PHY 07 - Awal Gelombang Rasa

2025 Kata
"Kadang kalo kelewat jaim soal rasa. Selalu bikin diri sendiri jadi gila." ~Angga~ Arial duduk santai di bangku panjang depan warung Mang Koko. Punggungnya bersandar pada tembok di belakangnya. Sementara kedua belah tengah heboh sendiri membicarakan hasil jepretan di kamera digital milik Angga saat di taman kota dua hari yang lalu. "Gila! Keren, nih!" seru Kevin heboh membuat beberapa mata menoleh dia. "Keren kan? Gue gitu, loh!" ucap Angga dengan bangga. "Halah! Gaya lo!" umpat Kevin. Angga berdecak. Kemudian berlalu begitu saja pada Arial yang sedari tadi diam tak bersuara dan hanya menatap udara dengan hampa. "Al. Menurut lo bagusan yang mana?" tanya Angga menunjukkan hasil jepretannya di kamera untuk dipajang dalam gedung pameran galeri fotografi. Itu pun jika lolos dalam seleksi. Sadar atau tidak Arial malah berucap, "Nggak tau. Gue kepikiran sama Nita." Kedua komunikasi langsung terbengong. Saling lempar tatapan penuh tanya dan takjub. "Gue nggak salah denger, kan?" tanya Kevin pada Angga. "Gue juga nggak salah denger, kan?" tambah Angga takjub. “Kuping gue bener, kan? Coba lo periksain, Ga,” pinta Kevin menyodorkan telinganya. Angga menurut lalu mengamati telinga Kevin. "Kuping lo normal, Vin," ucap Angga setelahnya. "Terus apa yang salah?" tanya Kevin rautnya begitu serius. Pandangan Angga beralih pada Arial dengan serius. "Lo jatuh cinta sama si Nita?" "Maksud lo?" tanya Arial tidak nyambung. Pikirannya sedang berkeliaran ke mana-mana. "Ya lo suka sama Nita!" jelaskan Kevin dengan gemas. Ia benar-benar ingin meruqyah Arial. Baru kali ini dia mendapati Arial tengah gila oleh sesuatu yang tak menentu. Seketika Arial menjadi kaku hanya karena pertanyaan kedua sahabatnya akibat pernyataan yang ia lontarkan tanpa sadar. "Ngomong apa, sih, lo?" Arial mengibaskan Gubernur lalu pergi. "WOYYYY !!!!!" teriak Kevin segera mengejar langkah Arial. Tidak lama kemudian Angga menyusul. "Lo kalo suka bilang aja. Nggak usah gengsi gitu juga kali!" cerocos Kevin setelah langkahnya seimbang dengan Arial. "Kenal aja nggak!" balas Arial malas. "Kita bisa bantu kok, Al," sambung Angga. "Lagian Nita sama tuh cowok yang kemaren ketemu di taman belum jadian. Mereka baru tahap PDKT-an," tambah Angga meyakinkan. Arial hanya diam dan semakin mempercepat langkah kakinya. Buru-buru ingin menghilang dari tatapan aneh para siswa yang berubah menjadi wartawan ghaib — enggan bertanya tapi ingin tahu. "Al," panggil Kevin mencoba langkah Arial. Bruk! Tepat saat Arial belok kanan seseorang menabraknya dan nyaris terjerembab. Rasa dingin menembus kemeja putih yang Arial kenakan berbarengan dengan tambahan warna cokelat pada kemejanya. "Ma-maaf gue nggak sengaja," mohon cewek itu menatap Arial dengan penuh rasa salah. Arial hanya menatap Nita dengan datar. Keadaannya benar-benar bingung. Arial ingin memarahi Nita meski di sisi lain ada rasa yang sangat melarangnya untuk meluapkan amarahnya. Gadis itu terlihat sangat menyenangkan. "Bi-biar gue bersihin." Nita mengambil sapu tangan dari saku rok abu-abu selututnya. Namun Arial mencegahnya, untuk segera menghalau gerakan tangan Nita yang siap untuk membersihkan kemejanya dengan sapu tangan merah yang digenggam cewek itu. Tatapan mata Arial menatap Nita dengan lekat. Menembus manik mata indah yang sempat membuat tersihir. Seketika oksigen di atmosfer sekitar Nita terasa semakin tipis. Tatapan Arial yang begitu tajam sangat cepat menguras oksigen di dalam kantung paru-parunya. Rasanya Nita benar-benar ingin terjun payung saat ini juga. "ARIAL!!!" teriak Elsa begitu terkejut membuat Arial tersadar. Setenang mungkin cowok itu mengambil sapu tangan milik Nita lalu membersihkan kemejanya sendiri. "Gue pinjem dulu," ucap Arial segera berlalu. Cuek dengan tatapan mematikan dari Elsa. Kevin dan Angga saling melempar tatapan penuh takjub untuk kedua kalinya. Lalu segera menyusul langkah Arial yang dirasa semakin cepat bahkan hampir setengah berlari. "Awas lo, ya. Kalo berani deketin Arial!" ancam Elsa kejam. Menunjukkan telunjuknya tepat di depan wajah Nita. Ma-maaf, sahut Nita merasa ngeri sendiri. Elsa berlalu sambil menghentak-hentakkan kakinya, dengan kesal ia meninggalkan Nita di tempatnya berdiri. *** Arial menatap dirinya di cermin besar. Bel sudah berbunyi sejak dua menit yang lalu. Tapi sisa-sisa dari minuman cokelat milik Nita masih setia yang menempel pada kemejanya. Menambah kolaborasi warna yang sangat dibencinya. Begitu kotor. "Al." Kevin berjalan mendekat. Toilet siswa mulai sepi pengunjung. Arial masih membersihkan kemejanya, sampai malas menolehkan wajahnya pada Kevin. "Lo kalo suka nggak usah gengsi gitu, dong!" lanjut Kevin. "Ntar keburu diembat orang, baru tau rasa, lo!" tambah Angga berkacak pinggang. "Vin, minta tolong tolong buat beliin kemeja putih di kopsis," ucap Arial mengalihkan pembicaraan. "Nggak mungkin gue masuk kelas pake kemeja putih blasteran pramuka," lanjutnya berusaha menghilangkan yang selalu membuat jantungnya seperti sedang senam aerobik tanpa henti. Kevin berdecak kesal. Tangannya berkacak pinggang dan menatap Arial. "Nih, duitnya." Arial memberikan uang lima puluh ribu pada Kevin. Dengan sangat pasrah Kevin menurut dan berlalu. "Ga. Lo masuk aja duluan. Sekalian bilang ke Bu Nova kalo gue bakal telat masuk kelas sekitar sepuluh menit," ucap Arial memberikan tugas pada Angga. Angga mendengus sebal, lantas menuruti saja kemauan sahabatnya. Demi keselamatan aman yang dilindungi. Kini di toilet murid laki-laki hanya ada Arial dan bayangannya di cermin. Tanpa sadar Arial menyunggingkan senyumnya. Sesuatu seperti telah membuka pintu hatinya meski tanpa kunci. He Tuhan sedang asyik membolak-balikkan hatinya dalam urusan cinta. *** Arial pintu gerbang lokernya rapat-rapat, setelah memasukkan kemeja, p*****r pramukanya kemudian menuju kelasnya. Sesampainya di kelas Bu Nova menyambutnya dengan sebuah pemberitahuan bahwa anggota esktrakurikuler keranjang harus berkumpul di ruangan serbaguna alias aula. Arial udah harus rela meninggalkan sekitar satu jam pelajaran. Di aula ada Pak Rahmat yang sedang asyik Berbicara di depan murid asuhnya. Menjelaskan tentang pertandingan yang hanya tinggal satu bulan lagi. Tanpa rasa canggung Arial masuk dan memberi salam, tanpa basa-basi lagi Pak Rahmat dan murid didikannya menerima salam sejahtera dari Arial. "Meski sudah satu tahun kalian berlatih. Bapak harap kalian lebih giat lagi berlatih, karena sekolah kita sudah sangat dikenal sebagai jawara basketball se-Jabodetabek," mohon Pak Rahmat. "Pak." Deden mengangkat satu Pak Rahmat menoleh ke arahnya. "Untuk cadangan kami kurang dua orang," lapornya kemudian. "Untuk cadangan sudah Bapak persiapkan," jawab Pak Rahmat santai. Pak Rahmat adalah pelatih paling handal di SMA Dewantara. Tapi beliau tidak ingin dipanggil pelatih dengan alasan tumpukan sederajat dengan guru-guru lainnya di SMA Dewantara. "Arial," panggil Pak Rahmat. Arial mengangkat. "Kamu sebagai kapten, Bapak harap dapat mengoordinasikan tim ini," pesan Pak Rahmat. Arial mengangguk sanggup. "Siap Pak." "Dan untuk kalian semua, jaga kekompakan tim, jangan egois, jaga satu sama lain antar anggota tim," lanjut Pak Rahmat sebelum menutup rapatnya bersama siswa tangguhnya. "Siap Pak!" sahut mereka berbarengan. Pak Rahmat keluar dari aula bersama para siswa tangguhnya, prajurit pejuang pertandingan basket. Tapi Kevin, Angga dan Arial masih duduk menetap di tempatnya. Kevin menepuk bahu Arial. Duit lo tadi kurang selawe, "ucapnya penuh perhitungan. Arial meraih uang berwarna hijau dan cokelat muda dari saku celana abu-abunya lalu memberikannya pada Kevin. "Perhitungan banget lo sama temen," oceh Angga. "Ya kali, kalo gue ikhlas mau balik pake apa?" sahut Kevin menerima uang dari Arial. Biasanya juga lo nebeng ke si Eike, balas Arial. Kevin berdecak. "Eike mulu! Lo suka sama si Eike ?!" cerocosnya kesal. "Maaf. Selera gue nggak serendah selera lo." Arial tertawa. Kevin mendengus dingin. Ingin meremas wajah Arial sampai menjadi cilok goreng. "Serah lo!" Melihatnya Angga terkekeh geli. "Perhitungan bener lo sama temen. Kere, ya." Suara itu terdengar sangat dekat meski dengan berbisik. Merasakan terpaan hangat napas di telinganya, lalu dengan berang Kevin menoleh. "Ngajak ribut, lo ?!" sentak Kevin pada Adit. Arial segera menghalau Kevin yang tak segan untuk mencengkram kerah kemeja putih Adit dengan yang terbaik. "Udah, Vin." Arial menarik Kevin menjauh dari Adit. Biarin aja, tambah Arial dengan sabar. Angga bangkit dari duduknya lalu menarik Kevin dan Arial keluar dari aula sekolah. Membiarkan Adit tertawa sendiri di tempatnya. "Lagian lo nggak malu, apa ?! Nggak bisa berantem, ngajakin berantem," bisik Angga pelan. Kevin berdecak. "Dia, tuh, nggak bisa didiemin kayak gini terus!" geramnya. Arial tertawa kecil. “Cuekin aja kali. Nggak usah lo denger,” ucapnya. "Lo, sih, gampang! Nah, gue ?!" balas Kevin. "Bodo, ah!" serah Arial mempercepat langkah kakinya. "Eh, Al!" panggil Angga segera mengejar langkah Arial sambil berfokus Kevin. *** Bu Nova menoleh saat pintu kelas dibuka Arial. Setelah mengucapkan salam sejahtera, tiga pemuda itu masuk ke dalam kelas yang dibalas dengan Bu Nova yang mempersilahkan mereka untuk segera duduk di tempatnya masing-masing. Arial duduk di bangkunya. Ia mengembuskan napasnya perlahan, menenangkan pikiran yang sempat berkecamuk tidak karuan. Gilang memang sepupunya. Namun cowok itu selalu membencinya. Yang pasti Arial sangat ingat ketika Lidya — Mama Gilang — meninggal dalam sebuah peristiwa kebakaran dan menyebabkan dua korban meninggal dunia dan lima luka-luka termasuk dirinya. Namun, tindakan Adit untuk ikut membencinya terlalu ikut campur dalam menangani keluarga Gilang. Arial mengambil buku pelajaran dari dalam tas. Ia sempat mengikuti pelajaran. Arial memutar tubuhnya ke arah Juno. "Jun, nulis nggak lo!" tanya Arial langsung. "Nulis, tapi bentar gue lagi ngitung," jawab Juno matanya masih fokus pada buku catatannya. Arial hanya mengangguk. Menunggu Juno selesai menghitung soal kimianya. *** Bel pulang berbunyi dengan nyaring sekaligus melegakan hati para siswanya. Empat jam belajar pelajaran kimia di jam terakhir memang cukup menguras tenaga dan bahasa di dalam otak. "Arial," panggil Elsa. Arial langkahnya. Ia enggan membawa kepalanya dan hanya menunggu Elsa berjalan mendekatinya. "Gue mau minta tolong tolong sama lo. Boleh, ya," ucap Elsa sesampainya di samping Arial dengan setengah memohon mulai merajuk manis. Arial mengembuskan napasnya perlahan. "Laki-laki," balasnya sungkan. Arial mohon, mohon Elsa enggan untuk ditolak. Arial menggeleng tegas. "Kali ini aja, Al," paksa Elsa menggerak-gerakkan tangan Arial. "Ck!" decak Arial menarik perhatian. Arial, mohon, ucap Elsa tetap keukeuh. "Terserah lo!" balas Arial dingin dan segera berlalu. Elsa mengejar langkah Arial dengan setengah berlari. "Arial, kok terserah, sih ?!" protes Elsa tidak puas. Arial hanya diam melenggang cepat. "Arial!" panggil Elsa menggelegar. Lalu langkah langkahnya dengan pasrah. "Dua tahun yang sia-sia, ya," ucap Gilang muncul di belakang Elsa dengan tiba-tiba. "Nggak kayak drama Korea yang selalu lo tonton," tambah Gilang terkekeh geli. Elsa membalikkan tubuh kemudian menatap Gilang dengan berang. "Diem lo!" sentak Elsa menahan malu sekaligus meluapkan kekesalannya. Ia segera berlalu menuju parkiran di sudut sekolah. Gilang tertawa penuh kemenangan. Matanya mengikuti langkah kaki Elsa hingga menghilang di balik belokan menuju koridor utama. *** Angga duduk di sebuah bangku panjang di sisi lapangan paving blok. "Rebound! Rebound!" Teriaknya asyik memperhatikan Kevin bermain basket bersama Juno. Kevin me-reabond bola ke arah Juno. Namun, TERJADI! Arial datang dan berhasil menangkap bola dari Kevin kemudian slam dunk disusul dengan teriakan kaum hawa yang merasa takjub. Kemeja putih yang terlepas dari ikat pinggang di celananya kaos dan celana dalam yang ia kenakan, semakin berhasil membuat kaum hawa berteriak serta menggila saat melihatnya hingga rela melakukan kepulangannya sampai aksi yang dilakukan Arial selesai. "Si jomblo. Ngerusak suasana aja lo!" rutuk Kevin memilih duduk di samping Angga. “Santai, Bro! Santai,” Angga menepuk-nepuk bahu sahabatnya. Arial tertawa sendiri lalu menelusuri kedua. "Gila lo! Beli kemeja buat gue kayak gini amat!" protes Arial menunjukkan kemejanya yang nampak kekecilan pada Kevin. “Bodoamat! Stoknya abis. Untung masih ada,” kesal Kevin. Arial berdecak sebal. Namun hampir semua ponselnya terlonjak kaget dari duduknya. "Siapa?" tanya Angga ingin tahu. Kepalanya sedikit menodong menatap Arial dan ponselnya. "Adek gue," jawab Arial singkat sambil mengangkat telepon dari Chika. "Ada apa?" tanya Arial menyebalkan. Chika terdengar mendesis. “Nanti sore jemput aku ya Kak,” pintanya. “Gue kan nggak bawa mobil. Lo minta jemput Papa aja,” balas Arial agak malas. "Udah. Tapi Papa bilang nggak bisa. Terus minta Kak Arial yang jemput aku," jelas Chika. "Pake bus," saran Arial singkat. "Nggak mau," tolak Chika mentah-mentah. "Ojol," saran Arial lagi. "Nggak mau," tolak Chika sama seperti tadi. "Terserah lo," balas Arial memutuskan saluran teleponnya sepihak. Kenapa adek lo? sambut Kevin setelah Arial meminta ponselnya. "Minta jemput," jawab Arial datar. "Pusing, ya, punya adek," kelakar Kevin. Hidup jomblo dan memiliki seorang ayah di perarungan lautan luas serta memiliki ibu yang terlanjur betah tinggal di luar negeri memang sudah dan cukup berat untuk diingat. Kapan saat terakhir kali ia makan malam bersama, berkumpul bersama layaknya keluarga yang sebenarnya. "Biasa aja," jawab Arial malas. Matanya menatap lurus ke arah lapangan. “Ya udah, barengan aja,” timpal Angga mengerti keadaan Arial. "Laki-laki gue. Adek gue resek!" sahut Arial. "Tuh, kan! Ribet lo!" seru Kevin kesal sendiri. Merasa beruntung karena hidup seperti sebatang kara jika dilihat dari sisi positifnya. Sebagai pelatih handal, Pak Rahmat datang tepat waktu. Beliau segera meminta anak asuhnya untuk berkumpul di sisi lapangan. Memberikan arahan dan setelahnya mengikuti percobaan pertandingan dengan tim yang diasuhnya. Gilang menyunggingkan sudut bibirnya. Ia berdiri dikoridor utama dekat lapangan, yang dapat diandalkan melipat di depan d**a. Matanya terus memperhatikan gerakan Arial yang telah menguasai bola dalam permainan. Adit dan Jefri berdiri mengapit Gilang. "Denger-denger, sih, si Arial lagi naksir Nita. Lo juga naksir, kan?" celetuk Adit tanpa angin tanpa hujan. Gilang diam. Kedua matanya tidak berubah dari lapangan paving blok. “Mending besok besok lo kasih perhatian si Nita sebelum keduluan si Arial,” tambah Jefri memberi saran. "Kasih makan siang, kek. Hasil masakan lo atau ajak dia diskusi belajar di perpustakaan," lanjut Adit. "Basi nggak?" Gilang bersuara tanpa memalingkan wajahnya dari satu titik yang sedang bergerak lincah. "Ya nggak, lah!" sentak Adit pelan. Gilang mendesis sebal. "Sikatlah sebelum disikat, Bro." Jefri menepuk bahu Gilang, berlagak bijak. "Ya udah balik," ajak Gilang sudah tidak berselera untuk mendengarkan ocehan kedua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN