Bab 1. Nama yang sama
Langit cerah di luar sana sepertinya tidak sehati dengan rasa sedih yang menyeruak di hati seorang wanita berparas cantik jelita yang baru saja menginjak usia 24 tahun. Dia tampak terduduk lemas tak berdaya, setelah Dokter Hilda baru saja menyampaikan sesuatu padanya. Dirinya seakan dicabut nyawanya dari raganya.
Sementara wanita lain berparas biasa saja, yang duduk di sebelahnya hanya bisa berdiam, dan menatap wanita cantik jelita tersebut, tampaknya masih sangat terpukau dengan kecantikan Fira.
“Sekali lagi Mbak Fira, kami dari pihak rumah sakit meminta maaf atas kelalaian rekan kerja kami yang telah melakukan kesalahan yang sangat fatal, dan kami akan membayar segala kerugiannya,” ucap Dokter Hilda penuh penyesalan.
Netra Fira sejak tadi sudah berembun, ingin rasanya menangis atas kejadian yang disebabkan karena memiliki nama yang sama dengan pasien yang lain, akhirnya terjadilah kesalahan dalam tindakan praktik dokter.
“Jadi 4 minggu yang lalu bukan tindakan papsmear yang saya terima? tapi inseminasi, betul begitukah?” tanya Fira, suaranya bergetar hebat, salah satu tangannya menyentuh perut datarnya.
Empat minggu yang lalu, Fira menjadwalkan dirinya untuk mengecek kondisi bagian feminimnya karena ada rasa yang tidak nyaman, oleh sebab itu salah satu dokter kandungan menyarankan dirinya untuk melakukan papsmear untuk mendeteksi penyakit rahim sejak dini.
Namun, apa yang terjadi? Fira yang awam mengenai medis, saat esok harinya sudah dapat jadwal dari dokter, lalu dia kembali datang ke rumah sakit, dan salah satu dokter muda mengarahkan ke ruang praktik dan dia menyerahkan saja segala tindakan dokter tersebut terhadap dirinya tanpa bertanya, di sinilah dia sangat ceroboh. Dan lihatlah sekarang! kemarin dia kembali dihubungi oleh pihak rumah sakit untuk datang, terjadilah berita buruk tersebut. Bukannya ditindak papsmear tapi inseminasi karena memiliki nama depan yang sama dengan wanita yang harusnya melakukan inseminasi.
“Iya Mbak Fira, rekanan saya melakukan inseminasi pada Mbak Fira Nadira Zahra, seharusnya inseminasi dilakukan untuk Mbak Fira Nadira Syakira, kami baru menyadari kesalahan ini saat kemarin Mbak Fira Nadira Syakira datang untuk melakukan inseminasi,” jelas Dokter Hilda. Permasalahan kesalahan ini pun juga baru diketahui saat proses ingin pengambilan benih yang sudah tersimpan di rumah sakit sejak dua bulan yang lalu, yang ternyata sudah digunakan untuk inseminasi.
“Memangnya saat itu kalian tidak bisa membaca nama lengkap kami berdua yang berbeda di bagian belakangnya!” seru Fira masih tak percaya.
Meringislah wajah Fira setelah menjawab, lalu tersenyum getir saat menolehkan wajahnya pada pemilik nama awalan yang sama dengannya. Sungguh ceroboh!
Dokter Hilda dan perawat pendamping sejenak terdiam, karena memang salah dan tidak bisa mengelaknya.
“Jadi apa bentuk tanggung jawab dari pihak rumah sakit Dokter Hilda? Apakah benih yang sudah ada di dalam rahim saya bisa diambil kembali, atau bagaimana?” Pertanyaan yang amat nyeleneh dari hatinya Fira yang paling dalam, tapi inilah bentuk kekecewaannya pada dokter. Ada benih entah milik pria mana yang ada di dalam rahimnya, dan entah sudah berbuah atau sudah hancur lebur alias tidak bakal menjadi seorang calon anak. Semua pemikirannya ini bergejolak di otak Fira.
“Apakah benih tersebut milik suami Mbak Fira?” tanya Fira pada wanita yang memiliki nama serupa di sebelahnya.
“Panggil saya Syakira saja Mbak Fira biar kita tidak rancu. Benih itu bukan milik suami saya Mbak Fira, saya sebenarnya orang yang diminta menjadi ibu pengganti untuk pasangan suami istri yang sudah lama belum memiliki keturunan. Setelah melakukan semua pengecekan kesehatan seharusnya kemarin jadwal saya inseminasi, tapi ternyata gagal karena salah orang,” jawab Fira Nadira Syakira apa adanya.
Fira mengembuskan nafasnya kecewanya dan menarik sudut bibirnya ke atas, netranya kembali menatap wanita paruh baya berjas putih.
“Mbak Fira, untuk memastikan kondisi hasil inseminasi tersebut, bisa saya melakukan USG terlebih dahulu sebelum kita mencari solusinya sekaligus menunggu pasutri yang memiliki benih tersebut,” pinta Dokter Hilda, berkata pelan dan tidak terdengar memaksakan.
“Apakah saya bisa langsung hamilkah Dokter dengan inseminasi tersebut?” tanya Fira, raut wajahnya kali ini sudah tampak masam.
“Tidak semuanya inseminasi berhasil Mbak Fira karena tergantung dengan kondisi rahim saat melakukan inseminasi, maka dari itu sebelum kita melanjutkan pembicaraan ada baiknya saya mengecek terlebih dahulu,” pinta Dokter Hilda, terlihat dia harus begitu sabar menghadapi Fira, tapi wajar jika wanita muda itu marah dan kecewa, walau saat ini Fira tampak tenang padahal hatinya sudah berkecamuk, antara ingin menangis dan marah.
“Saya harap inseminasinya gagal Dokter, gila saja saya hamil anak orang!” balas Fira ketus, kemudian dia bergerak bersiap-siap melakukan USG agar lebih jelas solusi akhirnya.
Dokter Hilda hanya bisa tersenyum getir, lalu mengajak Fira untuk naik ke atas brankar, dan salah satu perawat membantu Fira, kemudian Dokter Hilda mulai melakukan USG.
Fira menarik nafasnya dalam-dalam, dan ingin secepatnya hasil USG-nya langsung diberitahukan oleh Dokter Hilda saat itu juga. Ketika kegiatan USG berlangsung wanita muda itu sengaja tidak bertanya, dan membiarkan alat transducer itu bergerilya di atas perut bawahnya dalam waktu beberapa menit.
Setelah melewati beberapa menit barulah Fira bertanya, “Bagaimana hasilnya Dokter Hilda? Tidak ada tanda-tanda berhasilkan? Saya harap tidak berhasil,” ucap Fira agak kesal.
Dokter Hilda mengangkat alat transducer dari atas perut Fira, lalu mem-print beberapa lembar hasil USG, sementara itu perawat membersihkan perut Fira dari sisa gel, dan meminta Fira untuk duduk kembali.
Dengan gerakan kasarnya Fira kembali duduk, begitu juga dengan Dokter Hilda, dan kali ini wajah Dokter Hilda agak mencurigakan menurut Fira.
“Bagaimana Dokter, apa hasilnya?” tanya Fira mulai terlihat tidak sabar.
Sebelum menjawab Fira, Dokter Hilda mengatur nafasnya dalam-dalam sembari meletakkan print hasil USG di hadapan Fira.
“Berdasarkan hasil USG, di rahim Mbak Fira sudah ada kantung, dan itu tandanya Mbak Fira positif hamil saat ini,” jawab Dokter Hilda dengan penuh kehati-hatian.
Tidak ada hujan dan angin, tapi tubuh Fira terasa disambar petir, kepalanya mendadak pusing saat itu juga. “A-apa ha—!” Fira tak melanjutkan ucapannya, saking sudah syoknya wanita muda itu langsung pingsan di tempat duduknya.
“Suster Nurul cepat panggil bantuan,” perintah Dokter Hilda bergegas berdiri dan langsung menahan tubuh Fira agar tidak terjatuh di lantai. Perawat tersebut bergerak cepat keluar ruang praktik.
Lalu, tak lama Nurul membawa perawat pria untuk membantu mengangkat tubuh Fira ke atas brankar.
“Hati-hati dia sedang hamil muda,” perintah Dokter Hilda, saat mereka mengangkat tubuh Fira.
Sementara itu di perjalanan, sepasang suami istri sedang membahas kejadian yang kemarin mereka baru tahu, dan saat ini sedang menuju rumah sakit.
“Duh Mas Brata, kok bisa jadi begini. Kenapa malah wanita yang tidak kita kenal malah di-inseminasi benih punya kamu sih! Mas Brata harus menuntut pihak rumah sakitnya, ini udah kasus ceroboh namanya!” gerutu Bianca sang istri dari pemilik perusahaan property yang sangat terkenal di Indonesia yang bernama Bratasena Pradana, berusia 35 tahun.
Pria itu menghela nafasnya dalam-dalam, kalau saja istrinya yang sudah dia nikahi selama lima tahun ini tidak ada masalah dengan rahimnya, mungkin dia tidak akan menyetujui ide istrinya untuk mencari ibu pengganti demi memiliki seorang anak kandung yang juga menjadi tuntutan dari kedua orang tuanya. Untungnya saja dia tidak harus menikahi wanita yang jadi ibu pengganti tersebut, kalau tidak pasti akan merepotkan baginya.
“Kamu berdoa saja semoga wanita yang menerima benihku tidak hamil, jadi kita bisa melakukan inseminasi untuk kedua kalinya dengan wanita pilihan kamu itu, masalah kecerobohan pihak rumah sakit nanti kita lihat sikonnya dulu,” jawab Brata memberikan solusi.
“Ya aku harap wanita itu tidak hamil, apalagi aku tidak mengenalnya dan bukan orang pilihanku,” jawab Bianca terlihat kecewa.
Bersambung ...