B.45 Something

1988 Kata
Rasha menatap Varrel sengit dan Abi hanya bisa menghela napas yang kesekian kalinya melihat perdebatan keduanya. “Jangan sok tahu dan mencampuri urusanku,” sengit Rasha membuat Varrel makin semangat menjahili Rasha. Varrel terkekeh pelan sambil membereskan peralatannya. “Benarkah? Tapi jika aku tak ikut campur urusanmu tentu kau tidak akan bisa memiliki anak seperti sekarang,” dokter muda itu menaikkan alisnya jumawa. Rasha kali ini harus berterima kasih kepada orang yang menelponnya jadi dia tak perlu debat kosong dengan Varrel. “Ada apa?” tanya Rasha datar membuat Abi memperhatikannya. Rasha menyadari jika Abi menaruh perhatian kepadanya sehingga memutuskan keluar ruangan membuat wanita itu sedikit kecewa sekaligus penasaran. Varrel yang melihat reaksi Abi itu tak ayal penasaran. “Apa telah terjadi sesuatu diantara kalian?” selidik Varrel. Abi terkejut dengan pertanyaan Varrel dan menggeleng cepat. Varrel semakin yakin jika keduanya mengalami sesuatu yang melibatkan perasaan. “Dua minggu lagi kita akan periksa dan aku harap kamu tidak stress dan tertekan seperti sebelumnya,” ucap Varrel pelan. Abi mengangguk paham. “Aku juga akan berpesan kepada lelaki kaku itu untuk membuatmu bahagia meskipun yang dia lakukan kepadamu palsu. Bukankah dia juga harus berkorban untuk anaknya,” Varrel mengucapkan kalimat itu dengan wajah dibuat-buat sampai membuat Abi tertawa. “Apa kalian begitu bahagia diberi kesempatan berdua sampai tawa kalian terdengar dari luar,” protes Rasha dengan wajah memerah menahan amarah. Abi langsung diam dan tubuhnya menegang. Varrel menoleh dan berdecak keras kepada lelaki menyebalkan di hadapannya. “Ingat Rasha, dia itu dalam proses mengandung anakmu, jadi kau harus membuatnya bahagia meskipun sedikit dan palsu,” tegas Varrel. Rasha tak merespon dengan baik hanya berdecak kesal. “Wanita hamil itu lebih sensitif bahkan potensi mengalami depresi itu lebih besar daripada orang normal,” urai Varrel. “Imun lebih rentan, perubahan fisik yang membuatnya jadi mudah uring-uringan, mood swing, kau harus siap menghadapi itu semua dan tidak boleh membuatnya tertekan,” tambah Varrel dengan nada mulai meninggi. Rasha mengerutkan dahinya sambil menatap Abi tak mengerti. Otaknya tak bisa membayangkan seorang wanita bisa merasakan semua emosi itu dalam satu waktu. “Jangan berlebihan,” ucap Rasha santai. “Hei,” pekik Rasha ketika dia merasakan ada injakan keras di kakinya dan melotot kepada Varrel. Dokter itu malah menantang Rasha dan tak peduli dengan tatapan bos mafa itu. “Kenapa orang menyebalkan sepertimu harus hidup lebih lama dibanding Eleanor,” gumam Rasha membuat ekspresi Varrel berubah. Abi yang tak mengerti apa yang membuat keduanya selalu bertengkar, hanya bisa berkomentar singkat. “Apa kalian tidak bisa jadi rukun selama ada aku,” keluh Abi pelan membuat Varrel memilih mengalihkan perhatiannya kepada Abi. “Apa kamu merasakan sesuatu atau sakit?” tanya Varrel dan Abi menggeleng. “Apa aku sudah boleh bangun?” tanya Abi balik dan Varrel mengangguk. Dokter itu sigap mengulurkan tangannya untuk membantu Abi tapi sebuah dorongan datang dari samping membuatnya kaget dan menjauh dari Abi. “Apa tidak masalah dia berjalan sendiri?” tanya Rasha dan menutupi Abi dari pandangan Varrel. Abi mendongak dan menatap Rasha bingung. Kenapa lelaki di hadapannya tak suka jika dia dekat dengan Varrel walaupun hanya untuk bantuan kecil. “Tak masalah karena dia tak ada keluhan apapun, santai saja tak perlu over protektif,” ujar Varrel. Rasha membantu Abi untuk berdiri dan mengapit lengannya. Lelaki itu berjalan keluar ruangan tanpa berpamitan atau mengucapkan terima kasih kepada Varrel. Abi yang melihat sikap Rasha itu hanya bisa mengangguk kepada Varrel dan pria itu tersenyum. Setibanya di mansion, Rasha memanggil semua pelayan dan pengawal mansion sambil memeluk pinggang Abi erat. “Mulai sekarang, Abi juga majikan kalian, sebentar lagi dia akan menjadi ibu dari pewaris Sandr, jadi bersikap baik kepadanya dan ingat jangan membuatnya terluka, tidak nyaman dan mengeluh dengan kelakuan kalian,” pesan Rasha. Abi hanya menatap Rasha bingung dengan pengumuman seperti ini tapi wanita itu tak bisa memungkiri jika setiap ucapannya hari ini membuat debar yang berbeda baginya. Akankah hatinya mulai terbuka untuk Rasha? “Rasha,” lirih Abi. Maria tersenyum senang dengan ucapan Rasha, bagi pelayan itu terlepas apapun status Abi dalam rumah ini tapi ini langkah besar bagi majikannya yang mau mengakui seorang wanita dalam hidupnya. “Sampai aku mendengar satu keluhan kecil dari Abisha, nyawa kalian taruhannya!” ancam Rasha membuat semua orang menunduk paham. Abi mencengkram baju Rasha membuat lelaki itu menatapnya. “Kamu tak perlu berlebihan seperti itu, selama itu bukan hal besar aku tak masalah,” ucap Abi pelan tapi decakan Rasha membuat dia hanya bisa menghela napas. “Aku akan mengantarmu ke kamar,” ajak Rasha tak mau membalas ucapan Abi. *** Dua minggu berselang, Abi tak merasakan perubahan apapun dalam dirinya dan hal itu mulai membuatnya cemas. Jadwal periksanya seharusnya masih dua hari lagi tapi entah kenapa dia merasa lebih takut dari sebelumnya. Kecemasan itu membuat Abi memilih lebih banyak bersantai di kamar dan sesekali di balkon lantai tiga. Setelah inseminasi itu Rasha terlihat lebih sibuk dan jarang meluangkan waktu untuk Abi. Namun, tanpa wanita itu ketahui dia mengawasinya dari jauh dan menerima laporan per jam dari Maria. “Nona, apakah Nona ingin makan sesuatu sore ini?” tanya Maria saat melihat Abi duduk di balkon lantai tiga. Pelayan itu bisa merasakan jika majikannya tidak dalam keadaan baik-baik saja. “Temani aku di sini Maria,” pinta Abi membuat Maria duduk di sampingnya dan memberi kode kepada para pengawal untuk sedikit menjauh. Semenjak kejadian di balkon beberapa waktu lalu, di depan kamar Abi ada dua penjaga dan setiap balkon juga ada dua penjaga. Jika Abi keluar kamar dan pergi ke balkon seperti sekarang maka pengawalnya akan mengikuti kemanapun dia pergi. Maria menelan ludahnya sebelum menutup rasa penasarannya dengan bertanya kepada majikannya yang da sadari jika Abi sedang cemas. “Apa Nona ingin melakukan sesuatu atau mengalami sesuatu sampai Nona jadi cemas seperti ini?” tanya Maria lembut. “Takut,” ucap Abi pelan membuat Maria diam menunggu penjelasan selanjutnya. “Rasha mengatakan kepadaku jika dia tidak menginginkan wanita lain hamil anaknya dan itu membuatku lebih tertekan dari sebelumnya,” urai Abi dengan helaan napas berat. “Aku pikir jika aku gagal maka lelaki itu akan membuangku, tapi itu tidak terjadi,” keluhnya kemudian. Maria mendengarkan dengan seksama dan semakin yakin jika keputusan majikannya itu bukan hanya soal anak tapi memang dari awal tuannya sudah tertarik dengan Abi. “Lalu, kenapa Nona merasa tertekan, apa Nona tidak bahagia bersama Tuan Rasha?” tanya Maria berusaha menggali isi kepala Abi. “Entahlah, awalnya aku memang tak menyukainya, tapi akhir-akhir ini dia membuatku terbawa perasaan sampai aku takut jika semua ini hanya mimpi dan membuatku sakit pada akhirnya,” ucap Abi gamblang. Maria mencurigai satu hal tapi dia tak mau mengambil kesimpulan sepihak. “Kenapa Nona tidak berusaha untuk menerima saja semua ini sampai pada batas Nona memang ingin menerimanya,” saran Maria membuat Abi menoleh. “Maksudnya?” tanya Abi penasaran dengan uraian saran itu. “Lepaskan semua beban yang Nona rasakan dan coba nikmati semua ini, baik dari fasilitas, kemudahan, kemewahan dan keindahan dalam mansion ini,” kata Maria tenang. “Kejadian kemarin memang tidak ada yang menduga termasuk Tuan Rasha sendiri, tapi saya yakin Tuan Rasha tidak akan diam saja dan membiarkan Nona dan calon bayi itu celaka,” Maria mengucapkan hal yang sama dengan yang Rasha lakukan. “Posisi Nona saat ini adalah impian semua wanita, selama saya menjadi pelayan Tuan Rasha, beliau tidak pernah memperkenalkan siapapun kepada pelayan mansion ini termasuk keluarganya,” ujar Maria. Abi ingat memori itu dan terkadang sampai sekarang dia tak mengerti kenapa Rasha melakukannya. “Menurutmu kenapa Rasha melakukannya,” Abi malah ikut penasaran dan bertanya kepada Maria. “Bagi kami yang hanya melayani Tuan Rasha itu adalah peringatan jika kami tidak hanya memiliki Tuan untuk dipatuhi tapi juga Nona Abi,” kata Maria hormat. “Namun, dalam kacamata manusia biasa itu merupakan tanda jika Tuan Rasha menunjukkan kepemilikannya kepada orang lain. Siapa yang berhak memiliki hati dan kehidupannya,” lanjut Maria. Abi terhenyak dengan ucapan pelayan setia Rasha. Apa benar ini soal kepemilikan dan hatinya, secara tak langsung dia mengatakan jika dirinya hanya milik Rasha, begitukah? “Kamu membuatku semakin cemas dan pusing, Maria,” ucap Abi tanpa sadar membuat Maria kaget dan berlutut di hadapan Abi sampai wanita itu kaget. “Maria, apa yang kamu lakukan, bangunlah,” pinta Abi Maria bergeming. “Maafkan kelancangan saya Nona, seharusnya saya tidak membuat Nona semakin tertekan, tolong ampuni saya Nona,” ucap Maria penuh sesal. Abi berpikir sejenak kenapa tingkah Maria berubah drastis dan ingatan kembali pada ancaman Rasha tempo hari kepada semua orang yang ada di mansion. “Bangunlah atau aku bisa menghukummu lebih parah,” tegas Abi dan Maria berdiri di samping Abi. “Aku tidak menyalahkanmu, hanya saja aku takut jika penculikan yang aku alami membuatku tak bisa memberikan pewaris Sandr yang Rasha inginkan,” jelas Abi. “Entah kenapa aku ingin membantunya, setidaknya sampai dia berhasil mendapatkan pewaris. Rasha pasti bekerja keras untuk sampai di titik ini,” gumam Abi. Wanita itu merasakan hal aneh dan gejolak dalam perutnya. “Dan jika semua ini lepas begitu saja, pasti menyakitkan untuknya, seakan semua yang dia lakukan sia-sia,” Abi mencurahkan isi pikirannya. Abi mulai memijat keningnya membuat Maria berpikir jika Abi pusing memikirkan hal itu. “Nona, tolong jaga kesehatan Anda, jangan terlalu memikirkan maslaah ini, saya yakin tuan Rasha bisa melakukan apa saja untuk tetap mempertahankan Sandr bersamanya,” Maria memberikan semangat berharap Abi melupakan hal itu. Abi hanya memijat keningnya dan mulai merasakan hal aneh dalam tubuhnya. “Aku ingin kembali ke kamar,” lirih Abi dan bersiap untuk berdiri. Maria memundurkan tubuhnya untuk memberi Abi jalan. Namun, Abi merasakan ada yang berbeda dari tubuhnya. Tangannya mendadak jadi berkeringat dingin, jantungnya berdebar tak karuan. Abi memaksakan berdiri, dia merasakan penolakan dan membuatnya hilang keseimbangan sampai tubuhnya lemas seketika dan pandangannya berbeda. “Nona,” pekik Maria yang secepat kilat menangkap Abi membuat pengawal yang ada di sana terkejut dan melakukan evakuasi. Samar Abi mendengar suara teriakan dan bentakan dari seorang lelaki yang familiar di telinganya. Namun, matanya masih berat untuk terbuka dan memastikan semuanya. “Apa Nona Abi sudah sadar?” tanya seorang pria dari kejauhan membuat bentakan itu terhenti. “Nona, Nona Abi, ini Maria, apa Nona bisa mendengarku?” panggilan Maria membuat semua orang menaruh perhatian di ranjang empuk yang ada di kamar itu. “Abisha,” panggil seorang lelaki yang Abi yakini jika itu Rasha. Lelaki itu membelai rambutnya lembut dan memegang tangannya. “Apa kamu terluka atau ada yang sakit?” tanya Rasha tak sabar. Abi membuka lebar kelopak matanya melihat kondisi di sekitarnya. Dia mengenali ruangan ini dan bernapas lega karenanya. “Apa yang terjadi?” tanya Abi lemah. “Kamu tiba-tiba pingsan, apa terjadi sesuatu atau kamu habis mengonsumsi sesuatu?” desak Rasha dan Abi hanya menggeleng. “Ga usah terlalu cemas, mungkin dia hanya kelelahan, biarkan aku memeriksanya dulu dan minggirlah,” seru Varrel membuat Abi berpaling ke sisi yang lain. “Sekalian saja aku ambil darah ya, jadi lusa tak perlu ke rumah sakit, jika memang berhasil harusnya sudah kelihatan,” kata Varrel dan Abi hanya mengangguk paham. Rasha akhirnya menyadari satu hal, mungkinkah apa yang Abi alami ini karena kehamilannya. Apa itu artinya dia akan memiliki pewaris Sandr? “Kapan hasilnya akan keluar?” tanya Rasha antusias sampai dia melepaskan cekalan tangannya. Varrel hanya mencibir, “Belum juga diambil darahnya udah nanya,” omelnya. Rasha ganti berdecak kesal, “Tentu saja setelah kau ambil darahnya bodoh,” cela Rasha tak mau kalah. Abi mulai merasakan hawa permusuhan kembali muncul di tengah rasa sakit kepalanya. “Kepalaku mau pecah jika kalian bertengkar di sini,” keluh Abi membuat keduanya saling menatap sengit. Rasha memperhatikan gerakan Varrel dan memasukkan satu ampul sampel darah milik Abi. Dokter itu memeriksa kondisi Abi dan mengatakan tidak ada hal buruk yang terjadi. “Jadi kapan hasilnya akan keluar?” Rasha mengulangi pertanyaaan yang sama. “Tahun depan,” sahut Varrel tanpa dosa. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN