1. Restu
“Yatim piatu, asalnya dari kampung, sementara alasannya di Jakarta untuk merantau? Dia di Jakarta buat mengadu nasib? Intinya dia orang MISKIN, begitu?!” lirih ibu Santi kepada Saka sang putra. Ia sampai mendelik sedangkan giginya saling bertautan saking emosinya.
“M—ma, ... katanya alasan dia terdampar di desa atau kampung efek kecelakaan gitu loh. Terus dia amnesia dan dia enggak ingat apa-apa. Jadi, mau sebut dia yatim piatu dan–” Saka berusaha menjelaskan dengan suara lirih juga.
“INTINYA DIA MISKIN?!” sergah ibu Santi dengan suara yang naik drastis. Ia sengaja berteriak hingga membuat Saka sang putra langsung ketakutan.
Saka refleks berusaha membekap mulut sang mama, tapi ibu Santi segera menepis. “Jangan keras-keras, Ma. Nanti Tia dengar. Enggak enak ke dia. Aku sayang dia. Dia pekerja keras dan—”
“Intinya dia miskin!” teriak ibu Santi yang lagi-lagi memotong penjelasan Saka.
Saka menggeleng gelisah. Takut yang di ruang tamu, ruang pertama di kediaman mereka sampai dengar. Karena tadi, ia meninggalkan Mutia atau itu Tia, di sana. Wanita cantik berusia dua puluh lima tahun dan rencananya akan ia nikahi itu masih menunggunya.
Layaknya yang Saka khawatirkan, sang pujaan hati yaitu Tia, juga jadi terusik. Sebab dengan jarak keberadaan mereka yang tak ada lima meter, ibu Santi justru teriak-teriak layaknya orang kesurupan.
“Biarkan dia tahu! Kenapa? Takut dia tersinggung bahkan enggak mau nikah sama kamu? ALHAMDULLILAH!” sergah ibu Santi.
“Karena ketimbang dia, Mama jauh lebih berhak ke kamu. MAMA, ... MAMA yang melahirkan kamu! Mama yang besarin kamu dan mengurusmu penuh cinta hingga sekarang! Kamu Mama sekolahin hingga jadi sarjana. Jadi lulusan terbaik! Lah kok dapat wanita kampung miskin dan asal usulnya saja enggak jelas?” tegas ibu Santi makin geregetan.
“Jangan jadi anak durhaka kamu! Jangan karena dia, kamu lupa bahwa surga kamu ada di telapak kaki Mama!” tegas ibu Santi lagi.
“Minimal kalau enggak bisa dapat istri kaya, carilah yang sepadan. Masa setelah lepas dari Hara, kamu dapat sumber huru hara?”
“M–Ma ... Tia enggak begitu. Baru satu tahun di Jakarta saja, dia sudah bisa beli motor. Dia punya bisnis online, Ma. Untungnya lumayan gede!” yakin Saka.
“Segede apa? Memangnya satu jam bisa untung sepuluh juta?” sergah ibu Santi yang pada kenyataannya memang tidak setuju. Ia tidak rela jika Saka yang ia besarkan susah payah, lulusan sarjana terbaik di masanya, malah akan menikahi wanita miskin dengan latar belakang tak jelas.
Alih-alih tersinggung apalagi marah, Tia yang memang sangat cantik, jadi tersenyum geli. “Punten, Ibu Santi. Satu jam keuntungan tembus sepuluh juta, ... memangnya Mas Saka bisa segitu juga?” lembutnya sengaja memastikan kepada ibu Santi.
Ibu Santi langsung syok dan sempat refleks ketakutan. Hal yang juga terjadi pada Saka.
“S—sayang, ....” Saka buru-buru melangkah mendekati sang calon istri. “Tolong jangan diambil hati. Mamaku memang gitu. Maksudnya baik, kok!” yakinnya berbisik-bisik kepada wanita berkulit putih mulus dan sampai ia rangkul kedua lengannya. Kedua lengan yang sangat lembut karena kini, Tia memakai dress panjang warna kuning tanpa lengan.
Jika melihat fisik dan kecantikan Tia, sebenarnya ibu Santi ragu bahwa Tia hanya orang miskin yang juga yatim piatu. “Satu bulan, biaya perawatan tubuh kamu berapa?”
Ditanya begitu, kedua mata sangat jernih milik Tia langsung menatap yang tanya. “Saya bukan wanita yang suka perawatan Bu. Saya tipikal wanita yang hanya menghabiskan waktu saya untuk bekerja karena saya capek hidup miskin,” jelasnya santai.
“Jadi orang miskin kan enggak enak banget, Bu. Jadi orang miskin sering disepelekan. Buktinya tadi, barusan Ibu juga menyepelekan saya, kan?” lanjut Tia masih santai, tapi kali ini sambil bersedekap.
“Duh ... ini wanita kok gayanya kayak bos, sih?” batin ibu Santi yang merasa tersudut. Namun dengan segera, ia sengaja berkata, “Kenapa justru galakan kamu ketimbang saya? Kamu mau saya restui, kan?!”
Sambil menunggu balasan Tia, dalam hatinya ibu Santi berkata, “Andai usahanya beneran bagus, ... harusnya dia cukup bisa diandalkan. Namun ... enggak ... enggak. Jatuhnya tetap aib. Orang desa, miskin, yatim piatu. Apa kata orang apalagi teman-teman arisanku, kalau Saka hanya dapat wanita desa yatim piatu dan fix kismin, ... ah! No! Aku harus melakukan apa pun agar mereka berpisah! Masa Nilahara mantan Saka saja dapat pengusaha. Kok Saka yang serba bisa cuma dapat wanta desa?!”
Ibu Santi yang memiliki obsesi besar ke harta dan juga tahta yakin, andai ia menolak, yang ada ia justru kehilangan Saka. Dengan kata lain, dirinya harus main cantik.
“Iya, Bu. Saya ingin mendapatkan restu dari Ibu. Apalagi Ibu merupakan orang tua tunggal Mas Saka. Menikahkan anak laki-laki bukan berarti Ibu Akan kehilangan anak laki-laki kok Bu. Karena meski menikah membuat seorang suami bertanggung jawab penuh ke istri dan anak-anak mereka. Istri dan anak-anak wajib selalu diutamakan. Seorang anak laki-laki juga harus tetap berbakti meski mereka sudah menikah dan memiliki istri maupun anak,” santun Tia.
“Wah ... ternyata dia pinter ngomong. Dia bahkan enggak ada takut-takutnya ke aku. Ini serius, aku wajib main cantik!” batin ibu Santi yang kemudian langsung merenung serius.
“Tolong restui kami, Ma. Kalau setelah menikah, Mama enggak izinin kami tinggal di sini, kami siap tinggal di luar,” mohon Saka.
Karena Saka dan Tia tetap maju untuk melangsungkan rencana pernikahan, ibu Santi sengaja memberi syarat. Syarat yang sudah menjadi bagian dari rencana licik wanita berusia 54 tahun itu.
“Ini beneran kesempatan emasku!” batin ibu Santi sambil menghela napas pelan sekaligus dalam.
Efek karena rencana liciknya tergolong fatal bagi Tia yang menjadi targetnya, jantung ibu Santi jadi berdetak tak karuan. Saking kerasnya jantungnya berdetak, ibu Santi jadi keberisikan sendiri. Selain itu, keringat dingin juga mendadak mengalir lantaran rencananya sampai membuat suhu tubuhnya memanas.
“Ada apa dengan ibu Santi? Kenapa emosi dan ekspresinya berubah drastis khas orang ketakutan karena merasa bersalah?” pikir Tia yang merasa aneh sekaligus janggal pada perubahan ekspresi maupun emosi calon mama mertuanya.
“Kamu tahu, Saka merupakan anak tunggal. Jadi, dalam waktu dua tahun, Tia wajib hamil. Jika dalam waktu itu Tia tetap tidak hamil, dipoligami atau dicerai ... mana yang akan kamu pilih,” ucap ibu Santi yang tak berani menatap Tia. Baginya, Tia tipikal yang cerdik. Ia tak mau rencana liciknya sampai diketahui Tia.
“Baik, Bu. Saya siap!” tegas Tia tak gentar. Hingga di sebelahnya, Saka langsung tersenyum bahagia kemudian berbisik, bahwa calon suaminya itu jadi makin sayang kepadanya.
Ibu Santi segera pergi. Yang ditinggalkan langsung tersenyum bahagia bahkan saling rangkul. Padahal, alasan ibu Santi pergi justru untuk menjalani misi liciknya
“Klinik Mitra Sehat. Ini Ibu Santi temannya dokter Inne. Sore ini juga saya mau ke sana buat pasang IUD ya. Tapi ini rahasia karena anaknya teman saya yang mau pasang, pemalu banget. Mau KB yang aman dan awet, tapi malu bilang apalagi urusnya. Jadi, nanti tolong langsung diurus saja. Bilang saja buat cek perawatan kewanitaan. Dia langsung maksud kok. Berurusan sama orang pemalu gini kan serba salah ya Sus.” Dalam hatinya, ibu Santi yang masih mengobrol hangat dengan sang suster melalui sambungan telepon, berkata, “Yakin bisa hamil, sementara sebentar lagi, aku bakalan pasang IUD di rahim kamu, Tia si wanita desa yang mimpi jadi Cinderella makanya ngebet nikah sama pria kota?!”