2. Menemukan Seorang Bayi

1058 Kata
Gelombang laut yang membawa Emilia ke daratan tepi pantai. Emilia yang masih bayi itu menangis. Pantai di malam hari ini sepi tidak ada seorangpun manusia yang beraktifitas. Di sisi lain, seorang wanita berusia 38 tahun sedang duduk sendirian menangis merasakan kehilangan anaknya yang masih bayi meninggal dunia. Ia bernama Inara, mendapatkan anugerah seorang anak setelah 5 tahun pernikahannya adalah suatu kebahagiaan yang diberikan oleh Tuhan. Dua hari yang lalu Inara melahirkan anak pertamanya setelah mengikuti program hamil yang membuahkan hasil setelah berulang kali gagal. "Kenapa aku harus merasakan kepahitan hidup ini?" Inara menyalahkan dirinya sendiri. Padahal impiannya memiliki seorang anak sudah menjadi penantiannya sejak lama. Bertahun-tahun Inara lewati tanpa adanya seorang anak meskipun keluarga suaminya selalu mencelanya karena tak bisa hamil. Sampai rencana menikah lagi itu terbesit di keluarga suaminya, mencari istri yang memiliki rahim subur daripada dirinya yang sudah mandul 5 tahun. Inara larut dalam tangisannya. Menerima nasibnya yang malang ini. Pernikahannya tidak akan berarti. Semua orang akan membencinya. Inara masih ingat ucapan Nila, mertuanya itu yang mengusirnya dari rumah Tristan. Kehadiran wanita lain yang jauh lebih cantik dan kaya raya agar kedudukan setara dengan keluarga Tristan. Inara tak bisa berbuat apa-apa. Hidup sendirian tanpa adanya kedua orang tuanya yang meninggal saat ia masih kecil. Inara hidup sendirian, berjuang dengan kerasnya bekerja sekaligus pernikahannya yang hampir hancur karena tidak adanya anak. Suara tangisan bayi membuat Inara menatap sekitar mencari sumber suara itu. "Mengapa di tengah malam begini ada bayi disini? Apa tidak berbahaya karena angin laut? Siapa orang tuanya?" Inara memiliki banyak pertanyaan, tega sekali orang tua itu membiarkan bayi sendirian di tepi pantai yang sedang memasuki musim angin muson barat selalu beriringan dengan hujan badai setelahnya. Inara fokus dengan satu titik yang menunjukkan bayi di tepi pantai dengan ombak kecil yang mendorongnya sedikit. Langkahnya berlari sekuat tenaga, Inara harus menyelamatkan bayi itu sebelum hujan badai kembali datang. Jangan sampai ombak laut kembali terjadi dan melukai bayi itu. Inara menatap iba dan kasihan pada bayi yang malang ini. Meraih tubuhnya dan menggendongnya. Inara mengecup pipi sang bayi dengan penuh rasa kasih sayang. "Dimana orang tuamu? Aku akan membawamu pulang," Inara mengajak bayi itu berbicara namun anehnya tangisannya berhenti. Bibir mungil itu tersenyum ceria menatap Inara. "Eh? Kau sudah merasa tenang sekarang? Bagus, jangan bersedih ya? Aku selalu disini bersamamu. Kau tidak akan sendirian lagi," Inara merasakan tenang dan damai ketika bertemu dengan mata biru laut yang indah itu. Sangat cantik, pasti perempuan. Inara meraih kalung yang di genggam oleh bayi itu. Terdapat lambang ikan dengan ukiran huruf latin jika membacanya Emilia White. Inara terkejut, nama yang sangat asing. Apakah bayi ini dari luar negeri? Atau orang tuanya adalah seorang turis wisatawan? Bukan benda kalung saja yang Inara dapat, melainkan sebuah kertas usang berwarna coklat muda yang ditulis dengan tinta bulu. Huruf Old English Text membuat Inara kesulitan membacanya. Karena bahasa latin, Inara tak bisa menerjemahkannya. Namun Inara hanya mengetahui lambang Mermaid dengan peta kecil sebagai denah yang ia yakini adalah kehidupan Mermaid di lautan. Inara menatap Emilia yang berada di pelukannya. Apakah ini bayi Mermaid? "Tidak mungkin," Inara menggeleng tak percaya. "Mermaid hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur. Hidup di dunia nyata seperti ini akan terasa mustahil. Bagaimana bisa manusia setengah ikan melahirkan bayi manusia?" Inara merasa heran dengan satu fakta tersebut. Mermaid seharusnya memiliki sebuah ekor ikan, namun Emilia tidak ada tapi meniru manusia bahkan kedua kakinya pun sama seperti kaki manusia pada umumnya. "Tapi-" Inara menatap Emilia dengan hati tenang. Apakah Emilia sengaja ditinggalkan? Sehingga jika ada seseorang yang menemukan keberadaan Emilia harus mengasuhnya? "Baiklah," Inara mengembangkan senyumannya. Jika kehadiran Emilia ini adalah sebuah keberuntungan dari Tuhan dan menggantikan bayinya yang telah meninggal, maka dengan senang hati Inara akan mengasuhnya seperti anak kandungnya sendiri. *** Melihat wajah damai Emilia seperti teratai putih yang suci menenangkan hati siapa saja. Setiap kecantikan Emilia membuat hati Inara tentram. Apakah ini yang dinamakan ikatan batin antara seorang ibu kepada anaknya? Meskipun Emilia bukan anaknya, tapi Inara menganggapnya putri tunggalnya. Malam yang semakin larut, hujan badai datang kembali dengan angin muson menaikkan suhu dingin. Inara hanya memakai sweater sebagai penghangat tubuh, dan Emilia selimut berbulu berukuran mungil yang pernah Inara beli untuk calon bayinya dulu. "Tidurlah dengan kedamaian. Karena ibu, disini menjadi pelindungmu," Inara mengecup dahi Emilia dengan penuh kasih sayang. "Sedang berbicara dengan siapa?" suara Tristan yang mengintimidasi itu membuat Inara menoleh dengan sedikit takut dan gemetar. Mengapa suaminya itu pulang ke dalam gubuknya? "Aku-" Inara tak bisa menjawabnya. Tatapan Tristan yang tajam seperti menyiratkan kebencian tiada habisnya, semua ini karena bayinya yang meninggal dunia sampai cinta dan kasih sayang Tristan lenyap bagaikan pasir terkikis air perlahan habis tidak tersisa. "Anak siapa yang kau bawa ini?" Tristan melangkah lebih dekat dan melihat bayi cantik yang tertidur damai. "Apa ini bayimu dengan pria lain?" tanya Tristan melayangkan tuduhan pada Inara. "Bukan!" Inara menggeleng, membantah tuduhan Tristan. "Aku sama sekali tidak mempunyai anak dari pria lain." Karena suara keributan dan intonasi Tristan yang tinggi membangunkan tidur Emilia yang sekarang membuka kedua matanya. Sebuah sinar cahaya biru yang terang tertuju pada Tristan membuat pria itu berteriak kesakitan, mengeluh matanya perih sekaligus kulitnya panas melepuh di bakar api. "Hentikan sinar ini! Jangan sakiti aku!" Tristan meminta tolong dengan sangat memohon. Tidak tahu sumber sinarnya dari mana. Inara terkejut melihat pemandangan tak biasa di depan matanya. Apakah Emilia ini Mermaid ajaib yang memiliki sebuah kekuatan? "Sayang! Kau pasti baik-baik saja," Inara merasa ketakutan melihat semua ini. Emilia menyakiti Tristan hanya karena menuduhnya. Sepertinya Emilia tidak suka. Beberapa saat kemudian sinar biru itu lenyap. Emilia tidak bisa tidur, kedua alisnya menyatu seperti menyimpan amarah besar pada Tristan. Inara merasa lega, akhirnya Emilia menuruti ucapannya. Namun Inara kembali sedih dan merasa kehilangan saat Tristan terkapar di lantai. Langkah Inara menghampiri Tristan, memastikan itu hanya pingsan. Tapi Inara terlalu salah menduga, saat Inara mengecek denyut nadi Tristan sudah tidak berdetak lagi. Terdiam. Kedua mata Inara berkaca-kaca ingin menangis. Tristan telah tiada. Hal kecil yang membuat Emilia murka sampai Tristan kehilangan nyawanya. Inara memeluk Tristan untuk yang terakhir kalinya. Menumpahkan tangisannya, menerima kepergian Tristan dengan hati ikhlas. Semua ini atas kehendak Tuhan. Jika sudah waktunya tiba, maka tidak ada yang tahu kematian itu akan datang. Seandainya Tristan bisa memadamkan emosinya dan berusaha tenang, semua ini tidak akan pernah terjadi. Kedua kalinya, Inara kehilangan orang yang paling penting dan sangat ia sayangi dalam hidupnya. Pertama bayinya, sekarang Tristan. *** Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN