“Mas, ... aku beneran hamil lagi dan ini anak Mas. Tolong nikahi aku lagi. Aku mohon, demi anak-anak kita, Mas!”
“Aku janji akan berubah. Aku janji, Mas. Aku beneran nyesel kenapa kemarin aku sempat selingkuh!”
“Walaupun kita sudah menikah dan masa idahku juga hampir habis, aku mohon tolong nikahi aku lagi, Mas!” Nilahara benar-benar memohon. Wanita berpenampilan seksi bertubuh semok itu sampai berlutut di hadapan pria berkulit sawo matang di hadapannya.
Namun, pria bernama Suseno yang Nilahara bujuk justru memberikan tanggapan muak. Suseno jadi makin sering menghela napas sambil melirik tajam wanita berkulit putih mulus di hadapannya.
“Selingkuhmu itu sudah jadi penyakit, La! Kamu terbiasa ngamar bareng laki-laki lain. Bukan hanya satu orang, tapi ganti-ganti! Banyaaak!” tegas Suseno.
“Enggak ke penginapan atau tempat wisata, di rumah ini, bahkan di pekarangan rumah ini, kamu ayo-ayo saja melakukannya dengan laki-laki yang bukan suami kamu!”
“Harusnya wanita seperti kamu dirajam sampai mat*i!”
“Sampai mati pun aku enggak akan pernah ikhlas kamu hidup tenang apalagi bahagia, setelah kamu menaburkan aib untuk keluargaku!” tegas Suseno lagi. Ia bahkan tak segan mendorong kepala Nilahara menggunakan kaki kanannya.
Padahal di sebelah Nilahara ada bocah perempuan dan kiranya berusia dua tahun. Berbeda dari penampilan Nilahara yang seksi, bocah perempuan tersebut justru berpenampilan kumal. Ingus saja ke mana-mana, dan tubuhnya pun terbilang kurus.
Bocah bernama Ziva tersebut merupakan putri Nilahara. Dulunya, Suseno sempat yakin bahwa Ziva merupakan anaknya. Namun setelah memantau kelakuan sang istri selama tiga bulan sebelum akhirnya ia mantap menceraikan, Suseno ragu.
Setelah mengetahui kelakuan Nilahara yang bahkan tetap bersandiwara seolah semuanya baik-baik saja tanpa adanya bang*kai, Suseno tidak yakin jika Ziva, putrinya. Karena Nilahara yang memang cantik, montok, menggoda, sudah terbiasa tidur dengan sembarang pria.
Mata cekung bertatapan tak berdosa milik Ziva menatap Suseno penuh minat. Tatapan seorang anak yang begitu dipenuhi kerinduan mendalam keada papanya.
Sebenarnya, Suseno tidak tega. Namun dirinya yang merupakan bos rental telanjur membenci Nilahara. Hingga semua yang berkaitan dengan Nilahara. Yang dengan kata lain, Ziva juga menjadi bagian dari kebencian Suseno juga.
Beberapa karyawan di kantor, masih kerap melirik kebersamaan di teras rumah bos mereka. Karena kebetulan, rumah dan kantor Suseno nyaris bersebelahan, tapi ada di pekarangan sana. Namun karena mereka tahu kasus rumah tangga Suseno, mereka juga tidak ada berani yang mengusik. Toh memang Nilahara yang salah.
***
Di tempat berbeda, di pagi menjelang siang yang sudah terik oleh sinar matahari, Tia tengah sibuk menyusun setiap barang di rak.
Setelah kesepakatan dengan sang suami yang menolak perceraian sebagai akhir dari hubungan mereka, Tia memang langsung mencari pekerjaan. Alhamdullilahnya, Tia juga langsung diterima bekerja di sebuah minimarket berkat bantuan Saka. Karena meski Tia tak memiliki ijazah, kemampuan berhitung Tia tidak diragukan. Bahasa Inggris maupun kemampuan komputer Tia mirip lulusan sarjana berprestasi. Namun karena bantuan dari Saka tersebut pula, ibu Santi jadi ketar-ketir. Karena sampai sekarang, meski dua minggu sudah berlalu dan berarti sebentar lagi Tia juga akan gajian, niat ibu Santi mendekatkan Saka dengan wanita lain, belum terwujud.
Meski sudah bekerja, Tia akan selalu merapikan rumah lebih dulu, sebelum dirinya berangkat kerja. Termasuk memasak untuk ibu Santi, Tia masih melakukannya. Sementara untuk berangkat dan pulangnya, jika jadwal Tia bentrok dengan jadwal Saka, Tia akan naik ojek atau malah jalan kaki untuk menghemat ongkos.
Sekitar satu jam kemudian, mobil Suseno memasuki tempat parkir di depan minimarket Tia bekerja. Suseno membeli beberapa kebutuhan termasuk perlengkapan cuci mobil. Awalnya ia hanya ingin menanyakan stok pewangi mobil. Namun karena yang Suseno tanya justru Tia yang memang memiliki wajah cantik bersahaja, jiwa nak*al Suseno langsung meronta-ronta.
Suseno sengaja membuat Tia sibuk membantunya. Karena dengan begitu, Suseno bisa melihat wajah cantik Tia dengan leluasa. Beres mencari barang satu, Suseno yang sangat menjaga penampilan, akan meminta dicarikan barang lain. Untungnya saat ini minimarket sedang tidak begitu ramai. Hingga Tia tidak begitu kewalahan. Sebab kenyataan Tia yang masih kerap pendarahan akibat efek IUD, membuat Tia tetap bekerja sambil menahan sakit.
Sebuah kartu nama Suseno berikan kepada Tia tak lama setelah Tia. Tia baru beres mengisi dua keranjang jinjing milik Suseno dengan tisu kotak kering.
“Boleh minta nomor WA–nya?” lembut Suseno menatap penuh binar wajah minim rias milik Tia. Biasanya setiap wanita yang ia dekati langsung membalas, memenuhi harapannya. Namun khusus Tia, dirasanya agak lain. Baginya, Tia terlalu datar.
Rambut panjang lurus kecokelatan milik Tia, disanggul rapi. Dan itu membuat Tia terlihat sangat anggun di mata seorang Suseno yang kini sudah hampir genap berusia empat puluh tahun.
Namun karena Tia hanya menatapnya penuh terka, Suseno berkata, “Hubungi saya jika kamu butuh apa-apa. Apa pun, saya akan selalu ada buat kamu selama dua puluh empat jam!”
Mendengar itu, Tia refleks menggeleng. “Maaf, Pak. Saya tidak memiliki ponsel apalagi WA, selain saya yang memang sudah menikah. Mohon maaf, saya izin permisi jika memang tidak ada yang perlu diurus lagi.” Tia pamit dengan sangat santun. Ia membungkuk hormat meninggalkan Suseno yang tampak kecewa karena balasannya.
“Masa sih, dia sudah menikah dan otomatis punya suami? Dari tampang saja masih kayak anak kecil gitu. Mirip anak SMA yang beneran lugu. Aku percayanya, dia baru lulus SMA langsung kerja. Terus, memang enggak punya hape dan sudah menikah, apa hanya mengetes kesungguhanku? Dia mau aku kejar-kejar dia, apa bagaimana?” pikir Suseno jadi berpikir keras. Karena tak biasa ya, ia sampai ditolak. Baginya ada yang aneh atau malah tidak beres, jika dirinya sampai ditolak.
Suseno sungguh tidak menyerah. Ia sengaja mencari tahu ke kasir laki-laki yang sedang bertugas. Setelah dirinya menyog.ok pria berusia dua puluh sembilan tahun tersebut menggunakan sejumlah uang, akhirnya Suseno merasakan apa itu patah hati mendalam. Sebab informasi yang ia dapatkan memang membenarkan pengakuan Tia. Bahwa wanita cantik dan sempat ia kira baru lulus SMA itu, memang sudah menikah dan memiliki suami bernama Saka.
“Cantik, santun, kalem, sumpah aku ingin dia jadi istriku! Rebut saja apa, ya? Toh sudah punya suami, masa hape saja enggak punya. Si suaminya pasti miski*n banget. Harusnya aku bisa dengan sangat gampang bikin dia berpaling dari suaminya. Cukup aku kasih perhatian dan banyak hadiah. Kalau memang tetap enggak mau ya sudah aku paksa saja. Toh setelah menikah, aku bakalan sayang-sayang sekaligus bahagiain dia!” batin Suseno masih ada di depan kasir. Matanya masih aktif mengawasi Tia. Di lorong tengah, Tia sedang mengisi stok deterjen pakaian.
Minimarket di sana memang tipikal serba ada. Makanan berat sejenis nasi hangat, donat dan roti lainnya juga ada. Termasuk kopi, seharian ini saja Suseno sengaja menjadikan semua makanan maupun minuman di sana sebagai alasannya kembali. Padahal tentu, alasannya kembali ke sana karena Tia.
Di lain sisi, kesibukan Tia bekerja membuat ibu Santi makin kebingungan. Ibu Santi terlalu takut ulahnya memasang IUD di rahim Tia, ketahuan.
“Ya Allah ... sebagai seorang ibu yang sangat menyayangi anak, hamba berharap Saka tidak pernah berjodoh dengan Tia. Lebih baik seumur hidup Saka susah, asal Saka tidak bersama Tia lagi. Bahkan hamba rela seumur hidup kami susah, asal Tia enggak pernah ada dalam kehidupan kami lagi!” batin ibu Santi sambil melangkah ke taksi online yang ia pesan.
Ibu Santi lupa bahwa doa seorang ibu sangat mujarab untuk anak-anaknya. Kebenciannya kepada Tia sungguh membutakan kehidupannya. Padahal meski sudah ia sakiti, Tia tetap mengabdi. Tia tetap menjadi istri bahkan menantu yang baik di rumahnya. Namun semua itu tetap tidak mampu menyentuh hatinya. Karena jangankan merasa tersentuh, memperlakukan Tia dengan manusiawi saja, ia tidak sudi. Bahkan sekadar niat, benar-benar belum ada dalam kamus kehidupan seorang ibu Santi.
“Ngapain harus menghargainya, meski andai aku jadi Tia, aku juga enggak kuat? Tia saja yang gob.log. Ngapain juga dia enggak minggat saja meski Saka enggak mau cerai? Harusnya Tia sadar, sampai aku mati pun, aku enggak akan merestuinya jadi menantu. Kecuali kalau ternyata dia mendadak kaya. Menciu.m kakinya pun, aku mau!” batin ibu Santi yang memang sangat membenci Tia.
Hari ini ada jadwal arisan. Ibu Santi sudah tampil dengan penampilan terbaik. Bukan hanya pakaian bagus, rambut rapi dan rias epik. Karena ibu Santi yang langsung tak lagi pura-pura sakit juga memenuhi kedua tangannya menggunakan gelang keroncong. Lehernya juga tak luput dari kalung besar. Termasuk jemari tangannya yang nyaris semuanya memakai cincin emas.
Gaji Saka yang terbilang besar dan dikuasai oleh ibu Santi menjadi alasan ibu Santi bisa membeli banyak barang maupun apa yang ia mau. Sebab setiap bulannya saja, ibu Santi selalu membeli perhiasan baru.
Bersamaan dengan mobil yang mengantar ibu Santi berhenti di depan gerbang sebuah rumah sederhana berlantai dua, mobil yang mengantar Nilahara juga berhenti di sebelahnya. Kebetulan, rumah yang ibu Santi datangi merupakan rumah orang tua Nilahara. Rumah yang terbilang setara dengan rumah ibu Santi. Karena keberadaannya saja, sama-sama di kompleks menengah. Lebih kebetulannya lagi, di masa lalu Nilahara pernah pacaran dengan Saka. Boleh dibilang, Nila hara ini merupakan mantan terindah Saka. Lebih tepatnya, diputuskan oleh Nilahara membuat Saka bersama Tia.
“Ih Hara ...? Apa kabar?” Sapa ibu Santi yang sebenarnya langsung risih dengan keadaan Ziva. Masa Nilahara sangat rapi, montok menor, tapi anaknya sangat tidak terawat.
“Tante Santi ...,” hangat Nilahara membalas ibu Santi. Mobil yang membawa mereka sudah sama-sama pergi. Sementara alasan Nilahara bersikap manis ke ibu Santi, murni karena demi cari perhatian.
Lagi-lagi Nilahara membiarkan putrinya kewalahan menyusulnya. Setelah tadi, Ziva sampai jatuh saat turun dari mobil lantaran balita itu harus melakukannya sendiri. Sebab sang mama terlalu sibuk sendiri. Tadi Nilahara sibuk dengan ponsel. Sementara kali ini, Nilahara sibuk mengobrol hangat dengan ibu Santi yang sebelumnya sampai disalami dengan sangat takzim.