengawalan di luar ruangan saat dia akan pergi ke laboratorium. Lima belas menit kemudian Varrel kembali dan menatap Rasha.
“Apa kamu berniat menghancurkan rumah sakit ini setelah inseminasi kenapa banyak sekali pengawal di luar,” komentar Varrel.
Rasha menatap dokter itu datar. “Seseorang berusaha menyerang Abi sebelum datang ke rumah sakit ini, menurutmu aku harus diam saja,” ketusnya.
Varrel ganti menatap Abi dan melihat reaksi wanita itu yang diam sejak datang kemari.
“Apa ada yang terluka?” tanya Varrel dan Abi menggeleng.
“Dimana kejadiannya?” tanya Varrel kepada Rasha karena penasaran.
“Balkon lantai 3 mansionku,” jawab Rasha dan cukup mendapatkan reaksi terkejut dari Varrel.
“Aku kira mansionmu sudah paling aman, bagaimana bisa mereka melakukan ancaman di sana. Cari mati,” gumam Varrel sambil mengambil beberapa berkas untuk persiapan keduanya inseminasi.
“Mereka pasti mati,” timpal Rasha santai sampai Abi merinding mendengarnya.
“Kamu mau memperbarui benih yang sudah kamu berikan kemari atau tidak?” tanya Varrel to the point membuat Rasha mengerutkan dahi.
“Memang bisa langsung digunakan?” tanya Rasha balik.
Varrel mengangguk, “Bisa saja, karena Abi dalam masa subur jadi benih kamu seharusnya berhasil melakukan pembuahan.”
“Mungkin aku perlu waktu untuk memeriksa sedikit dan mengambil benih yang banyak mengandung kromosom Y agar potensi membuahkan bayi lelaki lebih besar,” terang Varrel.
Rasha menatap Abi dengan tatapan sulit dimengerti membuat Abi jadi canggung.
“Berapa lama waktu yang aku punya?’ tanya Rasha cepat.
Varrel menaikkan alisnya, “Apa kamu perlu semalaman untuk mengeluarkan benihmu,” nadanya tersirat celaan.
Rasha berdecak kesal. “Untuk memastikan sebelum semuanya tidak berfungi, bodoh,” Rasha balik mencela.
Varrel terkekeh, “Semakin lama otomatis inseminasi jadi semakin mundur, that’s your choice. Dan benihmu juga tak bisa bertahan lama di luar.”
“Apa sekarang hanya perlu satu suntikan saja?” tanya Abi pelan membuat Rasha kaget.
“Memangnya harus berapa banyak suntikan?” timpal Rasha cepat sambil menatap Varrel.
Dokter itu berdehem, “Sebenarnya tak ada perhitungan pasti, tapi kami selama ini memang memasukkan hanya satu kali suntikan dengan sortir yang maksimal.”
“Umumnya prosedur kita tak pernah langsung, pasti ada waktu untuk pemeriksaan, tapi selama ini tak ada masalah buat kalian, selain kasus kemarin,” jelas Varrel.
“Kebetulan juga saat ini masa subur Abi yang terbaik sampai 36 jam kemudian, jadi tingkat keberhasilannya lebih besar meskipun tanpa pemeriksaan detail,” terang Varrel.
Keduanya diam medengarkan penjelasan itu dan tenggelam dalam pemikiran masing-masing.
“Lagipula sebanyak apa sih yang bisa kamu keluarkan, paling juga kalo solo dikit doank,” kembali Varrel mencela membuat Rasha menggeram.
“Mana tabungnya?” ucap Rasha sambil berdiri membuat Abi kaget dan menatap Rasha tak mengerti.
Varrel menaikkan sudut bibirnya, “Ada di lab, kita ke sana aja habis ini,” ucapnya dan ketiganya pergi meninggalkan ruangan itu.
Petugas lab menunjukkan ruangan yang bisa digunakan Rasha untuk menampung benihnya. Lelaki itu menatap Abi seakan dia tak suka jika hanya berdua dengan Varrel.
“Aku permisi ke toilet dulu,” ucap Abi cepat membuat Varrel merasa ada yang aneh.
Tangan lembut dokter itu menghalangi Abi, “Ga usah menghindar tunggu di sini aja, biarin aja lelaki itu marah,” kata Varrel membuat Abi terbelak.
“Aku memang sengaja,” bisik Varrel yang tiba-tiba mendekatkan kepalanya di telinga Abi membuat Rasha salah paham.
“Abisha!” sentak Rasha tepat ketika Varrel berbisik kepadanya membuat Abi mendorong Varrel sampai pria itu terhuyung.
Rasha meraih tangan Abi dan memintanya untuk menunggu di depan pintu. Varrel hanya tersenyum penuh arti membuat Abi tak bisa memahami ada apa dengan dua pria yang selalu bertengkar di depannya.
Tak sampai tiga puluh menit Rasha sudah menyerahkan hasilnya dan Varrel memandang Rasha salut.
“Tak kusangka cepat dan bervolume,” kekeh Varrel dan meninggalkan keduanya begitu saja.
Rasha terlihat kesal sampai mondar mandir di sekitar sana sampai Abi menghela napas bingung. Beberapa menit kemudian Varrel keluar dari lab dan mencari keduanya yang masih menunggu di luar.
“Hasilnya baru keluar satu jam dan nanti langsung diinjeksi dalam rahim Abi, serah kalian sih mau nunggu sini atau balik lagi nanti,” kata Varrel.
Rasha menarik tangan Abi pergi dari sana tanpa membalas ucapan Varrel. Keduanya pergi ke kafe samping rumah sakit.
“Makanlah yang bergizi, jangan minum kafein,” ucap Rasha begitu Abi membaca buku menu.
Ucapan Rasha yang menunjukkan kepedulian kepadanya membuat Abi merasakan kehangatan yang tak pernah dia terima sebelumnya.
“s**u coklat dan blueberry croissant,” ucap Abi membuat pelayan itu memasukkan dalam daftar pesanan.
“Americano double shoot,” ucap Rasha begitu Abi menoleh kepadanya.
Keduanya menunggu pesanan dalam diam membuat Abi sesekali melirik Rasha yang sibuk dengan ponselnya.
“Salah satu anak buah Adrian yang melakukannya,” ucap Rasha membuat Abi terkejut.
“Hemm, siapa?” timpal Abi membuat Rasha sadar jika wanita itu tak mendengarkan apa yang dia ucapkan.
Rasha meletakkan ponselnya bersamaan dengan pesanan mereka datang. Lelaki itu menatap Abi, “Ada yang ingin kamu sampaikan?” tanya Rasha cepat.
Abi menggeleng yakin.
“Tapi kamu tak mendengarkanku bicara,” sahut Rasha membuat Abi jadi canggung dan menunduk.
“Abisha,” suara lembut Rasha mengalun dan mengejutkan Abi.
“Aku takut,” timpal Abi tiba-tiba membuat Rasha bingung.
Terlalu banyak berinteraksi dengan wanita membuat Rasha tak bisa membedakan reaksi wanita yang memang takut kepadanya atau enggan bicara dengannya.
“Waktumu tinggal tiga bulan lagi, bagaimana jika aku tetap tidak hamil,” cicit Abi membuat Rasha menghela napas.
“Itu bukan porsi yang harus kamu pikirkan,” balas lelaki itu cepat sambil menyeruput kopinya.
Abi menatap Rasha lekat berharap dia bisa menemukan sesuatu yang membuat hati Rasha tak sekeras ini dan membantunya jika memungkinkan.
“Jangan menatapku seperti itu, aku tak perlu dikasihani,” cela Rasha membuat Abi mengalihkan pandangan dan memilih meminum coklatnya.
“Aku hanya ingin membantu,” lirih Abi tapi Rasha masih bisa mendengarnya.
Rasha menyadari satu hal, beberapa hari ini wanita di depannya terlihat berbeda mulai dari sensitif, apa ini pengaruh hormon dan masa subur yang dia alami.
Namun, Rasha tak mau memikirkan hal itu dan fokusnya hanya untuk inseminasi kali ini.
“Apa ini karena hormon?” tanya Rasha tiba-tiba menmbuat Abi tersedak.
“Hormon apa maksudmu?” tanya Abi tak mengerti.
“Kenapa kamu harus peduli dengan urusanku sedangkan yagn aku tahu kamu tak ingin terlibat terlalu jauh denganku,” Rasha tak menjawab pertanyaan Abi lebih memilih memancing perdebatan.
Abi menghela napas, “Aku memang tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.”
“Tapi melihat apa yang kamu kerjakan sepertinya keberadaan Sandr penting untukmu terlepas kamu sebagai pewarisnya,” ucapan Abi yang mendadak berbobot membuat Rasha terkejut.
“Sejak kapan kamu mulai peduli soal Sandr?” selidik Rasha membuat Abi menelan ludahnya.
“Aku tadi tidak sengaja masuk ruang kerjamu dan melihat banyak proyek Sandr yang tidak sepenuhnya aku pahami dan itu ada di –“
Telapak tangan Rasha langsung menutup mulut Abi membuat wanita itu terkejut dan Rasha membulatkan matanya sebagai tanda jika dia tak perlu meneruskan ucapannya.
Dering ponsel Rasha membuat bungkaman tangan itu terlepas dan Abi melihat reasi Rasha yang serius melihat nama di ponsel itu.
“Sniper no 3 di Rusia, tapi dia memang tidak tahu siapa sasarannya hanya diminta memberi peringatan kepada kita,” lapor Sergy membuat kepalan tangan Rasha mengeras.
“Tidak ada ampun untuk orang yang berani mengusik ketenangan mansion milikku,” tegas Rasha dan mengakhiri panggilan begitu saja.
Abi menegang.
“Apa kamu akan mengakhiri nyawanya?” tanya Abi terbata.
Rasha hanya berdehem santai.
“Mansion itu harus menjadi tempat teraman untukmu, calon anakku, kejadian ini tak bisa ditolerir Abi,” ujar Rasha.
Rasha melihat jam di pergelangan tangannya. “Kita kembali sekarang, waktunya sudah tiba,” ajak Rasha sambil berdiri.
Abi mengikuti pergerakan Rasha. Keduanya berjalan hendak meninggalkan tempat itu. Lelaki itu bersikap gentleman dengan membuka pintu kafe untuk Abi.
“Jangan takut, aku hanya mau kamu yang hamil anakku bukan wanita lain,” ucapan lembut Rasha tepat ketika Abi melangkah di samping Rasha.
Abi menoleh dan menatap lelaki itu yang memancarkan sorot mata berbeda dari sebelumnya. Tak bisa dipungkiri ada desir hangat menyelimuti hati Abi.
“Dan banyak cara untuk melakukannya,” bisik Rasha.
Ucapan terakhir Rasha beberapa menit lalu sebelum mereka kembali ke ruang pemeriksaan terus terngiang di kepala Abi bak kaset rusak.
Varrel yang mengajaknya bicara sebelum proses inseminasi berjalan berharap Abi tak tegang seperti sebelumnya tidak terlalu dia dengarkan.
Varrel melirik Abi sekilas dan yakin jika Abi tak mendengarkan ucapannya, memunculkan ide untuk mencubitnya sedikit yang membuat wanita itu memekik.
Rasha menghampiri wanita itu dan menatap Varrel sinis membuat dokter itu terkekeh.
“Astaga drama apalagi ini,” keluh Varrel membuat Abi bingung.
“Drama apa maksudnya Dok?” tanya Abi penasaran.
Varrel hanya tersenyum, “Rileks ya Nona Abi, saya suntikkan sekarang,” dokter itu mengabaikan pertanyaan Abi dan lebih fokus melakukan inseminasi.
“Inseminasi terbaik memang dilakukan 24-36 jam saat masa subur wanita seperti yang kamu alami sekarang,” urai Varrel sembari memasukkan injeksi dalam tubuh Abi.
Proses injeksi itu terjadi tidak sekejap atau dalam beberapa menit, dibutuhkan waktu hampir satu jam agar benih bisa masuk ke dalam rahim sehingga tingkat keberhasilannya tinggi.
“Tetaplah berbaring seperti ini sampai beberapa menit,” ucap Varrel ketika dia berhasil menyuntikkan benih itu dalam rahim Abi.
“Hasilnya kapan?” tanya Rasha cepat.
“Kamu akan tahu kalau kamu lebih perhatian kepadanya,” jawab Varrel dengan tatapan mengejek.
*****