Menikah membuat Tia menjadi IRT tulen. Meski sampai detik ini belum ada tanda-tanda Tia hamil. Selain itu, efek IUD juga membuat imun atau malah hormon Tia mengalami gangguan. Tia masih mengalami akan mendadak sakit tak karuan. Kadang saking sakitnya apalagi menjelang petang, Tia kerap ketiduran atau malah pingsan.
Kini di depan kamar ibu Santi, Tia tengah menyetrika pakaian. Tia sengaja memfokuskan pekerjaannya di sana, agar ketika ibu Santi merengek minta dibantu dalam hal apa pun, ia bisa langsung mengurusnya.
Sampai detik ini, memang belum ada yang mengetahui penyakit ibu Santi. Sebab ibu Santi selalu menolak jika diajak berobat. Awalnya ibu Santi berdalih, bahwa dirinya hanya butuh istirahat. Namun hingga dua minggu berlalu, ibu Santi makin mirip bayi yang sekadar ingin ke kamar mandi harus Tia gendong. Fatalnya, drama tak hanya sampai di situ. Karena kini, di setiap ibu Santi diajak berobat atau sekadar diminta minum obat, jawabannya justru makin memberatkan Tia. Sebab ibu Santi berdalih, dirinya cukup mendapatkan kabar kehamilan Tia dalam waktu dekat—itu dikata ibu Santi merupakan obat mujarabnya.
Beberapa saat kemudian, suara langkah buru-buru khas orang tengah berlari, terdengar dari dalam kamar ibu Santi. Bersamaan dengan itu, Tia refleks menyeterika dengan lebih pelan.
“Siapa yang lari? Namun, masa iya itu orang lain? Harusnya di dalam hanya ada mama. Masalahnya, kenapa mama bisa lari, sementara buat geser posisi tidur saja, dia harus aku bantu,” pikir Tia.
Bertepatan dengan bunyi bel di rumah mereka, Tia langsung menoleh ke sumber suara. Namun hanya berselang hitungan detik, pintu kamar di hadapannya mendadak dibuka dari dalam. Tatapan Tia dibuat ngeri pada kelakuan mertuanya yang dengan sangat leluasa lari.
“Kadal buntung ...,” lirih Tia masih melepas kepergian ibu Santi dengan tatapan tak habis pikir. “Jadi ternyata dia enggak sakit?” lirihnya lagi dan kali ini sambil merenung serius.
“Sebentar deh ... ih, aku merasa dikibulin!” kesal Tia.
Tia melampiaskan kekesalannya menggunakan setrika. Tia sengaja menggosongkan tiga daster bahan kesayangan sang mama mertua. Begitu juga dengan CD yang depan belakangnya ia beri cap landasan setrika tak terlupakan termasuk juga dengan aromanya.
“Asyiiik ... baju baru, sepatu baru, sandal baru, tas baru ... semuanya datang di satu waktu. Emang paling bener jadi wanita jangan mandul. Punya anak disekolahkan sampai sarjana dan jadi lulusan terbaik kan enak gini hasilnya,” ucap ibu Santi dengan sangat semringah sambil sesekali melirik Tia.
Tentu ibu Santi sengaja membuat Tia emosi. Berucap pun, ia sengaja menggunakan suara lantang dengan logat khas orang sedang pamer.
“Paling bentar lagi juga kena azab. Azab mertua zalim yang merampas haknya menantu. Matinya susah dan berakhir jadi pocong yang kehilangan identitas,” ucap Tia sengaja cuek.
Sempat merasa tersinggung, ibu Santi hanya mengalaminya sejenak. Karena dengan cepat, paket dalam dekapannya membuat mood-nya segera membaik.
“Bentar deh ... ini kok bau-bau gosong, ya?” lirih ibu Santi sambil melenggang santai.
“Loh ... bukankah itu aroma hati dan otak situ? Gosong, kan? Itu gambaran hati dan pikiran situ!” lirih Tia sengaja menyindir tanpa sedikit pun melirik sang mertua.
Namun, ibu Santi yang kebetulan ada di sebelah Tia langsung tersinggung.
”Kalau kamu enggak menyinggung saya, kamu sedang ngomong sama siapa?!” omel ibu Santi.
Tia yang masih menyikapi dengan santai, berkata, “Ya sama setrika sekalian tembok lah. Mereka-mereka ini enggak akan melukai saya apalagi zalim ke menantu sendiri. Ngapain juga ngobrol sama orang zalim!”
“Dasar, sudah mandul, sirik, hihhh!” kecam ibu Santi. Ia melangkah meninggalkan Tia.
Akan tetapi, ibu Santi yang belum puas menghan.curkan mental Tia, sengaja kembali menghampiri Tia. Dengan sengaja, ibu Santi juga menendang kaki meja seterika yang Tia pakai. Hal tersebut ibu Santi lakukan lantaran Tia tak membalasnya. Meski karena kecerobohannya tersebut juga, setrika yang baru Tia taruh justru menjatuhi punggung kaki kiri ibu Santi.
“PANAAAASSSSSS!!” teriak ibu Santi benar-benar lepas.
Sempat syok bahkan khawatir, kelakuan ibu Santi kepadanya, membuat Tia tidak bisa untuk tidak tertawa. Toh dengan cepat ibu Santi buru-buru melindungi diri sendiri. Ibu Santi mengambil setrikanya kemudian sengaja melemparnya ke Tia. Selain itu, setrikanya juga jadi rusak. Bagian depan setrikanya sampai lepas. Karena tadi, ibu Santi melemparkannya sekuat tenaga.
Tia memang bisa menghindar, tapi satu ranjang pakaian yang sudah ia setrika, jadi lecek sebagian akibat tertimpa tubuhnya.
“Astaghfirullah ... nih orang sakit, apa gimana?” batin Tia yang kemudian mengelus d**a.
Baru akan masuk ke dalam kamar, bel rumah kembali bunyi. Ibu Santi berdalih bahwa itu belanjaannya. Belanjaan bagian dari berkah jadi wanita tidak mandul yang memiliki anak berpenghasilan tinggi.
Walau sibuk meringis kesakitan, ibu Santi yang sampai terpincang-pincang, tetap bergegas. Namun terlebih dahulu, ia menaruh paket belanjaannya di dalam kamar.
“Wah ... mertuaku beneran keterlaluan,” batin Tia ketika akhirnya ibu Santi kembali.
Tak beda dari sebelumnya, kali ini ibu Santi juga memenuhi kedua tangan maupun dekapannya menggunakan paket belanjaan online.
“Ketimbang buat belanja, harusnya kalau buat kontrol kesuburan aku yang mereka tuduh mandul, semua sudah sangat cukup!” batin Tia makin merasa tidak bisa menoleransi kelakuan mama mertuanya.
Karenanya, ketika akhirnya sang suami pulang, Tia berniat melaporkannya ke Saka. Tia menolak dipeluk apalagi diciu m layaknya ritual yang sudah biasa mereka jalani. Saka yang mendapatkan itu, langsung menatapnya heran.
“Sebanyak apa?” tanya Saka langsung mengomentari laporan sang istri.
“Kamu cari tahu sendiri lah. Semuanya kan pesan online, bisa dicek karena ada jejaknya.”
“Kalau memang ngebet banget pengin cucu. Dan merasa obat sakitnya hanya cucu, kenapa enggak ada usahanya gitu loh. Tahu-tahu aku bermasalah. Sumpah demi apa pun, aku mengakui aku yang bermasalah. Makanya aku mohon, aku minta uang buat berobat. Andai enggak bisa, ya biarkan aku kerja,” sergah Tia berbicara panjang lebar.
“Kalau kamu juga kerja, yang jagain mama siapa dong Sayang?” balas Saka berat.
Dari depan kamarnya, ibu Santi yang sudah membuat penampilannya awut-awutan, segera berlari. Ia mendengar suara Saka maupun Tia. Ketika jaraknya dengan ruang tamu makin dekat, ia sengaja mengubah lari agak berjinjitnya dengan langkah sempoyongan. Tak lupa, ia meraung-raung tapi dengan suara lirih khas orang sakit.
“Saka sakit banget ... lihat, Mama disetrika Tia ... panas. Perih ... sakit. Padahal, andai dia enggak mau bantu Mama, Mama juga enggak akan memaksa,” isak ibu Santi.
Menyaksikan itu, langit kehidupan Tia seolah langsung runtuh detik itu juga. “Loh, ... kok jadi gini?” batinnya padahal jelas-jelas, alasan ibu Santi kena setrika itu karena ulah zalim ibu Santi kepadanya.