"Hempaskan aku sampai ke dasar bumi saat kalian aku terlalu melambung tinggi sampai melupakan. "
~Arial~
Chika sudah terlebih dahulu melesat melewati pelataran luas dan masuk ke dalam rumah. Gadis itu benar-benar sangat kesal pada kakaknya, siapa lagi kalau bukan Arial Bima Pradipta. Lelaki yang selalu bersikap dingin terhadap adiknya meski siap untuk menjaganya agar tak tergores sedikitpun dari semua yang akan menyakitinya.
"Papa!!!" pekik Chika sepanjang ruang tamu.
Seorang pria paruh baya nyaris tergopoh-gopoh menghampirinya. "Kenapa, sih, teriak-teriak?" tanya Iskandar.
Chika segera berlari memeluk Papanya. Menumpahkan segala kekesalan dan air matanya di dalam pelukan hangat sang Papa. "Kak Arial tuh!" tunjuk Chika kesal pada Arial yang baru saja masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
"Kenapa Kakak kamu?" tanya Iskandar meminta kejelasan pada anak bungsunya.
"Bilangin ke Kak Arial, masa ngomong sama Chika cuma hem-ham-hem. Nggak ngomong apa pun, apalagi ngajak ngobrol. Sekalipun ngobrol cuma sama temennya," adu Chika sesegukan menahan tangisnya.
Iskandar diam sejenak dan mendengarkan semua aduan Chika kepadanya.
"Aku ,tuh, ngerasa kayak gak punya Kakak, tau nggak?" lirih Chika tertahan.
"Iya. Nanti Papa bilang," balas Iskandar. Suaranya hangat dan menenangkan.
Chika mengangkat kepalanya. Derai air mata membasahi wajahnya.
"Lebih baik sekarang kamu mandi abis itu makan. Papa tunggu kamu di ruang makan," ucap Iskandar.
Chika mengangguk kemudian berlalu.
Arial yang sedari tadi hanya diam, kini mendapatkan perhatian dari sang Papa berupa tatapan mata yang sangat menusuk tepat di manik matanya. Arial siap memasang tembok pertahanan dan kuali besar penampung nasihat untuk menegurnya.
Pertahanan Arial perlahan runtuh. Tatapan Iskandar selalu dapat merobohkan pagar pertahanannya. Arial menundukkan wajahnya.
"Papa memang belum pernah melihat kamu memukul Chika. Tapi tidak sepantasnya kamu bersikap dingin kepada adikmu sendiri," ujar Iskandar penuh penekanan.
Arial mengembuskan napasnya dengan berat.
"Dan Papa lihat. Kamu ibarat orang yang tidak pernah mengenal adikmu," lanjut Iskandar. "Pantes aja kamu jomblo," tambah Iskandar sebelum pergi dari hadapan Arial.
Arial berdecak. Ia sangat membenci jika statusnya sebagai single mempesona harus hadir dari ucapan Iskandar. "Oke. Asal Papa mau ngasih modal," teriak Arial setelah mengumpulkan segenap napasnya untuk berteriak keras demi melihat reaksi Papanya yang merasa puas.
Iskandar menghentikan langkahnya. Tubuhnya berbalik dan menatap Arial dengan serius. "Kamu serius?" tanyanya memastikan.
"Papa ragu?" balas Arial yakin dan menatap Papanya dengan mantap.
"Oke," tanpa pikir panjang Iskandar menyetujui persyaratan Arial untuk memberinya modal mencari jodoh di usia muda. Bukan Iskandar jika setuju tanpa meminta timbal balik. "Asal besok kamu bawa calon pacarmu ke rumah," tuntut Iskandar.
"Nggak bisa, Pa. Besok Arial harus les," tolak Arial pasrah.
"Ya sudah kalo nggak bisa." Iskandar melenggang pergi menuju ruang makan.
"Pa! Yang tepat datengnya nggak cepat," pekik Arial di ruang tamu.
"Lebih cepat, lebih baik!" balas Iskandar tanpa menghentikan langkahnya.
"Biasanya yang cepat dapetnya nggak tepat, Pa!" pekik Arial lagi.
Iskandar tidak menyahutnya. Pria paruh baya itu sudah menghilang di balik tembok.
Arial mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Jauh di lubuk hatinya Arial memproklamasikan keinginan Papanya ingin segera memiliki menantu.
*
Kevin melempar lembaran foto yang baru saja ia cetak kehadapan Arial. Arial menatapnya dengan malas. Lain di dalam pikirannya, Arial berpikir keras menyetujui permintaan hatinya yang terus meronta untuk menyebutkan nama gadis konyol itu, Yunita Endryani. Arial berdecak kesal sendiri.
"Kayaknya lo harus nego halus ke bokap deh, Al," saran Angga hati-hati.
"Udah, ah. Capek gue!" rutuk Kevin kesal lantas merebahkan tubuhnya di atas lantai trotoar berlapis karpet anyaman pandan.
"Apa gue bawa si Nita aja, ya," celetuk Arial meminta saran pada dua sohibnya. Tapi jika diingat kembali sudah banyak cowok yang berkencan dengan gadis itu. Beberapa kali dia melihat Nita dijemput oleh teman laki-lakinya yang berbeda-beda. Ah, sudahlah! Mungkin mereka kerabat dekatnya.
Kevin langsung terduduk dari rebahan. "Cocok?" Ia menatap Angga dengan segenap jiwa dan raganya.
Angga mengangguk pelan. "Cocok," ulangnya merasa takjub lagi.
Sejenak di antara mereka hening. Kevin beralih menatap Arial. "Bilang ke kita kalo lo suka Nita," tuntutnya tidak main-main.
Seketika lidah Arial terasa kelu dan tubuhnya seperti kaku. Pertanyaan Kevin layaknya sengatan petir di siang bolong. Ia berusaha menenangkan diri. "Iya. Gue suka," ucapnya mengakui perasaannya yang tumbuh begitu saja sejak cewek itu bertanya dengan pertanyaan konyolnya.
"Cupu lo! Buru gebet!" pekik Kevin setengah mati gemas dengan cara Arial menyukai seorang gadis.
"Lelet lo!" komentar Angga ikut merasa gemas.
Arial menyandarkan punggungnya pada tembok trotoar. Tatapannya kosong menatap atmosfer di udara. "Dia kan udah ada yang ngegebet," balas Arial terdengar lesu.
"Selama Nita belum jadian sama tuh bocah. Lo maju terus dong, Bro!" ucap Angga dengan semangat yang berapi-api.
"Lagian gue nggak kenal sama dia. Ngapain suka?" lanjut Arial sontak membuat kedua sahabat oroknya nyaris menjambaki rambutnya sendiri hingga botak.
"Lah, lo suka sama dia dari segi apanya? Cantik? Elsa juga cantik kali. Baik? Elsa juga baik kali, meski kadang keterlaluan," sahut Kevin.
"Jangan-jangan lo jatuh cinta cuma karena Nita mau kenalan sama lo," duga Angga segera menyerbu jauh ke dalam pikiran Arial.
Arial mengingat kembali peristiwa konyol yang dialami gadis itu. Ketika itu Nita menjadi salah tingkah saat tatapan matanya dibalas dengan tatapan mata datar Arial.
"Cuma kenalan. Belum tentu mau diajak PDKT-an," cibir Kevin.
"Coba aja dulu," saran Angga santai.
Arial menganggukkan kepalanya paham. Sebuah ilham tersesat di dalam pikirannya, ia mulai mengerti harus melakukan apa demi keselamatannya dari terkaman buas Iskandar yang selalu menuntutnya untuk segera memiliki kekasih sekaligus untuk membersihkan nama baiknya dari dugaan homo tulen yang dengan teganya telah dinobatkan oleh Wulan.
Angin berhembus pelan. Membuat kepulan asap wedang ronde bergerak kesana-kemari. Angga menguap lebar, kedua matanya sudah benar-benar berair karena menahan kantuk. Sedangkan Arial terlihat seperti nokturnal yang sudah bersiap untuk melaksanakan tugas ronda keliling komplek. Dia menyeruput secangkir wedang ronde itu dengan pelan-pelan. Pikirannya masih melayang jauh memikirkan sebuah resiko besar yang harus ditanggung hatinya kelak.
"Ngapain lo nangis?" tegur Kevin menepuk bahu Angga cukup keras.
"Ngantuk gue," balas Angga tidak b*******h seperti baterai low.
Arial bangkit dari duduknya. "Balik, yuk," ajaknya kemudian.
Angga mengangguk lalu bangkit dan berjalan mendahului kedua temannya. Sedangkan Kevin memilih untuk setia menunggu Arial sampai selesai membayar tiga cangkir wedang ronde.
Jarak antara taman kota dengan komplek perumahan tiga serangkai itu hanya sekitar dua ratus meter. Mereka berjalan bersampingan. Tidak ada yang saling mendahului.
"Biarkan kita melangkah dengan sejajar," ucap Angga di sela-sela rasa kantuknya.
Arial hanya diam membiarkan Angga melanjutkan kalimatnya.
"Lo jangan berjalan di belakang, karena belum tentu gue bisa jadi teladan buat lo. Lo juga gak perlu berjalan di depan, karena belum tentu lo bisa jadi orang baik buat gue ikutin. Jadi intinya, kita berjalan saling bersampingan. Melangkah bersama. Sesat bersama. Bener bersama," lanjut Angga menguap lebar untuk kedua kalinya.
Arial merangkul kedua temannya dari samping. Menyalurkan energi hangat untuk kedua sahabat oroknya. Teman bermain hingga bertengkar untuk pertama kalinya. "Gue bersyukur punya sahabat kayak lo berdua," ucap Arial serius.
"Tumben ucapan lo ngehibur. Baru sadar, ya, kalo kita sabar?" balas Kevin tanpa pikir panjang.
Arial berdecih. "Minta dikasih t*i kuda ya, Vin," sahut Arial kemudian menatap Kevin sedatar papan tulis.
"Udahlah. Mending besok lo ajak si Nita makan siang bareng di warungnya Mang Koko," saran Angga menengahi kedua temannya yang mulai kembali cekcok mulut. "Tenang. Kita temenin," lanjut Angga santai.
Arial terdengar berdecak. "Kaku gue," akunya jujur.
"Lemesin, dong! Belajar sama adek lo. Diakan pinter nari, lemah lembut gulai," sahut Kevin terkekeh.
"Gemulai, Vin," timpal Angga membenahi ucapan Kevin.
Kevin terkekeh geli sendiri. Membayangkan gulai kambing ketika Idhul Adha. "Ya udahlah! Mau gimana lagi? Lo kan alergi cewek," celoteh Kevin kemudian. Ia menyadari kodrat Arial karena bisa termasuk kategori produk anti cewek sejak dalam kandungan.
Tawa Angga nyaris meledakan jika saja ia tidak buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia pun menyadari akan hal itu dan sekarang Arial sedang jatuh cinta?!
"Siap-siap aja lo dijatuhkan oleh cinta," bisik Kevin bijak.
"Nah!" dukung Angga mantap.
"Ngaco lo!" tukas Arial cepat.
"Eh, dibilangin juga sama yang tua," balas Kevin cepat.
"Yang tua, yang berpengalaman," tambah Angga sok bijak.
Arial berdecak. Kadang kedua temannya itu cukup berguna bagi anggota masyarakat yang kurang paham akan cinta.
*
Arial berjalan memasuki pelataran rumahnya. Begitu pelan ia membuka pintu jati berukiran rumit tersebut, sampai tak rela dengan sedikit suara yang timbul dari decitan pintu.
Namun, "Kok masuknya lewat pintu?"
BRAK!!!
Tanpa sadar Arial lepas dari kontrolnya. Decitan pintu yang ia jaga dengan hati-hati harus berubah menjadi gebrakan keras akibat jantungnya yang mendadak lompat ketika mendengar suara Iskandar. Arial memejamkan matanya berusaha menenangkan detak yang begitu cepat di jantungnya.
Otaknya seketika kalut. Iskandar sudah berdiri tegak di belakangnya dengan tatapan menikam meski kedua tangan pria paruh baya itu melipat di depan d**a dan terlihat santai.
"Astaghfirullah, Pa." Arial mengelus dadanya. Menenangkan jantung satu-satunya yang hampir lompat dari tempatnya.
"Maling kok istighfar," sindir Iskandar tanpa raut.
Arial mengernyit tidak paham. "Maling kok ganteng," balasnya kemudian.
"Keluar lewat jendela, masuk lewat pintu. Maling kan begitu," jelas Iskandar masih menatap Arial dengan tangan melipat di depan d**a.
"Anak Mama mulai bandel, ya," timpal Wulan datang menaruh secangkir kopi di atas meja.
Arial terdiam. "Abis ketemuan, Pa," jawab Arial asal. Ia mengeluarkan jurus pamungkasnya sebagai single mempesona.
"Ketemuan," ulang Iskandar tidak percaya. Salah satu alisnya terangkat tidak percaya.
"Emang ada yang mau ketemuan sama kamu, Al?" remeh Wulan dengan gemas.
"Banyak lah, Ma," balas Arial sombong.
"Siapa aja, Al?" tanya Iskandar ingin tahu lebih banyak.
"Banyaklah pokoknya, Pa," jawab Arial sok misterius.
"Bukan cowok, kan?" tambah Wulan memastikan anaknya normal wal'afiat.
Arial menaikkan kedua alisnya. "Menurut Mama?" Kemudian terkekeh kecil.
Wulan memicingkan matanya. Menatap Arial dengan curiga. Sebuah dugaan melintas di dalam pikirannya. "Paling nggak jauh-jauh sama Kevin dan Angga," ucap Wulan merobohkan pertahanan anak sulungnya.
Iskandar mendengus. "Ingat. Kalau besok kamu masih jomblo, Papa akan usir kamu," ucapnya tegas. Meski begitu, itu hanya sebuah gertakan penuh keisengan.
Mendengar penuturan Iskandar, napas Arial seakan berhenti di tenggorokan dan denyut nadinya berhenti seketika. Namun lain dengan Iskandar, pria paruh baya itu sedang tertawa keras-keras di dalam batinnya. Iskandar menutupnya dengan sangat rapi.
"Ya Allah, Pa," komentar Arial bergidik.
"Sudah sana masuk!" perintah Iskandar tegas.
Arial menurut. Bersama perasaan yang begitu aneh ia melewati ruang tamu dan ruang tengah kemudian berakhir di kamarnya.
***
Nita menolehkan kepalanya ketika terdengar dering ponsel. Satu pesan nampak di layar ponselnya. Nita duduk di atas permadani jingga.
Gilang: Hai, Nita.
Nita: Iya hai. Ada apa?
Gilang: Nggak apa-apa. Boleh nelepon?
Nita mengigit bibirnya lalu melihat ke arah jam digital yang bertengger di atas meja. Masih ada sisa lima belas menit menuju pukul setengah sebelas malam.
Nita: Boleh.
Tak lama kemudian ponselnya kembali berdering nyaring dan tertera nama Gilang di layar ponselnya.
"Hai," sapa Gilang di seberang telepon. "Udah mau tidur, ya," tambahnya.
"Nggak kok. Ini baru selesai ngerjain tugas," balas Nita santai.
"Besok gue jemput lo, ya," ucap Gilang terdengar istimewa.
"Kayaknya nggak bisa, deh. Besok gue berangkat bareng nyokap," tolak Nita halus, sehalus aspal di jalanan. Halus tapi menyakitkan.
"Oh gitu," komentar Gilang berusaha mengerti. "Sekarang lo lagi apa?" tanya Gilang mengalihkan pembicaraan.
"Ya, cuma duduk-duduk santai," jawab Nita datar. Rasa kantuk mulai memeluknya erat.
"Oke. Good night," balas Gilang tidak tahu harus membahas apa lagi karena waktu sudah mulai larut malam.
"Good night," sahut Nita ingin segera memeluk bantalnya.
"Sampai bertemu besok," tutup Gilang.
"Iya," balas Nita sebelum menutup teleponnya.
Nita segera merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya. Ia memejamkan matanya namun bayangan di pikirannya melintas begitu saja tanpa ijin. Nita kembali membuka matanya lalu menatap langit-langit kamar.
Senyuman di balik wajah datar membuatnya ikut tersenyum. Meski ia hanya melihatnya di kejauhan. Berawal dari sebuah senyuman permanen yang mengembang dengan tulus di antara kedua temannya membuat Nita merasakan desiran aneh di dalam tubuhnya. Ada rasa yang sangat ingin terbalaskan dengan cara yang indah.
"Lo nanya atau mau kenalan?" Suara itu begitu gaduh mengisi telinganya di tengah kantuk dan larutnya malam. Nita menyunggingkan senyumnya, betapa bodohnya yang ia lakukan pada laki-laki sedatar papan semacam Arial! Ia merasa telah menjadi gadis yang sangat konyol di hadapan Arial. Terlebih salah tingkahnya ketika harus bertabrakan dengan laki-laki itu siang tadi. Namun Nita cukup bersyukur saat Elsa datang bersama pekikannya yang sangat nyaring di telinganya karena membuatnya tidak harus berlama-lama membalas tatapan datar milik Arial yang dapat mempengaruhi kesehatan jantungnya.
Tatapan datar, tapi terlihat menawan. Ah, atau memang Arial yang begitu rupawan?
Cukup Nita! Nita berteriak di dalam hatinya. Ia berusaha mengenyahkan sekelebat bayangan yang kemudian singgah menemaninya sampai fajar tiba. Nita memejamkan matanya rapat-rapat, ingin segera menidurkan pikirannya.
Apa lo lagi jatuh cinta? Pikir Nita untuk dirinya sendiri, sesaat masih memandang langit-langit kamarnya.
Lo itu lagi ngantuk. Bukan lagi jatuh cinta! Lanjut Nita segera memejamkan matanya kembali.
Oke. Ini bukan jatuh cinta! Batin Nita yakin. Tapi rasa suka! Nita kembali membuka matanya untuk sekian kali. Eh, aduh! Keluhnya mengetuk-ngetuk kepalanya kesal sendiri.
Nita segera menumpukkan beberapa bantal di wajahnya. Ia masih berusaha untuk mengenyahkan kehadiran Arial di dalam pikirannya.
Rasa cinta datang begitu tiba-tiba. Sangat spontan hingga tidak ada persiapan.