“Sumpah demi apa pun, Mas ... sumpah!”
“Punggung kaki kiri mama Mas, murni karena kecelakaan. Itu saja masih karena ulah mama Mas! Tadi siang aku lagi setrika, tapi mejanya ditendang Mama Mas. Mama Mas melakukannya setelah sibuk pamer paket belanjaan, terus setrikanya jatuh kena kaki kiri mama Mas!”
Tia berusaha meyakinkan. Hatinya remuk redam karena fitnah keji yang ibu Santi lakukan. Untuk pertama kalinya di pertengkaran mereka, air matanya juga berjatuhan membasahi pipi seiring wajah jengkel yang Saka berikan. Saka menatapnya tajam. Saka tampak marah bahkan sangat kecewa kepada Tia.
Fitnah keji dari ibu Santi membuat langit kehidupan Tia seolah lumpuh. Ibu Santi berdalih, Tia tak pernah memperlakukannya dengan baik. Hingga sekadar makan saja, ibu Santi harus beli secara online. Belum lagi luka akibat setrikanya yang membuat punggung kaki kiri ibu Santi melepuh.
Jika biasanya alasan Tia menangis karena ia yang tak kunjung hamil, kini alasannya menangis murni karena kezaliman mama mertuanya yang sampai dipercayai oleh Saka. Cara Saka menyikapinya dengan dingin, jelas menegaskan bahwa pria itu lebih percaya ke ibu Santi.
“Sakit sekali, Saka. Ya ampun istrimu. Ngebet banget pengin dapat gaji kamu, padahal paket yang berdatangan bukan Mama yang beli. Itu murni kiriman dari teman-teman Mama.”
“Teman-teman Mama tahu, Mama punya menantu zalim yang hobi banget bikin Mama emosi. Mereka khawatir banget ke Mama.”
“Ibaratnya, mereka kirim semua itu buat bikin Mama seneng. Mereka berusaha menghibur Mama. Termasuk beberapa kiriman makanan. Beneran enggak beli semua, Ka. Mama dikasih karena mereka tahu istrimu sejahat itu!” lanjut ibu Santi terisak-isak.
“Jahat gimana sih, Ma? Memangnya perlu ya, rumah ini dipasangin CCTV biar kita enggak harus sibuk saling menjelaskan? Siapa yang berulah? Siapa yang salah, dan siapa juga yang dizalimi?” sedih Tia.
“MEMANGNYA SELAMA INI AKU PERNAH NUNTUT APA? MINTA UANG BUAT PERIKSA KESEHATAN, ITU MURNI BUAT CEK KESUBURAN, LOH. BUKAN BUAT GANJEN MAUPUN GAYA LAINNYA!”
“BERAS HABIS ANDAI MAMA ENGGAK KASIH UANG JUGA AKU TETAP DIAM. AKU MEMILIH PUASA DAN MAMAH MEMILIH BELI MAKAN SAMPAI KENYANG TANPA MEMBAGINYA KE AKU!”
“GAJI MAS SAKA, HARUSNYA MEMANG AKU YANG PEGANG, MA. MAS. NAMUN ANDAI TETAP ENGGAK DIKASIH YA ENGGAK APA-APA, YANG PENTING BISA ATURNYA.”
Tia yang tipikal keras tak bisa ditindas, tak terima dan melawan ibu Santi. Namun, ibu Santi malah mirip manusia paling teraniaya di muka bumi ini. Hingga untuk kali pertama, Tia dibentak Saka.
“Cukup, Tia! Diem saja kenapa? Susah banget ya, buat ngalah ke orang tua meski hanya bentar!” tegas Saka.
“Enggak bisa gitu dong Mas. Sebagai kepala keluarga, kamu enggak boleh berat sebelah! Andai Mas enggak percaya, ... sudah lempar ke polisi saja pengakuan mama Mas! Ayo kita buktikan!” balas Tia. Dadanya bergemuruh sekaligus terasa sangat panas. Jauh di dalam sana seolah ada yang nyaris meledak.
“Ya ampun, Tia ... sudah, CEPAT MASUK KAMAR SEKARANG! RENUNGI KESALAHANMU, DAN SEGERALAH MINTA MAAF KEPADA MAMA!” Saka makin murka. Ia menatap tajam kedua mata Tia yang basah, sambil terus memeluk sang mama. Dalam dekapannya, sang mama jadi jauh lebih tenang. Tubuh sang mama hanya sesekali terguncang pelan karena sesenggukan. Alasan tersebut pula yang membuatnya tak sedikit pun tersentuh oleh kesedihan Tia.
“COBA KATAKAN, DI SINI AKU APA? PEMBANTU yang harus mengerjakan semua pekerjaan dan harus selalu tunduk sekaligus mau-mau saja disalahkan? Apa aku ini PELAC*UR YANG HARUS MELAYA*NIMU KAPAN PUN KAMU BUTUH, MAS? JIKA MEMANG IYA, MEREKA BAHKAN LEBIH DIHARGAI KETIMBANG STATUSKU DI SINI.”
“SUDAH DIKATA-KATAI MANDUL. BORO-BORO DIBEROBATKAN, IZIN KERJA BIAR DAPAT BIAYA BUAT BEROBAT SAJA DIPERSULIT!”
“YANG KALIAN MAU APA? INI AKU MANDUL BEGINI JANGAN-JANGAN MASIH BERKAITAN DENGAN KUNJUNGAN KITA KE KLINIK ITU, YA MA?”
“MAKANYA MAMA DENGAN SEMANGATNYA MENGATAI AKU MANDUL?”
Sadar sang suami akan menyela ucapannya, Tia sengaja berkata, “Tahan dulu, Mas. Biarkan aku bicara, tidak ada lima menit juga sudah beres!”
Mendengar itu, Saka tak jadi bicara.
“Terima kasih, Mas. Karena kamu masih memberiku kesempatan. Aku enggak akan panjang lebar, cukup cari pembantu yang juga bisa mengurus mama kamu dengan baik saja. Begini jauh lebih adil.”
“Sumpah demi apa pun, aku ikhlas enggak kamu nafkahi, asal kamu izinkan aku buat bekerja Mas!”
“Sudah begitu saja. Karena andai aku bilang, pulangkan aku ke orang tuaku, ... aku kan memang enggak punya orang tua. Sementara setelah ini, pasti kalian bakalan bilang, pantas aku enggak punya orang tua karena aku saja kurang ajar ke mama Mas.”
“Aku begini, bukannya kurang ajar. Melainkan karena aku menang merasa enggak bersalah.”
“Cara kalian memperlakukanku, beneran bikin aku enggak ada harga dirinya.”
Tia nyaris masuk ke ruang rumah lebih dalam. Ia sungguh hampir meninggalkan kebersamaan di ruang tamu. Namun karena masih ada yang mengganjal, ia jadi urung melakukannya. Tanpa menyeka air matanya, ia yang sesenggukan, berkata, “ Sekalian, ... bawa mama kamu berobat. Bukan hanya buat luka setrikanya, tapi buat penyakit lainnya. Biar mamamu cepat sehat. Mama juga wajib mau, Ma. Toh buat kebaikan Mama juga. Apalagi ... aku yang pengin berobat sampai nangis ngemis-ngemis saja enggak dikasih. Ya pantas lah, Allah takut titip anak ke aku. Takut anak itu juga merasakan apa yang aku rasakan!” Kali ini Tia benar-benar pergi. Membawa rasa nelangsa yang begitu pedih mengikis kehidupannya.
Dulu, Tia selalu berpikir, menikah dengan laki-laki yang sangat menyayangi mamanya, akan membuatnya jauh lebih dihargai. Sebab yang Tia yakini, laki-laki yang menyayangi mamanya, pasti akan jauh lebih paham cara menghargai wanita. Namun ternyata, Tia salah.
“Mungkin memang enggak semuanya. Aku saja yang apes karena dari awal saja, hubungan kami memang enggak direstui.” Tia terduduk pasrah di pinggir tempat tidur.
Tia menyeka air matanya menggunakan ujung lengan piyama panjangnya. “Aku pikir, menikah akan membuatku merasakan hangatnya keluarga. Apalagi posisinya suamiku, anak semata wayang. Namun yang aku rasa justru sebaliknya. Karena aku justru seolah harus terus-menerus bersaing dengan mamanya.”
“Andai aku punya sanak saudara. Andai aku punya teman.”
“Hufttt ... enggak apa-apa sih. Sekarang, aku cuma butuh ketegasan mas Saka. Kira-kira, dia bisa tegas enggak? Kira-kira, dia bisa berhenti jadi anak mama, enggak?”
“Sumpah ya ... aku beneran sudah ikhlas andai aku enggak dapat nafkah, tapi asal aku diizinin kerja. Ayolah ... jangankan sekadar beli pembalut, beras saja selalu keteteran. Karena aku beneran sudah enggak pegang uang.”
“Menikah enggak bikin kehidupanku jadi lebih baik. Ujian kesabaran, ujian rumah tangga, terus aku alami. Beneran nyaris tidak ada hentinya.”
“Memangnya ada yang sanggup bertahan lebih lama, jika kalian ada di posisiku? Jujur, ... kalau gini terus ... aku beneran ingin pisah saja.”
“Aku kasihan ke diriku. Berasa dijajah, ... hak kebebasanku, bahkan hak sekadar hidup, seolah sudah enggak ada,” batin Tia jadi memikirkan penceraian, andai dirinya tetap tak diizinkan kerja.