Abi terkejut ketika dia menyadari di hadapannya ada seorang pria yang melihatnya dengan ekspresi lapar seakan dia ingin menerkam dirinya. Tapi dia mulai menyadari satu hal jika lelaki itu melihat yang lain bukan dirinya. Abi mengikuti arah pandang itu dan dia memekik keras.
“Tutup matamu Bodoh!” pekik Abi membuat Rasha terkejut dan mengalihkan pandangannya.
Abi segera berbalik dan lekas mengancingkan bajunya yang tadi sempat terbuka menjadi pemandangan tersendiri bagi Rasha.
Rasha mengatur napas tapi bayangan gundukan itu tak bisa hilang begitu saja. Tiba-tiba punggungnya dipukul oleh seseorang membuat Rasha kesal tapi sayangnya dia tak bisa membalasnya.
“Jangan berharap banyak setelah apa yang kamu lihat barusan,” ketus Abi berjalan melewati dirinya begitu saja tapi harum tubuh wanita itu menusuk hidungnya.
Bayangan Rasha semakin bergejolak membuatnya lelaki itu menelan ludahnya untuk menahan hasrat yang mendadak muncul dalam dirinya.
Abi duduk di ranjangya dan menarik selimutnya. Rasha tersadar dari lamunannya dan dia mendekati Abi sambil berdehem keras.
“Katakan saja apa yang ingin kamu katakan,” komentar Abi begitu melihat Rasha ada di dekatnya.
Rasha terdiam.
Kenapa dia bisa lupa apa yang ingin dia katakan kepada Abi, lelaki itu berpikir cepat untuk mencari topik yang ingin dia bicarakan dan sorot matanya menangkap benda kecil di nakas.
“Apa kamu senang memiliki ponsel lagi?” tanya Rasha pelan.
Abi mengerutkan dahinya dan mendongak melihat ekspresi Rasha yang sepertinya sedang bingung.
“Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Abi datar.
Rasa berjalan ke sofa single yang ada di kamar itu dan duduk di sana. Sesekali dia menghembuskan napas berusaha menutupi keanehan dalam dirinya saat ini.
“Tak ada yang pening hanya ingin memastikan kmau baik-baik saja dan tidak kabur,” ucap Rasha paling logis.
Abi menghela napas pelan. “Bagaimana aku bisa kabur jika penjagamu saja sudah seperti pilar tembok di rumah ini yang selalu ada di setiap sudut,” keluh Abi membuatnya terduduk dan bibirnya manyun maksimal.
Rasha melipat kakinya dan menyandarkan tubuhnya di sofa itu membuatnya nampak berkuasa. Lelaki itu menarik sudut bibirnya dan menatap Abi licik.
“Aku tak mau kecolongan lagi kali ini, Adrian tidak akan berani melakukan apapun di mansion ini,” ucap Rasha jumawa.
Abi sudah menduganya, wanita itu lekas menyadarkan dirinya aar tidak terlalu memikirkan hal ini. Rasha menginginkannya semata-mata karena dia akan mengandung anaknya bukan karena hal lain. Apalagi seperti yang dikatakan Maria jika Rasha menjaganya karena lelaki itu ingin bersamanya.
“Jika tak ada lagi yang kamu bicarakan, cepat keluar dari kamarku ini,” usir Abi.
Rasha mengerutkan dahinya menatap wanita itu. Abi mendengkus.
“Aku tahu ini rumahmu tapi ini kamarku kan, artinya aku masih punya privasi kan di rumah ini,” jelas Abi tanpa sungkan.
Abi duduk di tepi ranjang dengan ekspresi kesal karena Rasha bergeming dengan ucapannya.
“Apa sekarang aku juga ga punya privasi sampai aku mengatakan hal itu kamu tak menerimanya dan tak bereaksi sama sekali,” kesal Abi melipat tangannya di depan tubuhnya.
“Aku heran kenapa kamu tak ingin merayuku sama sekali seperti wanita pada umumnya, apa jangan-jangan kamu ini,” Rasha bukannya pergi malah mencela Abi.
Abi yang kesal dengan ucapan Rasa berdiri dan mendekati pria itu hendak memukul kepalanya agar lelaki itu sadar siapa lawan bicaranya kali ini. Namun, secepat kilat Rasha menangkap tangan mungil itu dan menariknya dalam pangkuannya.
Tubuh Abi menegang, sorot matanya takut, wajahnya pucat yang perlahan berubah merona. Rasha bisa merasakan ada benda kenyal menempel di tubuhnya yang sedari tadi membuat dirinya mengalami keanehan.
“Detak jantungmu cepat sekali dalam posisi seperti ini, aku kira kamu itu penyuka sesama jenis,” gumam Rasha polos.
Abi membulatkan matanya kesal mendengar ucapan Rasha dan tanpa pikir panjang dia membenturkan kepalanya dengan Rasha membuat pria itu mengaduh.
“Hey, cewek gila!!” umpat Rasha melepaskan cekalannya begitu saja membuat Abi bangun dari posisinya.
Wanita itu menggosok kepalanya pelan karena benturan itu tadi sedangkan Rasha merasa sakit dan pening karena kelakuan bar bar Abi.
“Kepalamu kalo udah ga fungsi masukin museum jangan bentrin ke kepalaku gini dunk, ini masih fungsi tau!” senak Rasha kesal dan dia tak menyangka jika kepala wanita itu keras sekali.
Abi hanya menjulurkan lidahnya santai dan melompat ke ranjang. Rasha yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepala, seumur hidupnya baru kali ini dia melihat wanita yang bar bar dan tidak ada sopan santunnya di hadapan pria.
“Dasar cewek aneh, jika bukan karena perjanjian itu mana mau aku memiliki wanita seperti ini dalam hidupku,” keluh Rasha yang sebenarnya masih didengar oleh Abi tapi wanita itu lebih memilih diam.
Rasha berjalan ke pintu masih dengan omelan yang tak ingin Abi dengar sampai dia membuka pintu hendak keluar kamar, suara Abi menghentikan langkahnya.
“Apa aku masih boleh memegang ponselku?” tanya Abi pelan membuat Rasha berbalik dan dia melihat wanita itu duduk di ranjangnya sambil meremas selimutnya seakan takut dengan permintaannya.
“Aku akan mengambilnya jika benda itu jadi ancaman untukku,” ucap Rasha tegas.
Abi mnejerit kegirangan sampai melompat-lompat di ranjang membuat Rasha menaikkan satu alisnya. Apa hal sepele ini bisa membuatnya bahagia? Tapi Rasha tak bisa bohong jika ada desir aneh yang muncul melihat keceriaan Abi malam ini.
***
Rasha sudah duduk di meja makan sambil menikmati sarapan. Dia sudah lupa berapa lama dia makan sendirian seperti ini dan rasanya sudah terlalu biasa. Di belakangnya sudah siaga Digga dan Sergy menunggunya selesai sarapan.
“Selamat pagi semuanya,” sapa Abi riang membuat Digga dan Sergy ikut menaruh perhatian dengan suara itu.
Semua pelayan termasuk dua orang kepercayaan Rasha menyambut sapaan riang itu, hanya Rasha yang masih diam tak berekasi dengan semua ucapan itu.
“Nona ingin makan apa pagi ini?” sapa Maria ramah tapi Abi menggeleng. “Biar aku ambil sendiri saja dan duduklah di sini Maria,” pinta Abi membuat Maria salah tingkah dan menggeleng.
“Kenapa? Biasanya kamu menemaniku sarapan tapi kenapa sekarang tak mau?” keluh Abi dan Maria melirik ke arah tuannya.
“Dia kan diam saja bukan seperti manusia jadi kenapa kamu harus peduli sama kehadirannya,” sindir Abi membuat Maria, Digga dan Sergy terbelak.
Abi terkejut mendengar suara alat makan yang diletakkan dengan keras, tapi dia tahu siapa yang melakukannya.
“Selesaikan makanmu dalam satu jam setelah itu kita ke rumah sakit,” ucap Rasha menggeser kursinya keras dan berlalu dari sana.
Sergy dan Digga mengikuti tuannya setelah mereka berpamitan kepada Abi. Wanita itu hanya bisa melihat punggung kekar yang kesalnya dia menyukai pemandangan itu.
“Nona, tolong jaga sikap Nona saat bersama Tuan Rasha, dia tak suka jika ketenangannya diganggu,” pesan Maria membuat Abi manyun maksimal.
“Aku bingung dengannya, semalam dia terlihat baik kepadaku tapi kenapa pagi ini dia jadi kaku lagi seperti kanebo kering. Apa mereka dua orang yang berbeda?” keluh Abi sambil menggigit roti isi yang ada di hadapannya.
Abi selesai sarapan mengedarkan pandangan mencari Rasha yang tak menemukan dia di lobby mansion atau dimanapun. Lelah mencarinya, Abi memutuskan untuk menunggu lelaki itu di halaman belakang tapi pandangan matanya menangkap sosok yang dia kenali.
Abi memperhatikan kelakuan Rasha yang diam menatap sebuah batu marmer indah tanpa nama di salah satu sudut halaman belakang. Wanita itu baru menyadari jika ada batu marmer ditanam di sana.
Perlahan Abi mendekatinya karena penasaran apa yang Rasha lakukan di sana. Samar dia mendnegar suara Rasha yang bicara seorang diri membuat rasa penasarannya semakin besar. Sampai tiba-tiba suara pemicu pistol terdengar membuat Abi terlonjak kaget.
“Siapa yang mengijinkanmu ke sini?” tanya Rasha menahan kesal.
Abi menggeleng pelan karena tubuhnya menegang.
Rasha menurunkan pistolnya dan berjalan pelan, langkahnya terhenti ketika dia ada di samping Abi yang masih kaku.
“Sekali lagi aku melihatmu ada di sini, peluru ini akan lepas dari tempatnya dan itu bukan salahku,” ancam Rasha membuat Abi membulatkan matanya.
“Lima menit aku tunggu di lobby,” ucap Rasha cepat dan berlalu dari sana.
Kejadian di taman belakang membuatnya tak berani mengeluarkan suara sama sekali sepanjang perjalan kee rumah sakit. Abi dan Rasha duduk di kursi penumpang tapi Abi menjaga jarak dengan Rasha.
Rasha sesekali melirik ke arah Abi yang lebih tertarik melihat keluar jendela daripada bicara dengannya. Perjalanan ke rumah sakit yang kurang dari satu jam terasa lama bagi mereka berdua karena keanehan sikap ini.
Sesuai rencana merek tak masuk lewat pintu utama tapi pintu samping yang lebih dekat dengan laboratorium. Varrel sudah menunggu di depan pintu dengan senyuman ramah. Rasha yang melihat senyum itu meras kesal apalagi Abi membalas senyuman itu.
“Bagaimana kabar Anda hari ini Nona Abi?” tanya Varrel ramah sambil mengulurkan tangan yang ditepis oleh Rasha.
“Kita langsung saja, ga perlu basa basi,” timpal Rasha membuat Abi hanya menghela napas sedangkan Varrel tertawa pelan.
Mereka sampai di ruang pemeriksaan, ada sekitar empat orang yang membantu Varrel dalam hal ini. Dokter muda itu menyampaikan apa saja yang akan dilakukan dalam pemeriksaan ini membuat Abi sedikit takut.
Varrel menenangkan Abi dengan menggodanya sesekali tapi hal itu malah membuat Rasha kesal dan sering menginterupsi obrolan mereka.
“Apa hasilnya bisa keluar sekarang?” tanya Rasha cepat tapi Varrel menggeleng.
“Beri kita waktu satu minggu untuk membereskan semua ini dan memberikan hasilnya kepadamu,” jeda Varrel. “Apapun itu aku harap kamu bisa menerimanya,” pesannya kemudian.
“Kita USG dulu sebelum cek darah lengkap,” ajak Varrel dan meminta Abi membaringkan tubuhnya di ranjang. Varrel meminta asistennya untuk merekam semuanya.
“Secara dua dimensi ini terlihat ukuran rahim Nona Abi tidak normal, meskipun dia belum hamil tapi kantong rahim ini masih bisa dilihat. Coba aku cocokkan kondisinya dengan sebelum kejadian tempo hari,” ucap Varrel mengambil rekam medis sebelumnya.
“Ini kamu bisa lihat kondisinya sebelum dan sesudah,” kata Varrel menunjukkan hasilnya kepada Rasha. Lelaki itu memang melihat ada perbedaan angka yang cukup besar untuk organ manusia.
“Apa ini murni karena obat-obatan?” tanya Rasha pelan.
“Salah satunya, tapi tekanan mental, stress, beban pikiran itu juga mempengaruhi. Dan aku curiga jika Adrian menyewa dokter untuk melakukan ini karena dia melakukan hal ini mendekati sempurna seakan pelaku tahu kondisi kesehatan korban,” jelas Varrel.
Vareel mulai menjelaskan banyak hal kepada Rasha, sedangkan Abi mendengarkan dalam diam tapi dia tak bisa bohong jika pikirannya kalut karena hal ini.
Varrel mendekati Abi dan membelai rambutnya lembut. “Hai, kamu jangan ikutan mikir soal ini, biar Rasha yang beresin, kamu harus bahagia, santai dan banyak menikmati hidup,” ujar Varrel.
Abi menatap Rasha yang terlihat tak membantah ucapan itu. Dia melihat perubahan ekspresi saat di taman belakang dengan saat ini, debaran jantung Abi mendadak tak terkontrol dengan tatapan lembut itu.
“Apa aku memang tak bisa hamil lagi?” tanya Abi sendu.
***