Bab 5. Ada dia di sini!

1070 Kata
Hari sudah menjelang sore, dengan hati yang sangat hancur Fira mengendarai mobilnya menuju rumah yang selama dua tahun ini di tempati bersama kedua sahabatnya sejak mereka kuliah. Akan tetapi, entah kenapa dirinya justru membelokkan mobilnya ke salah satu mall. Dan berakhirlah dia duduk di salah satu coffe shop tempat biasa dia rehat sejenak jika sedang penat dari segala tekanan di kantornya. Jemari lentiknya terlihat lincah menjelajahi dunia maya mencari hal-hal yang berkaitan cara menggugurkan kandungan, serta tempat yang bisa menerima proses tersebut. Merasa belum menemukannya, lantas Fira menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa singlenya lalu kembali menyesap americano lattenya, dan sesekali memijat pelipisnya yang mulai terasa pusing. “Sebaiknya telepon Mas Galuh saja, biar dia menyusul ke sini dan pulang bareng,” gumam Fira sendiri, dia mulai merasa badannya kurang enak, tidak nyaman, mungkin dikarenakan sudah mengetahui dirinya hamil jadi tubuhnya merespons. Di tempat yang sama rupanya ada asisten pribadi Brata yang menunggu kedatangan bosnya, yang memang ada schedule pertemuan dengan rekan bisnis di coffe shop tersebut, dan sangat kebetulan sekali asisten pribadi Brata memilih duduk tak jauh dari meja yang ditempati oleh Fira. Beberapa menit kemudian tibalah Brata, lantas Arya si aspri langsung menyambutnya, dan selang beberapa menit kemudian rekan bisnisnya Brata pun tiba. Fira masih menikmati kesendiriannya, sesekali menyesap minumannya dan memakan roti crossaint isinya bersama sepotong donat topping coklat, menurutnya heeling yang terbaik buatnya adalah menikmati makanan tersebut, moodnya biasanya akan cepat membaik. Wanita muda itu tidak menyadari jika keberadaannya dekat dengan Brata. Brata yang sudah mulai berbincang dengan rekan bisnisnya, sesekali mengedarkan pandangan sembari menyesap coffe lattenya, dan tiba-tiba pandangannya berhenti di satu meja. Ya, meja yang ditempati oleh Fira. “Ternyata dia ada di sini!” gumam Brata sedikit sinis, sudut bibirnya menyeringai tipis. Arya yang mendengar perkataan bosnya langsung mencondongkan dirinya. “Maaf Pak Brata, ada siapa?” tanya Arya agak kepo, netranya ikutan melirik ke arah yang dituju Brata. “Oh ... bukan siapa-siapa,” balas Brata kembali fokus dengan pembicaraan bisnisnya, tapi berbeda dengan Arya yang mencoba mengingat wanita yang tadi dilihat oleh bosnya. “Siapa wanita itu, kenapa berasa pernah lihat wanita itu, tapi di mana ya?” penasaran batin Arya sembari mengingat-ingat. Di sela-sela berbincang, ujung ekor netra Brata sesekali melirik wanita yang tidak tahu keberadaan dirinya. Sementara wanita itu masih duduk tenang, terkadang sibuk menjawab telepon dari Galuh yang rupanya tidak bisa mampir ke mall karena pekerjaannya belum selesai, terpaksa dia harus menunggu rasa pusing dan rasa mual diperutnya mereda, baru bisa pulang. Satu jam kemudian pertemuan bisnis Brata telah selesai. “Kita langsung kembali ke kantor atau bagaimana Pak?” tanya Arya, setelah rekan bisnis Brata berpamitan. Brata kembali duduk dan meneguk coffe lattenya sembari menatap tajam ke arah meja Fira. “Kamu lihat di sana!” pinta Brata mengarahkan dagunya ke arah meja Fira, dan Arya pun mengikutinya. “Ya Pak, saya melihatnya. Wanita yang sangat cantik,” puji Arya apa adanya. Brata mendesis lalu menyeringai tipis. “Ck ... kamu bilang dia cantik, dia itu hanya seorang pelayan. Pelayan yang pernah bekerja di mansion saya!” tegas Brata, dirinya tidak terima Arya memuji Fira. Arya mengusap netranya berulang kali, ada rasa tidak percaya melihat wanita itu yang katanya pernah bekerja di mansion bosnya, karena sangat jauh berbeda, dulu Fira memang sudah cantik dengan wajah polosnya tapi sekarang semakin cantik karena faktor pendewasaannya. “Apakah dia pelayan yang pernah Pak Bos nikahi itu?” tanya Arya mulai teringat, sembari menatap bosnya kembali. “Jangan mengungkitnya lagi Arya, dan jaga ucapanmu itu, jangan sampai keceplosan!” tegas Brata. Arya langsung membungkam mulutnya, lalu kembali mengingat bagaimana pernikahan dadakan bosnya itu sangat tertutup kala itu. Hanya orang tua Brata, para maid serta dirinya yang mengetahui akad nikah Brata dan Fira, usai itu Brata memberikan sejumlah uang pada para maidnya untuk menutup mulutnya mengenai pernikahannya tersebut, karena saat itu Brata sudah bertunangan dengan Bianca, dan kebetulan sekali Bianca sedang sekolah Fashion Designer di Paris, jadi tunangan Brata tidak mengetahui pernikahan Brata pertama kalinya. Rahasia selama enam tahun masih terjaga dengan rapi. Lantas, bagaimana dengan respon kedua orang tua Brata? Mereka akhirnya memilih tidak ikut campur dengan urusan Brata setelah mengetahui jika anaknya mengusir Fira setelah menantunya tersebut mengalami keguguran. Dan membiarkan anaknya menikah dengan Bianca sesuai dengan rencana Brata sebelumnya. Akan tetapi mereka menuntut cucu dari Brata dan Bianca selama lima tahun ini. Arya jadi memperhatikan bosnya yang masih saja memandang istri pertamanya atau sudah menjadi mantannya, entahlah. “Katanya jangan mengungkitnya, tapi kenapa dari tadi memandangnya saja,” keluh batin Arya. Wanita yang sejak dipandangnya akhirnya, mengedarkan pandangannya dan akhirnya netranya tak sengaja bersitatap dengan Brata. “Hah! Dia ada di sini, sejak kapan?” gumamnya sendiri agak terkejut, lalu dia memalingkan wajahnya kembali ke arah semula. Pria itu tersenyum sinis. “Berani sekali dia memalingkan wajahnya, memangnya siapa dia!” gerutu Brata tidak senang hati. Sungguh lucu sekali Brata buat apa dia tidak senang hati melihat sikap Fira, itu hak wanita tersebut, mau menatap atau tidak. “Sebaiknya aku harus pergi dari sini, muak sekali melihatnya,” gumam Fira, dia bergegas menghabiskan american lattenya walau bikin perutnya mual, lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas kerjanya, kemudian tubuhnya bergerak berdiri dari duduknya. Melihat Fira bergerak, rupanya Brata ikutan menghabiskan coffe lattenya, lalu turut beranjak dari duduknya. Mau tidak mau Arya juga ikutan berdiri. Wanita itu sangat terpaksa melewati meja yang ditempati oleh Brata, karena hanya itu jalan satu-satunya untuk keluar dari coffe shop. Brata sudah berdiri dekat meja yang dia tempatinya, lalu Fira menatap lurus ke depan saat melewati pria itu seolah-olah tidak melihatnya, dan pria itu agak geram dalam diamnya sembari mengepal kedua tangannya. Loh, kenapa Brata harus geram? Memangnya Fira harus menyapa Brata? Jangan bermimpi Brata! Dengan langkah anggunnya Fira lewat begitu saja, netra Arya yang melihat secara dekat jadi terkagum-kagum. “Cantik sekali,” gumam Arya terpesona, Brata langsung menolehkan wajahnya ke arah asprinya dengan tatapan garang. Lagi-lagi Arya mengatup bibirnya melihat rasa tidak suka bosnya. “Memang cantik kok, memangnya salah bilang wanita itu cantik. Sangat cantik melebihi Nyonya Bianca,” batin Arya jadi membandingkan. Pria berwajah tampan itu mengibaskan jasnya dengan tarikan napas kesalnya, lalu melangkahkan kakinya turut keluar dari coffe shop. “Kita mau ke mana Pak Brata?” tanya Arya sembari menyelaraskan langkah kakinya. “Tidak usah banyak tanya dan tutuplah mulutmu itu!” jawab Brata, terdengar kesal. Arya hanya bisa menaikkan alisnya karena jawaban bosnya seperti itu. Dilarang bertanya! Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN