“Mama sudah makin tua, Sayang. Wajar kalau mama banyak omong bahkan berdrama. Memang begitu, kan. Orang tua biasanya bakal balik mirip anak kecil lagi.”
Saka sama sekali tidak memikirkan perasaan Tia. Jangankan meminta maaf kemudian menenangkan Tia, yang Saka pikirkan hanya mamanya, mamanya, terus begitu.
Saka selalu ingin Tia hormat kepada mamanya, tanpa peduli bagaimana perasaan Tia. Juga, tanpa peduli bagaimana sikap ibu Santi kepada Tia. Termasuk mengenai fitnah-fitnah ibu Santi kepada Tia, Saka hanya meminta Tia untuk tidak marah bahkan sekadar menyinggungnya, jika memang Tia tidak merasa melakukannya. Hingga yang ada, Tia merasa sangat tersudut.
Membela diri tidak boleh, mengeluh lebih-lebih. Tia sungguh tidak boleh melakukan apa pun. Cukup diam, menerima, dan jalani—itulah yang Saka haruskan Tia lakukan.
“Yang biasanya balik mirip anak kecil itu Lansia, Mas. Lansia dan orang tua beda. Mamamu belum lansia. Mamamu masih sehat, ... terbilang masih muda. Pikirannya saja yang terlalu picik karena selalu dibela. Orang dasarnya enggak mikir, terus dibela. Ya sudah, makin lancar menghinanya.” Tia berangsur berdiri dari duduknya.
“Ini Mas beneran enggak mau izinin aku buat kerja?” tanya Tia memastikan.
Kedua mata Tia yang sembab parah dan rasanya sangat pedih, menatap kedua mata Saka penuh kepedihan. Namun, diamnya Saka yang bahkan sampai memalingkan wajah sambil menghela napas kasar, membuatnya kembali menelan kekecewaan mendalam.
“Tinggal sembilan belas bulan lagi. Semoga dalam jangka waktu ini, aku masih hidup. Atau minimal, semoga ada anggota keluargaku yang datang buat jemput!” Sembilan belas bulan merupakan sisa waktu Tia diterima ibu Santi menjadi menantu, itu saja jika Tia hamil.
“Aku beneran berharap, aku masih punya keluarga apalagi orang tua yang peduli kepadaku, Mas!” ucap Tia yang kemudian berkata, “Jujur Mas, ... caramu begini lebih menyakitkan dari ketika aku harus berjuang sendiri dan posisiku sedang sakit-sakitan.”
“Kamu ngomong apa, sih?” sergah Saka yang sebenarnya sudah sangat tersindir.
“Aku mau kehidupan layak, Mas! Kalaupun enggak bisa seperti saat aku belum menikah, minimal kamu hargai aku. Jelas, kan?” tegas Tia yang kemudian mengakhiri tatapannya dari Yusuf. Ia melakukannya sambil menghela napas kasar, sebelum akhirnya ia benar-benar diam.
“Aku sudah mens lagi. Mens yang beneran mirip pendarahan. Rasanya enggak karuan banget. Sebelum menikah, aku belum pernah begini.”
“Sementara jangankan uang tabungan buat berobat. Hapeku saja sudah aku jual buat kamu berobat Mas kemarin. Lihat ... darahnya ke mana-mana kan.” Suara Tia tertahan di tenggorokan. Rasanya terlalu menyakitkan hingga jangankan berucap, bernapas saja ia melakukannya dengan terbatas.
Padahal, menikah dengan Saka sudah membuat Tia kehilangan semua materi yang ia miliki. Selain Tia yang memang sudah kehilangan harga diri karena setiap saat selalu dicaci. Tabungan dan hape Tia sudah hanya tinggal kenangan. Namun, masih ada satu, dan itu motornya. Motor yang kini selalu Saka pakai untuk bekerja.
“Mens begini rasanya sakit banget loh Mas,” lanjut Tia. Sudah kesakitan, ia juga dibuat emosi oleh kelakuan suaminya yang super anak mama.
“Ya yang sabar, ... gajian masih lama. Ini baru tanggal dua puluh dua. Mama bilang, uangnya sudah habis buat berobat Mama. Mama berobat sendiri karena kamu enggak mau temenin, kan?” ucap Saka, tapi Tia sudah buru-buru pergi tanpa menunggu balasan darinya usai. Namun dari kedua kaki Tia memang dihiasi darah. Darah yang sampai menetes ke lantai dan sebagiannya terinjak.
Terlalu mementingkan sang mama, membuat Saka tak mampu untuk sekadar membelikan pembalut untuk sang istri. Namun, jangankan obat peredam nyeri, obat penghenti pendarahan, bahkan pembalut, sekadar makanan layak saja, Saka tidak bisa memberinya lantaran semua uang dipegang sang mama.
“M—MASSSSSSSSSS!”
Suara histeris Tia membuat Saka yang baru membaringkan tubuh sambil memejamkan mata, terusik. Nyawa Saka seolah dicabut paksa. Lebih-lebih ketika ia mencari sumber suara Tia dan itu di kamar mandi. Karena di lantai kamar mandi depan kamarnya, ada gumpalan darah sebesar genggaman tangan anak kecil. Selain itu, darah cenderung hitam juga menetes deras dari kewa*nitaan Tia. Daster yang Tia pakai juga sudah basah darah. Paha apalagi selang kangan Tia sudah berlumur darah.
Tia sudah tak karuan ketika Saka memapahnya. Antara hidup dan mati, itulah yang Tia rasakan. Kedua kakinya yang jelas masih menyentuh lantai, jadi terasa melayang. Keseimbangan tubuhnya jadi makin tak stabil.
“Apa sih, berisik banget, enggak tahu apa orang tua lagi sakit? Sudah mandul, enggak tahu sopan-santun!” omel ibu Santi yang sampai keluar dari kamar.
Ibu Santi lupa bahwa kini Saka sudah pulang. Saka bahkan tengah memapah Tia yang pendarahan parah. Ibu Santi yang melihat Tia jadi ngeri sendiri.
“Ma, ... Tia pendarahan parah, Ma. Mama ada simpenan uang, kan?” sergah Saka yang kemudian mengguyur sekaligus membersihkan kewani taan istrinya. Tia sudah gemetaran parah. Tubuhnya sudah sangat pucat sekaligus terasa dingin.
“Sudah lah ... tiduran bentar sama minum air hangat, pasti sembuh,” ucap ibu Santi yang dalam hatinya berpikir, “Jangan-jangan, pendarahan si Mandul, dampak IUD. Kalau enggak salah, pemakaian IUD bisa bikin pemakainya enggak pernah mens, atau malah mens berlebihan?”
“Mas ... tolong bawa aku ke rumah sakit, Mas. Gadaikan atau jual saja motorku, Mas! Aku enggak kuat, Mas!” mohon Tia yang berbicara saja mirip orang menggigil kedinginan. Kedua tangannya berpegangan pada punggung Saka. Sampai detik ini, Saka masih jongkok sibuk membersihkan kewanitaan Tia dari darah. Namun efek darahnya terus keluar, membuat Saka sibuk membersihkan.
“Apaan jual-jual motor. Motor itu kan sudah buat kerja Saka. Sudah, beli obat saja di apotek. Kalau tetap belum sembuh berarti kamu pura-pura!” semprot ibu Santi yang masih bisa Tia dengar dengan jelas.
Namun tak lama kemudian, Tia jatuh pingsan. Kepala Tia menghantam bak air. Saka yang refleks menahannya, jadi sibuk istighfar.
“Ma, tolongin, Ma!” heboh Saka sudah sampai menangis.
“Apaan sih, ... enggak usah lebay, Ka! Si Mandul cuma pura-pura!”
***
Keributan makin sering terjadi. Ibu Santi yang makin keterlaluan dan sudah terbiasa memanggil Tia Mandul. Sementara Saka yang terus meminta Tia bersabar. Awalnya Tia melawan, tapi Saka yang mulai lelah dengan hubungan mereka, tak segan menyinggung kemandulan Tia yang sudah membuatnya sangat sabar. Saka sampai menyinggung arti seorang ibu kepada anak, bahkan meski ia tahu, sang mama sama sekali tidak menghargai istrinya.
“Nanti kalau kamu punya anak, pasti kamu juga akan seperti mamaku. Sekarang kamu selalu menilai bu ruk mamaku karena kamu belum punya anak. Nantinya kamu juga akan sadar, betapa serba salahnya di posisiku, ketika anak kamu sudah menikah, Sayang! Sudah ya ... jangan dibahas lagi. Aku beneran capek,” ucap Saka kepada Tia.
Padahal, Tia hanya meminta motornya untuk digadaikan atau dijual sekalian. Motor selaku satu-satunya harta yang tersisa. Selain untuk modal usaha, Tia juga ingin berobat mengingat keadaannya makin renta. Terlebih sejauh ini, ia belum diberobatkan. Obat pereda nyeri dan penghenti pendarahan yang dibeli di apotek, menjadi andalan ketika ia sedang pendarahan.
Namun karena terus diminta bersabar, Tia berniat diam-diam menjual motornya. Belum lagi, meski selalu jahat kepadanya, ibu Santi selalu bersikap seolah dirinya pemilik motor Tia.
Kesabaran Tia ialah membiarkan ibu Santi berulah memberantakkan segalanya. Namun giliran waktunya Saka pulang, ibu Santi mendadak beres-beres. Puncaknya, ibu Santi juga memfitnah Tia yang ibu Santi kata hanya tidur dan makan. Saka marah dan memarahi Tia hingga keributan makin terjadi. Terlebih selain meminta Tia diam, ketika Tia diam juga tetap salah di mata Saka.