Sore sudah makin petang, tapi Tia yang duduk di teras depan rumah masih terdiam merenung. Kedua matanya menatap nanar kebun sayur dan juga sedikit buah di hadapannya. Cabai, tomat, bayam, kangkung, pare, oyong, timun suri, dan juga semangka, tertanam subur di sana.
Di depan rumah Saka, di antara beberapa pot bunga memang Tia isi dengan kebun sayur dan buah. Terhitung sejak satu tahun terakhir, Tia memanfaatkan kantong maupun wadah bekas untuk menanam aneka sayuran dan buah. Agar dirinya tak sampai kekurangan gizi, atau minimal, agar dirinya tidak kelaparan. Kerena menggunakan sayur maupun buah yang Tia tanam, Tia menyambung hidup. Selain itu, Tia juga memiliki dua kolam berisi lele dan belut, di depan kebun. Kedua kolam tersebut Tia kelola dengan baik hingga hasilnya turut bisa Tia nikmati.
Tanpa terasa, satu setengah tahun telah berlalu. Pernikahan Tia dan Saka sudah berlangsung selama itu. Selama itu pula, Tia masih diwajibkan menjadi istri yang baik. Tia masih harus menjaga ibu Santi, selain Tia yang masih rutin meminum obat peredam nyeri sekaligus penghenti pendarahan. Karena selama itu juga, Tia yang belum bisa berobat, belum hamil.
Ibu Santi tetap dengan keputusannya. Bahwa dirinya baru akan memberikan gaji Saka kepada Tia, setelah Tia hamil. Karenanya sampai detik ini juga, Tia belum memegang gaji atau setidaknya merasakan uang hasil jerih payah suaminya. Jalan hidup Tia sungguh berbeda dari para istri di luar sana.
Terlepas dari semuanya, bayang-bayang kejadian aneh di ingatan Tia, terus berseliweran. Hanya saja, Tia merasa sangat asing pada adegan tersebut. Adegan kapal pesiar mewah, hamparan laut, juga pemandangan matahari tenggelam di antara suasana senja yang ada di lautan.
“Aku rasa, wanita di ingatanku memang aku. Namun dia terlalu cantik. Sementara apa yang terjadi lebih mirip adegan film romantis,” pikir Tia.
Yang Tia maksud masih bayang-bayang di ingatannya. Bayang-bayang mirip adegan sebuah film hitam putih. Juga, bayang-bayang menjadi hadir tak lama setelah kepalanya menghantam bak air. Kejadian ketika Tia pingsan akibat pendarahan hebat, untuk pertama kalinya.
Deru suara motor terdengar mendekat dan berhenti di depan sana. Bukan hanya Tia saja yang terusik karena suara motor tersebut khas dengan suara motor milik Tia yang sampai detik ini masih dipakai Saka. Karena ibu Santi yang masih pura-pura sakit juga buru-buru bersiap.
“Si Saka pulang. Aku harus pura-pura sibuk. Ember dan lap pel sudah siap, tinggal beraksi,” ucap ibu Santi.
Ibu Santi tak hanya memakai sweater dan syal, tapi juga menempel kedua pelipis, dahi, dan juga kedua sisi leher, menggunakan koyo. Ibu Santi sampai memiliki banyak stok koyo demi kelancaran sandiwaranya. Sebab dirinya hanya akan memakainya ketika akan berhadapan dengan Saka, layaknya sekarang. Dan andai sudah tidak bersama Saka, ibu Santi akan buru-buru melepas setiap koyonya. Ibu Santi tak tahan karena rasanya terlalu panas.
Di depan teras rumah, Saka baru saja meninggalkan motornya. Saka menenteng sebuah tas kerja warna hitam. Tia memang menyambut kepulangan sang suami dengan senyum hangat, tapi hatinya terasa sangat pedih.
Sekujur tubuh Tia terasa ngilu, hingga Tia yang meski diam, jadi kesakitan. Cairan hangat juga menjadi sibuk berusaha mengalir dari kedua ujung matanya. Padahal, ia baru berhadapan dengan sang suami, belum terjadi apa pun, apalagi keributan akibat kelicikan ibu Santi.
“Assalamualaikum ...?” sapa Saka layaknya pasangan romantis pada umumnya.
Asal tidak ada mamanya, Saka memang akan sangat baik sekaligus perhatian kepada Tia. Terlebih pada kenyataannya, Saka memang bucin kepada Tia
“Waalaikumsalam,” balas Tia sangat santun sambil menyalami tangan kanan sang suami, tak lama setelah ia mengambil alih tas kerja Saka.
Dari dalam rumah, ibu Santi yang sudah mirip orang terlalu waras, mengendap-endap dengan agak berlari. Ibu Santi langsung kecewa bahkan murka, ketika dirinya keduluan Tia.
“Si Tia kelakuannya memang, ... sabar, sabar ... setengah tahun lagi dia pasti out dari sini. Eh, tapi bentar ... kok wajah Tia serius sedih gitu. Kira-kira dia ngomong apa, ya?” pikir ibu Santi langsung penasaran.
Ibu Santi segera menguping. Ia begitu penasaran karena tampaknya, Tia seperti sangat terluka. Tia terlihat begitu berat mengabarkan kepada Saka. “Jangan-jangan dia kembali memfitnahku? Jangan-jangan, IUD dia lepas dan aku terancam ketahuan. Padahal harusnya dia belum periksa ke dokter apalagi ke rumah sakit. Harusnya IUD-nya masih terpasang,” pikir ibu Santi yang memang akan selalu ketakutan akibat kelicikannya memasang IUD di rahim Tia.
Ibu Santi sengaja bersembunyi di balik pintu ruang tamu dirinya berada, selaku ruang pertama setelah pintu masuk. Dari sana, dirinya sengaja menguping.
“Aku serius, Mas. Aku mau cerai saja. Aku mau pulang kampung, dan memulai lembaran hidup baru di sana. Siapa tahu, ... ada pihak keluargaku yang cari ke sana,” ucap Tia berat dan memang tak berani menatap kedua mata Saka.
Jangankan menatap, mengucapkan permintaannya saja, Tia melakukannya sambil berlinang air mata. Rasanya terlalu menyakitkan. Menjadi menantu yang tak diharapkan. Selalu ada saja cara yang ibu Santi lakukan untuk melukai bahkan menyingkirkannya. Sayangnya Saka tak pernah memihaknya. Padahal menikah dengan Saka, Tia harapkan mampu membuatnya memiliki sosok yang bisa diandalkan. Sosok yang bisa menjadi rumahnya. Bukan malah sosok yang setiap saat hanya bisa mengekang.
“S–sayang ...?” sergah Saka langsung kacau sekaligus berkaca-kaca. Ia terus menunduk dan berusaha menatap kedua mata Tia.
Tanpa terlebih dulu menyeka air matanya. Apalagi air matanya juga terus berjatuhan, Tia sengaja menengadah menatap kedua mata sang suami. Namun tanpa keduanya sadari, ibu Santi justru langsung kegirangan setelah mendengar Tia meminta cerai. Ibu Santi sampai jingkrak-jingkrak saking girangnya.
“Aku memang mencintai Mas. Aku sayang banget ke Mas! Karena andai enggak, aku juga enggak mungkin bertahan sampai sekarang!”
Kedua tangan Saka berangsur menahan erat kedua lengan tangan sang istri. “Sayang, kamu juga tahu, kan, bahwa aku sayang banget ke kamu?” ucapnya dengan air mata berjatuhan membasahi pipi.
Mendengar itu, Tia berangsur mengangguk-angguk. “Iya, Mas. Aku tahu, ... tapi aku enggak mau mengambil Mas dari mama Mas. Apalagi pada kenyataannya, aku juga sadar bahwa mama Mas enggak menyukai aku.”
“Enggak Sayang ... enggak. Aku enggak mau. Aku enggak bisa tanpa kamu. Aku enggak mau cerai!” isak Saka tersedu kemudian memeluk istrinya.
Meski Saka sadar, sejak menikah Tia jadi lebih kurus. Tulang rahang Tia terlihat sangat menonjol. Begitu juga dengan tubuh Tia yang seolah hanya tinggal tulang. Meski untuk urusan kecantikan, Tia tetap cantik. Tia tetap melakukan perawatan tubuh secara alami. Baik melalui sayuran yang dikonsumsi, maupun masker wajah yang Tia buat sendiri.
Karena Saka tetap tidak may cerai, Tia menawarkan barter. Tia meminta Saka mengizinkannya bekerja jika memang Saka tidak bisa memberikan gajinya untuk Tia bahkan itu akan Tia gunakan untuk periksa kesuburan mereka.
“Aku berpikir, ... makin cepat aku hamil, makin cepat juga mama Mas menerimaku. Karena dengan begitu, tuduhan mandul kepadaku enggak terbukti. Jadi andai aku kerja, aku bisa dapat uang buat pengobatan.elain aku yang bisa punya kehidupan layak. Apa lagi walau di rumah, lama-lama aku bisa punya kebun dan kolam yang hasilnya bisa buat sehari-hari,” ucap Tia.
Saka sadar, sirinya tak mungkin mengusik gajinya yang dipegang sang mama. Hingga mau tak mau, ia yang tak mau kehilangan Tia juga mengizinkan Tia bekerja.
“Maaf banget ya Sayang, ... aku benar-benar minta maaf. Ayo kita berjuang bareng-bareng!” ucap Saka yang kembali memeluk Tia. Kali ini ia melakukannya dengan jauh lebih erat.
Tia yang menaruh dagunya di pundak kiri Saka, berangsur mengangguk-angguk. “Alhamdullilah ya Allah, ... akhirnya setelah penantian panjang dan perjuangan berdarah-darah,” batin Tia benar-benar bersyukur. Ia juga balas memeluk punggung Saka tak kalah erat. Punggung yang ia harapkan akan selalu bersamanya, meski langkah mereka. “Semoga ibu Santi juga sadar ya Allah. Tolong lembutkan hatinya, tapi jika dia tetap keras, ... tunjukanlah azabmu!” batin Tia lagi yang merasa tak habis pikir kepada ibu Santi.
“Kalau begitu cara main kalian, dalam waktu dekat juga, aku akan mendekatkan Yusuf dengan wanita lain. Wanita yang tentunya sepadan bahkan bila perlu lebih kaya dari kami!” batin ibu Santi mantap dengan niatnya. Dirinya yang bermain lic ik sekaligus pelit karena makan saja menumpang ke hasil kebun maupun kolam Tia, begitu haus pengakuan, bahwa dirinya kaya.