B.38 Failed

1896 Kata
Bantingan sendok itu membuat suasana menjadi tegang, Abi hanya bisa diam menggenggam erat sendok yang ada di tangannya. “Karena kamu adalah milikku dan milikku tidak akan pernah pergi dariku sebelum aku yang melepasnya,” seru Rasha. Abi mendongak dan menatap pria itu ingin mencari maksud dari ucapannya tapi kilat amarah menguasai  manik mata Rasha membuatnya tak tahu kenapa lelaki itu bisa mengatakan hal itu. Rasha mengalihkan pandangannya, dia mengatur napas meredam emosinya, sebenarnya dia tak ingin marah di depan Abi tapi tak bisa dipungkiri sikap dingin Abi akhir-akhir ini membuat emosinya labil. “Kamu benar, bagimu aku hanya sebuah alat perjanjian untuk mewujudkan ambisimu bukan manusia yang perlu kamu pikirkan apa yang dia rasakan dan inginkan,” cela Abi. Rasha memijat keningnya, bolehkah dia mengigit bibir manis itu agar berhenti mengatakan kata-kata yang bisa membuatnya emosi seketika. Rasha menarik napas dan menghembuskannya pelan. “Kamu adalah ibu dari anakku, jadi tetaplah di sini sampai kondisinya mendukung dan aku akan memberi kebebasan kepadamu secara bertahap,” ucap Rasha kemudian. Abi mulai merasa aneh dengan semua ini tapi dia enggan berasumsi. “Aku akan memikirkan cara yang aman untukmu agar bisa keluar mansion dengan bebas. Aku hanya ingin memastikan jika tak ada seorang pun yang melukaimu karena itu aku melarangmu keluar dari mansion ini,” Rasha perlahan mulai melunak. Lelaki itu menatap Abi yang sedari tadi diam. “Apa kamu tak suka tinggal di sini?” tanya Rasha ingin mengetahui isi hati Abi. “Sepertinya aku masuk dalam jajaran orang ga bersyukur jika tak suka tinggal di tempat dengan fasilitas mewah seperti ini,” kata Abi santai tapi penuh sindiran. “Abisha, ayolah aku sedang tidak ingin bercanda, jadi katakan saja apa yang ingin kamu lakukan jangan membuatku seperti lelaki yang tak bertanggung jawab dan hanya menyiksamu di sini,” keluh Rasha mulai tak sabar. “Aku juga tidak bercanda, aku mengatakan apa yang aku rasakan di sini,” kata Abi masih datar. “Lalu, kenapa kamu seperti tertekan ada di sini ditambah lagi sikapmu sekarang jadi dingin dan itu aneh menurutku,” protes Rasha. Abi mengerutkan dahinya tak mengerti dengan jalan pikiran Rasha. “Apa itu jadi hal penting untukmu? Aku kira selama ini cukup menuruti kemauanmu maka semua akan baik-baik saja,” ucap Abi. Rasha menormalkan ekspresinya tak ingin Abi tahu apa yang dia rasakan saat ini terutama kepanikannya karena perubahan sikap Abi. “Kita tinggal bersama dan aku memberimu kebebasan untuk melakukan apapun di mansion ini, tapi reaksimu menunjukkan seperti tidak nyaman di sini, tentu saja aku bertanya sebagai lelaki,” Rasha menghentikan ucapannya. Dia berdehem, “Maksudku lelaki yang bertanggung jawab kepadamu selama perjanjian kita masih berlangsung,” ujar Rasha meluruskan maksudnya. “Aku hanya bosan, bukan berarti tidak suka meskipun memang merasa tertekan,” jujur Abi yang ikut melunak. Rasha menghembuskan napas kasar, satu hal yang dia pahami dari Abi, wanita di hadapannya ini sangat keras kepala. “Apa keluar mansion begitu penting untukmu sedangkan kamu tahu di luar sana banyak orang yang berwajah palsu yang berusaha menarik perhatianmu bahkan memanfaatkanmu,” urai Rasha. Abi menatap Rasha, “Apa kamu berpikir begitu?” tanya Abi balik dan Rasha mengangkat bahunya. “Seharusnya kamu ngaca dan introspeksi diri jika memang itu yang kamu alami,” timpal Abi singkat dan kembali melanjutkan makannya. Rasha mengerutkan dahinya, “Alasannya?” tanya Rasha. Abi gantian mengangkat bahunya, “Bagiku tidak ada orang seperti itu karena aku tidak pernah melakukan hal itu. Jika kamu merasa orang lain memanfaatkanmu dan berwajah palsu kepadamu harusnya kamu tahu diri, itu artinya sikapmu pun seperti itu kepada orang lain,” ungkap Abi. Rasha menghentikan kunyahannya, dia mulai menemukan sisi berbeda dalam diri Abi selama ini. Sejauh ini tak ada seorang pun yang menjelaskan perasaannya dengan analogi sesederhana yang Abi ucapkan. “Apa menurutmu berbuat baik kepada orang lain terutama orang yang tidak kita kenal itu perlu?” selidik Rasha ingin tahu apa yang ada dalam pikiran Abi. “Tidak harus, dalam pandanganku berbuat baik atau tidak itu pilihan bukan termasuk dalam kategori keharusan atau kewajiban yang harus kamu lakukan,” ungkap Abi. Rasha terhenyak dengan ucapan wanita yang dia sadari jika paras Abi tidak buruk bahkan bisa dikatakan cantik. “Namun, jika kamu menebar kebaikan maka nantinya kamu akan menuai kebaikan meskipun dengan cara yang berbeda,” lanjut Abi tapi tatapannya penuh pertanyaan. “Ada apa?” tanya Rasha cepat. Abi menggeleng, “Contoh gampangnya apa yang terjadi diantara kamu dan Adrian, kalian mungkin di masa lalu membuat pilihan yang berakhir seperti sekarang, pertengkaran dan permusuhan tanpa henti sampai jadi lelaki yang tak punya belas kasihan,” kata Abi tiba-tiba. Rasha terkekeh mendengar ucapan sok tahu Abi. “Terkesan sok tahu, tapi jika saja salah satu dari kalian memutuskan untuk mengakhirinya aku yakin permusuhan itu tidak akan berlangsung selama ini,” Abi masih tak menyerah mengemukakan pendapatnya. “Buktinya kamu tak pernah menyakitiku, Maria, Sergy atau siapapun yang memang memutuskan untuk menolongmu. Bukankah bersikap baik kepada orang yang sudah menolong kita, juga termasuk salah satu contoh menerapkan kebaikan,” ucapan Abi membuat Rasha diam menatapnya. Abi hanya menyinggungkan senyum samar. “Karena banyak orang yang lupa dengan kebaikan orang lain terutama orang yang sudah menolongnya. Namun, kamu termasuk orang yang ingat jadi aku rasa kamu bisa jadi orang baik,” tutup Abi santai. Rasha masih menatap Abi lekat sampai emmbuat wanita itu jadi canggung. Abi berdehem keras. “Habiskan makananmu nanti keburu dingin,” seru Abi membuat Rasha kembali mengunyah makanannya. Kedua diam sampai makan malam selesai, Abi merasa canggung dengan suasana diantara mereka membuatnya berdiri. “Aku akan kembali ke kamar, terima kasih untuk makan malamnya,” ucap Abi dan berlalu dari sana. Rasha secepat kilat mencekal tangan Abi dan berdiri sejajar dengannya. “Aku akan mengantarmu sampai kamar,” ucap Rasha merentangkan tangannya untuk memberi Abi jalan. Keduanya lebih banyak diam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Abi memegang gagang pintu dan memiliki rasa penasaran dengan semua kelakuan Rasha beberapa menit sebelumnya. “Apa kamu memang berniat mengajakku makan malam tapi karena aku tidak boleh keluar jadi kita makan maam di sini?” tanya Abi penasaran. Rasha menaikkan alisnya mendapat pertanyaan seperti itu, sejujurnya dia tak berniat seperti itu hanya saja dia merasa sudah lama tak melihat Abi dan ingin tahu bagaimana kondisinya. “Do you think so?” tanya Rasha balik. Abi berdecak sambil mendorong pintu kamarnya. “Ga jelas,” ungkapnya dan membanting pintu kamarnya begitu saja. Rasha hanya mengerjapkan matanya sambil mengerutkan dahi. “Dia atau aku yang ga jelas,” keluh Rasha dan kembali ke kamarnya. *** Abi duduk di laboratorium rumah sakit untuk menunggu petugas yang membantunya mengambil sampel darah setelah dua minggu melakukan inseminasi. Jika sebelumnya dia tidak terlalu peduli dengan hasil yang akan dia dapatkan tapi entah kenapa sejak pagi dia merasa cemas jika hasilnya gagal tak sesuai dengan yang Rasha inginkan. Tak sampai lima belas menit menunggu petugas datang dan membantunya mengambil sampel darah. Dia akan menyampaikan hasilnya langsung kepada dokter Varrel satu jam lagi. Abi mengangguk paham dan meninggalkan ruangan itu. “Nona Abi,” panggil seorang pria membuatnya menoleh dan tersenyum ramah. “Dokter Varrel apa kabar?” tanya Abi ramah dan Varrel mengangguk ceria. “Apa kamu sudah ke laboratorium hari ini?” tanya Varrel dan Abi menjelaskan apa yang dikatakan petugasnya. Varrel melihat jam di tangannya dan melihat Abi sambil tersenyum simpul. “Sambil menunggu bagaimana jika kamu menemaniku sarapan,” ajak Varrel dan Abi menggeleng cepat. Namun, Varrel tak menyerah dan memaksa Abi untuk ikut dengannya di salah satu coffee shop samping rumah sakit. “Nona terlihat tidak sehat, apa semua baik-baik saja?” tanya Varrel penasaran. Abi mengangguk lemah, “Panggil saja aku Abi, lagipula umurku rasanya lebih muda dari dokter,” ucap Abi tak nyambung. Varrel tersenyum, “Kalau gitu panggil aku Varrel tanpa dokter karena aku kebetulan juga aku ingin jadi temanmu selain jadi dokter yang memeriksamu,” kekeh Varrel membuat keduanya tertawa. Suasana kaku yang sebelumnya teradi diantara mereka perlahan mencair dan kedunya mulai bertukar cerita soal keseharian, musik, film dan hobi masing-masing. Sampai waktu satu jam yang mereka miliki berjalan sangat cepat. Dering ponsel Varrel menjeda obrolan mereka dan dia menerima laporan jika hasil lab sudah keluar. Varrel menatap Abi dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Apa Rasha bilang kepadamu jam berapa dia akan menjemputmu?” tanya Varrel membuat Abi mengerutkan dahi. “Memangnya kenapa?” tanya Abi balik. “Hasil lab sudah keluar, aku rasa dia juga harus tahu atau mungkin jadi orang pertama yang tahu soal ini kan?” kata Varrel. “Coba aku menelponnya,” usul Abi tapi Varrel menghalanginya. Varrel tersenyum, “Biar aku saja, aku tak suka jika dia marah kepadamu atau berkata dengan nada tak ramah kepadamu,”ujarnya. “Rasha ga pernah –“ Varrel menggenggam tangan Abi erat membuat wanita itu menghentikan ucapannya dan Varrel mengacungkan ponselnya. Abi hanya diam menurut tak tahu kenapa Varrel melakukan hal itu kepadanya. “Kamu dimana?” tanya Varrel begitu dia mendengar deheman dari sebrang. “Ada urusan apa kamu bertanya soal keberadaanku,” kata Rasha ketus. “Hasil lab Abi sudah keluar, kamu mau mendengar lebih dulu atau aku sampaikan kepada Abi lebih dulu, aku ada di ruangan jika kamu ingin tahu,” ujar Varrel dan mengakhiri panggilannya begitu saja. Rasha bukannya sengaja tak menjawab pertanyaan Rasha tapi dia menahan amarah melihat kelakuan dua orang dewasa di hadapannya yang asyik tertawa bersama dan terlihat nyaman. “Apa yang Abi lihat dari dokter sialan itu!” geram Rasha dengan sorot mata tak suka melihat tawa keduanya di coffee shop. Sergy yang sedari tadi memperhatikan tingka laku tuannya tak mengerti kenapa bosnya ini harus kesal dengan kelakuan dua orang itu, sedangkan Abi bukanlah wanita spesial baginya. “Mereka hanya bicara soal hal umum dan keseharian Tuan, bukan sesuatu yang pribadi,” ucap Sergy pelan dan dua detik kemudian siku Rasha sudah mendarat di perut Sergy membuat pengawal itu kaget. “Maafkan saya Tuan,” sesal Sergy menahan sakit. Rasha berbalik meninggalkan keduanya dengan perasaan campur aduk. Abi melihat aura berbeda dari Rasha, dingin, dan menyeramkan. Apa terjadi sesuatu dengan pekerjaannya sampai dia mengeluarkan aura yang mengerikan semacam ini. Varrel membuka hasil lab dan menghela napas pelan, dia menyodorkan hasilnya kepada Rasha. “Seperti yang aku prediksi, ini tidak berhasil,” ucap dokter itu santai. Lembaran itu tertulis jika hasilnya negatif dan tidak ditemukan hormon HCG dalam tubuh Abi yang menandakan jika dia hamil. “Tapi kenapa aku tidak haid Dok?” tanya Abi pelan. “Aku rasa belum waktunya, siklusmu bisa saja berubah setelah kuret itu,” ucap Varrel. Keduanya melirik Rasha yang terdiam, Abi tak tahu harus berkomentar apa karena dia juga memiliki rasa kecewa karena program ini tak berhasil. “Jangan terlalu dipikirkan, kamu masih punya banyak waktu untuk mencobanya lagi,” Varrel mengatakannya dengan santai tapi terdengar seperti menghina di telinga Rasha.   Lelaki itu mendongak dan menatap Varrel sengit. “Nada bicaramu menunjukkan jika kamu sengaja melakukan hal ini,” Rasha langsung menuduh Varrel tanpa bukti. Varrel mengepalkan tangan dan mengeraskan rahangnya mendengar ucapan Rasha. Dia mensugesti dirinya untuk tetap tenang dan tidak terbawa emosi dengan ucapan lelaki kurang ajar di depannya. “Rasha, jangan menuduh sembarangan,” ucap Abi terlihat membela Varrel. Rasha terkekeh membuat aura di ruangan itu jadi menyeramkan. Lelaki itu menatap Abi tajam membuat Abi bergidik ngeri. “Bahkan sekarang kamu berani membela dokter sialan itu di hadapanku, Abelone Zakharov.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN