3. Mengasuh Emilia

1039 Kata
Keesokan harinya, Nila mendatangi rumah Inara karena Tristan tak kunjung pulang. Nila mengetuk pintu rumah Inara dengan tidak sabaran. Memanggil Inara dengan sedikit lantang karena beberapa kali tidak ada sahutan. "Kemana Inara? Rumah ini sepi sekali," Inez merasa kesal. Seharusnya Tristan bisa berdiam diri di rumah tanpa harus pergi ke gubuk Inara yang sudah tua ini. Suara langkah kaki itu mengalihkan perhatian Nila, terlihat Inara menunduk dengan pakaian hitamnya. Tunggu, hitam? Apa wanita itu sedang berduka? Siapa yang meninggal? Nila beranjak dari duduknya menghampiri Inara. "Kau darimana? Kenapa berpakaian hitam seperti ini. Memangnya ada yang meninggal?" tanya Nila penasaran karena Inara hanya diam tak menjawab. "Beritahu aku sekarang. Ayo! Katakan yang sebenarnya siapa yang meninggal?" Nila semakin mendesak Inara agar membuka mulutnya, telinganya sudah bosan mendengar tangisan Inara yang penuh iba itu. Inara sedikit takut dengan Nila yang marah itu. Apa ia jujur saja bahwa Tristan yang meninggal? Rasanya berat hati ini mengatakan itu. Namun Nila yang sudah terlanjur penasaran membuat Inara memberanikan dirinya. "Tristan meninggal. Tadi malam," jawab Inara cepat. Lidahnya merasa kelu, masih tidak percaya jika Tristan pergi secepat ini meninggalkan dirinya. Inara hanya pasrah dengan nasib selanjutnya terutama mengasuh Emilia seorang diri. "Tristan?" Nila masih tak percaya, dunianya seolah runtuh dan hancur dalam waktu yang bersamaan. Putra tunggal kesayangannya meninggal secepat ini. Bahkan Nila belum sempat berbicara pada Tristan untuk yang terakhir kalinya. Inara mengangguk lemah. "Iya mama. Tristan meninggal tadi malam." "Cepat katakan padaku! Kenapa Tristan bisa meninggal? Semua ini karena kau? Atau sengaja meracuni Tristan dengan makanan sederhanamu itu?" pertanyaan Nila yang banyak itu meminta kejelasan dari Inara. Kemarin Tristan masih sehat bahkan tersenyum bahagia. Namun sekarang Tuhan mengambilnya dengan cepat. Nila sungguh menyesal karena tidak bisa melihat Tristan untuk saat yang terakhir. "Bukan," Inara menggeleng. Suaranya gugup, menjelaskan yang sebenarnya pada Nila pasti akan membuat mertuanya itu menyalahkan Emilia sekaligus membencinya. Kemudian akan bernasib sama seperti Tristan, Inara tidak ingin hal itu terjadi. "Lalu apa?" "Tristan meninggal karena dia kedinginan dan sakit. Ya, itulah penyebabnya," jawab Inara sedikit gugup. Menghadapi mertuanya yang emosional harus tenang. "Sekarang-" Suara tangisan bayi itu menarik perhatian Inara juga Nila. "Mama ke makam Tristan besok saja. Aku harus masuk dan memasak," Inara melangkah pergi meninggalkan Nila yang masih terdiam dengan hatinya terguncang hebat karena kematian Tristan. Nila merasa aneh dengan suara tangisan bayi yang berasal dari salam gubuk Inara itu. Bayi siapa? Karena penasaran, akhirnya Nila ikut masuk ke dalam. Rumah Inara tidak terlalu luas, hanya ada ruang tamu, dan dapur. Sedangkan kamar mandi berada di belakang rumah. Tempat tidur Inara hanya di kamar ruang tamu, satu. Nila sudah tau jika Inara adalah wanita miskin yang hidup sendirian. Namun menikah dengan Tristan yang sukses dan kaya membuatnya tidak merestui, tapi cinta Tristan yang besar dengan Inara itu membuat Nila terpaksa menyetujuinya. Karena kebahagiaan Tristan hanya pada Inara. Tapi setelah pernikahan yang berjalan selama 5 tahun lamanya, tidak ada keturunan seorang anak yang hadir diantara keduanya. Nila kesal, meminta Inara agar segera hamil namun sulit karena Inara mandul. Tapi melakukan program hamil berhasil meskipun gagal beberapa kali, saat bayi itu lahir bukannya hidup sehat justru meninggal. "Ini anakmu? Bukannya dia sudah meninggal?" tanya Nila bingung. Namun berbeda saat ia mengamati wajahnya yang jauh mirip dari Inara. Tak ada kemiripan disana. Warna mata biru laut serta rambut pirang kecoklatan adalah ciri khas bukan anak Inara. "Kau menculik bayi?" Nila menuduh Inara dengan kesal. Egois sekali, batinnya dalam hati. Inara menggeleng. "Tidak. Dia adalah bayi sendirian. Orang tuanya menitipkan kepadaku. Daripada menangis sendirian di tengah malam, aku membawanya pulang sekaligus mengasuh Emilia," jawab Inara dengan jujur. Tidak ada kebohongan yang di tutupi. "Bayi dari penduduk ini?" Nila ingin tau asal bayi Emilia itu. "Mama sudah makan? Aku akan masak. Tolong jaga Emilia ya," Inara tak ingin di introgasi lebih banyak oleh Nila. Tidak mungkin ia mengatakan menemukan bayi di tepi pantai. Nila pasti akan marah. Nila yang ingin bertanya lebig jelas lagi mengurungkan niatnya. Inara sudah di dapur, memasak makanan simpel. Aroma bumbu mie instan tercium lezat. Nila jadi lapar ingin makan. Beralih menatap bayi Emilia, Nila tersenyum senang. Begitu cantik seperti orang di luar negeri. Jika ia mempunyai seorang cucu yang cantik jelita, Nila akan menunjukkan pada semua orang. "Kenapa Inara tidak melahirkan bayi ini saja?" Nila merasa menyesal, meskipun bukan anak Inara tapi sudah cukup menjadi penggantinya. "Ma, ini mie instan sudah siap. Ayo sarapan," suara Inara yang ramah itu membuat Nila melangkah ke dapur, makan bersama dengan Inara. "Apa kau memperbolehkan aku membawa bayi Emilia?" tanya Nila sebelum makan. Ia tidak ingin bayi cantik itu bernasib sama seperti bayi Inara sebelumnya. Nila berjanji akan merawatnya dengan baik. Inara yang akan menyuapkan mie ke dalam mulutnya itu batal. Apa? Membawa Emilia pulang? "Jangan. Aku saja yang merawat Emilia dengan baik. Dia akan sehat dan tumbuh besar disini," Inara tetap mempertahankan Emilia bersamanya. Jika dengan Nila mungkin hal aneh seperti yang terjadi dengan Tristan. Inara tidak ingin Nila mengalami hal yang sama dan berakhir meninggal. "Aku pasti akan merawat Emilia. Mama bisa ke rumahku bermain dengan Emilia jika mau," tambahnya lagi. Inara tersenyum manis, bahagia yang tulus dari Emilia meskipun masih ada rasa kehilangan dan sedang berduka. Nila membanting piring dengan kasar sehingga mie itu tercecer di lantai. Bunyi pecahan yang keras membangunkan Emilia yang tadinya tidur kembali memangis. "Aku tidak setuju! Emilia di tanganku atau kau sama sekali tidak mendapatkan jatah warisan dari Tristan?" Nila memberikan dua pilihan sulit untuk Inara. Biarkan Inara memilih, antara Emilia atau harta. Tapi Nila bisa memprediksinya pasti itu harta, karena Inara membutuhkan uang untuk biaya hidupnya. "Aku memilih Emilia. Harta tidak akan membuat kita bahagia. Termasuk aku dan Tristan, sibuk bekerja sampai tidak ada waktu luang untuk bersama." "Kau banyak alasan! Tristan bekerja karena menafkahimu. Apa salah?" "Dan untuk waktu luang, malam harinya Tristan pulang. Kalian berdua bertemu kembali. Apa masih kurang?" suara Nila terdengar tegas dan tinggi. Seluruh ruangan hanya di d******i oleh kemarahan Nila. Suara tangisan Emilia semakin kencang. Dengan langkah tergesa dan berlari Inara menghampiri Emilia. "Maafkan nenek ya? Beliau tak bermaksud merebut. Tenanglah," Inara menimang Emilia, sesekali tersenyum dan menggelitik perut Emilia agar tertawa. Nila sudah bosan dengan Inara yang tidak tergiur dengan harta. Lihat saja wanita itu pasti akan kembali dan meminta sejumlah uang karena tak bisa bekerja. Hanya waktu yang bisa menjawab semuanya. *** Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN