PHY 09 - Dilematis

2206 Kata
"Saat harus berjuangan, pasti Tuhan sudah mempersiapkan seseorang yang lebih pantas untuk diperjuangkan." ~Elsa~ Dengan hati sedatar daratan eropa Nita masuk ke kelasnya. Lalu menyimpan tasnya di atas meja. Masih sunyi. Hanya ada beberapa gelintir murid yang mengisi ruang kelas. Merasa bosan di dalam kelas. Nita bangkit dan berjalan menuju toilet meski hanya merapikan rambutnya yang ia biarkan tergerai bebas. Namun, kedatangan pemilik tatapan datar itu seakan menusuk kedua matanya. Arial baru saja keluar dari toilet siswa yang bersebelahan dengan toilet siswi. Nita berusaha melewatinya tanpa rasa gugup meski sebenarnya terus menyerang jantungnya. Ia nyaris terlonjak kaget saat tangan kekar mencegat langkahnya dan membuatnya mematung. "Nama gue Arial", ucap Arial tanpa menatap Nita (namun) masih memegang lengan Nita. Ia masih ingat dengan pertanyaan konyol Nita yang dilontarkan. Nita membeku dibuatnya. Rasa gugupnya seperti kelas-lompat kegirangan di atas kepalanya. "Iya," balas Nita singkatnya komplit kegugupannya. Arial melepaskan tangan Nita dari genggamannya. Ia membuka resleting tas ranselnya kemudian mengambil sesuatu dari dalam sana. "Terima kasih," ucap Arial memberikan sapu tangan berwarna merah milik Nita. Pandangan Nita beralih pada sapu tangan itu. "Eh, maaf ya soal yang kemaren," balas Nita. "Hm." Arial mengangguk kemudian berlalu tanpa pamit. "Arial." Arial langkahnya dan menoleh. "Cek sound." Nita terkekeh, "hehehe." Mata elang Arial semakin tajam. Merasa terkejut dengan tingkah Nita di balik wajah anggunnya. Arial melangkahkan kakinya mendekat. Menatap Nita dengan tatapan prihatin. Dapatkan tatapan mata Arial yang begitu menarik Nita berhenti terkekeh dan berubah raut wajah penuh tanda tanya. Perlahan tangan Arial terangkat dan pegang dahinya dengan dana. "Lo lagi nggak sakit kan?" tanya Arial seakan peduli dengan penderita ayan. Nita mematung. Rasanya ingin segera melejit dari hadapan Arial dan berteriak keras di tengah lapangan upacara, namun sebagai orang waras Nita tidak akan melakukan. "Nggak kok. Gue sehat," balasnya seakan pikirannya kosong karena harus dikejutkan dengan ucapan Arial. "Syukurlah," ucap Arial seakan benar-benar merasa lega. Kemudian melenggang pergi meninggalkan Nita di tempatnya. Nita terbengong dibuatnya. Namun seseorang yang baru saja cukup mengejutkannya. Hai, sapa Gilang semangat. Nita tersenyum tipis. "Gue ke kamar mandi dulu," pamitnya. "Eh," tangan Gilang cepat pergelangan tangan. Membuat Nita harus mengikuti langkahnya menuju toilet. Kenapa? tanya Nita agak kesal. "Gapapa." Gilang melepas tangan Nita. "Pulang sekolah gue anter lo, ya?" lanjut Gilang berharap besar kalau Nita akan menjawabnya dengan kata 'iya'. Namun harapannya harus pupus dengan jawaban Nita yang terdengar sangat jujur. "Maaf, Lang. Untuk hari ini kayaknya nggak bisa deh. Nyokap gue yang jemput," jawab Nita seadanya. Gilang mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Maaf ya," ringis Nita menangkupkan kedua telapak tangan tersebut. “Iya. Gapapa, santai aja,” balas Gilang tersenyum tulus. "Ya udah gue masuk dulu," pamitnya sopan. Nita mengangguk dan tersenyum manis. ⚛️⚛️⚛️ Kevin datang dari arah yang tak terduga, ia menepuk bahu kedua sahabatnya hingga nyaris membuat Arial dan Angga terlonjak dari duduknya. "Monyet lo!" rutuk Angga. "Santai, Bro !" balas Kevin mulai menundukkan kepalanya di antara kedua sisi. "Gue punya info," bisiknya. Ruang perpustakaan seketika menjadi lebih horor. Angga dan Arial diam menunggu Kevin melanjutkan ucapannya. "Gue denger dari cewek-anak IPS yang lagi pada ngegosip kalo si Gilang lagi suka sama Nita," lanjut Kevin menyampaikan informasi yang berhasil membuat Arial sedikit merasa kesal. Hanya sedikit, jika dihitung tidak lebih dari lima persen. "Baru juga gosip," komentar Angga. "Yaelah! Ada baiknya kan kita bisa tau. Daripada tau-tau si Nita udah jadian sama tuh bocah," balas Kevin ada benarnya. Arial berdecak. "Ah udahlah. Gue laki-laki ngurus kayak gituan," tambahnya enggan diri dengan sesuatu hal yang akan mencampak-buang banyak waktunya. Kevin berdecih. “Tau gak lo? Lo tuh terlalu gengsi, Al,” ucapnya kesal. "Gue bukan gengsi atau apapun. Gue cuma nggak mau buang-buang waktu," sahut Arial datar. Dia bangkit dari duduknya kemudian memilih berlalu meninggalkan kedua sahabatnya. Angga menatap Kevin yang terlihat kecewa. "Kayaknya Arial butuh persiapan deh," ucapnya menenangkan Kevin. "Persiapan apaan? Resepsi pernikahan atau prewedding ?" balas Kevin kesal. Angga berdecak sebal. Ia ikut merasa bingung untuk mencoba perkara cinta ... pertama bagi Arial? ⚛️⚛️⚛️ Arial menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Beberapa kali ia sudah mengembuskan napas beratnya. Menjadi tumbuh dewasa begitu menyebalkan batasan. Elsa yang muncul di balik pintu membuat suasana ruang kelas yang hening dan menenangkan menjadi hancur tak karuan bagi Arial. Gadis itu berjalan mendekat lalu duduk di bangku milik Angga tepat di hadapannya. Lihat apa yang gue bawa, "ucap Elsa mulai keluar sesuatu dari kantong putih. Arial melihatnya dengan malas. Sama sekali tidak tertarik dengan semua yang Elsa berikan kepadanya. "Kue coklat," ucap Elsa lagi membuka toples plastik. "Aku bikin ini khusus buat kamu." Elsa memberikan kue coklat itu pada Arial. Berharap Arial mau mencicipi kue buatannya. Arial mengembuskan napasnya lagi. Berusaha mengangkat kedua sudut bibirnya untuk Elsa. "Lain kali lo gak usah bawa kayak ginian ya?" Elsa mengerutkan keningnya. Kenapa? "Toples lo menuhin lemari dapur rumah gue," jawab Arial sekenanya. "Terus gue harus gimana?" Elsa terlihat mengerut. "Tapi lo suka kan sama kue coklat buatan gue?" lanjut Elsa menatap Arial dengan lekat. Ia menginginkan sebuah jawaban dari mulut Arial yang akan seperti yang mustahil. Aduh! Nyobain aja gue gak pernah , batin Arial merasa sumpek. "Iya. Suka kok," ucapnya kemudian semata-mata hanya untuk menghibur Elsa. Senyum Elsa merekah sempurna. Syukurlah kalo lo suka, ucapnya bahagia. Tubuhnya seperti melayang terbang di antara lembutnya awan indah yang tebal. "Hm." Arial menutup toples itu. Namun ia mendapat tatapan penuh tanya dari Elsa. "Kok nggak dimakan? Kan udah gue bukain buat lo," tanya Elsa heran. "Nggak apa-apa. Gue makan di rumah aja. Nggak enak aja kalo di sini," jawab Arial datar. "Nggak enak gimana?" tanya Elsa lagi ingin kejelasan lebih dari Arial. "Kebetulan adek gue juga suka." "Oh ya?!" Elsa terlihat bertambah girang. "Hm." "Ya udah nanti gue buatin buat Chika sekalian." "Nggak perlu deh kayaknya." Kenapa? Elsa berusaha menangkap manik mata Arial. "Toples lo udah numpuk," jawab Arial sekenanya. Wajah yang datar membuat Elsa tertawa kecil. "Bisa nggak sih, lo kalo ngomong ada ekspresinya?" Elsa diam yang menahan tawanya. "Muka lo tuh selalu datar, Al," lanjutnya kembali tertawa. Namun Arial menatapnya dengan mimik serius membuat Elsa harus memperhatikan tawanya detik ini juga. "Lo kok liatin gue gitu?" tanya Elsa merasa ngeri sendiri. "El," panggil Arial. Kenapa? Elsa mengangkat kedua alisnya. "Cukup sampai disini lo berharap sama gue. Gue nggak mau lo terluka lebih dalam cuma karena lo berharap bisa jadi cewek gue," lanjut Arial pelan. Ia benar-benar berterus terang kepada Elsa. Namun demikian Elsa, tidak pernah akan pernah ia lupakan seumur hidup. Mendengarnya Elsa terdiam. Bagai ada sengatan listrik yang mengalir di seluruh pembuluh darahnya. Ia akan lebih tahan terhadap kata cacian yang Arial lontarkan, tapi tidak dengan kata yang disertai permintaan untuk berhenti sampai di sini. "Gue rasa berteman lebih baik," tambah Arial tetap menahan tempo bicaranya. Elsa mencampakkan wajahnya ke arah lain. Suasana ruang kelas yang cukup sepi begitu mendukung Elsa untuk perumahan rasa sesak dan panas di kedua bola matanya. "Gue ngerti. Ini soal hati dan nggak bisa main-main, El. Dan ini alasan gue berterus terang sama lo," jelas Arial berharap Elsa sadar dengan siapa dia berbicara. Manusia pemikir dan selalu mempertimbangkan di setiap keputusannya. "Lagian pacaran tuh dosa, El," tambah Arial memotong tampang lugu. "Maaf. Gue selalu berharap sama lo," ucap Elsa segera berlalu. "Tapi ---" Teriakan Arial terputus begitu saja saat Elsa cepat melesat keluar dan menghilang di balik pintu. Derai air matanya membasahi pipi. Rasa sakit di dalam dadanya membuat Elsa udah harus menangis meski ia pernah mengikuti untuk tidak mengeluarkan air matanya dengan sia-sia. Tidak ada sepatah kata pun yang ia keluarkan untuk Arial. Baginya ini terlalu sakit. Terlalu sesak. Beberapa murid yang menyaksikan drama saling melempar tatap dan berbisik-bisik dengan teman di sampingnya. Tatapan penuh rasa muak, iba, bercampur aduk. "Lah, kok dia nangis?" tanya Kevin saat Elsa melewatinya dengan wajah basah tertutupi oleh dua telapak tangan. "Ada yang nggak beres nih," duga Angga waspada. Ia segera mempercepat langkahnya menuju ruang kelas. Sesampainya di ruang kelas Angga dan Kevin melihat Arial bersama pandangannya mengarah ke suatu tempat yang berisi kue cokelat di hadapannya. Dua anak manusia itu segera menghampiri Arial. "Woy!" seru Kevin menepuk bahu Arial. Arial terlonjak kaget. Lantas menghela napasnya perlahan. Menenangkan diri dari emosi yang sempat berkecamuk di dalam otaknya. "Lo nggak ngapa-ngapain si Elsa kan?" tanya Angga langsung memastikan. Arial mengembuskan napasnya lagi. "Gue bingung. Yang gue lakuin untuk berterus terang sama Elsa bener atau salah?" tanyanya pada diri sendiri. Namun kedua sudah siap untuk memberikan solusi jitu. "Menurut gue yang lo lakuin itu bener. Jujur lebih baik meskipun berakhir menyakitkan harus lo tahan sampai memberi harapan indah dan bikin hati si Elsa bunga-bunga namun pada akhirnya lo nyakitin dia dengan lebih dalam," jawab Kevin dalam satu tarikan napas, nada bicaranya seakan menjadi pakar cinta profesional. "Nah, betul!" dukung Angga mengangkat telunjuknya. Arial berdecak. Kevin yang kadang kumat akibat otaknya kurang se- ons ternyata bisa berguna bagi risaunya dan pemilik hati tak bertepi. ⚛️⚛️⚛️ Suara gaduh dari playstation mengisi seluruh sudut ruang tengah. Dua sohib itu sedang asyik beradu jotos dalam game di balik layar monitor. "Bosenin!" pekik Kevin kesal dan melempar tongkat PS -nya. "Apaan sih lo ?!" sentak Angga merasa jengkel. "Liat noh!" Tatapan Kevin mengarah pada Arial yang sedari tadi hanya diam menatap gemericik air hujan di balik jendela bening rumah. "Ck!" Angga berdecak saat menyadari salah satu peta sedang asyik sendiri dengan pandangannya. Ia menaruh tongkat playstation -nya. Berniat untuk berhenti bermain. Dering telepon menyadarkan Arial dari lamunannya. Satu pesan masuk ke dalam ponselnya. Dengan agak sungkan Arial memungut ponselnya yang tergeletak begitu saja di sampingnya. Lalu segera buka pesan singkat itu. Elsa: Kejar cinta lo. Gak usah mikirin apalagi kue coklat yang selama ini gue kasih sama lo. Gue sekarang sadar bahwa berharap kepada manusia itu menyakitkan. "Elsa", gumam Arial kemudian menatap kedua yang berbalik menatapnya dengan penuh tanda tanya. Kenapa lo? " tanya Angga cepat. Bukan jawaban yang Angga dapatkan. Melainkan sosok Arial yang segera berlari menuju kamar dan kembali melewati ruang tengah kemudian melesat cepat bersama kuda besinya. "Eh monyet! Mau kemana lo ?!" teriak Kevin berusaha mengejar Arial. Namun ia harus berhenti hanya sampai teras rumah karena memiliki rasa ketakutan yang kuat dengan hujan. Wajahnya pucat saat kembali masuk ke dalam rumah. Bersama motor sportnya Arial membelah jalanan basah karena terguyur hujan. Nyaris melebihi batas kecepatan normal di jalan raya akhirnya Arial sampai di halaman rumah asri tak berpagar. Semua rumah di komplek perumahan Griya Asri memang tidak berpagar namun dijaga ketat oleh satpam profesional. Arial turun dari kendaraannya dengan keadaan basah kuyup. Hujan masih turun dengan derasnya. TAPI sekarang Arial berdiri tegak di depan rumah besar berlantai dua. Ia meraih ponsel dari saku celananya. Mengetikan pesan singkat dan mengirimkannya kepada Elsa. Arial Bima: Gue sekarang di depan rumah lo. Arial menatap jendela rumah di lantai dua. Ia sudah memperkirakan bahwa kamar Elsa terletak di sana. Lima menit sudah berlalu, namun gadis itu tak kunjung keluar dari rumah adat. Arial berdecak sebal. Ia kembali mengirim pesan singkat kepada Elsa. Arial Bima: Penelitian bilang, hujan bikin kita merasa lebih baik ketika hati sedang sedih. Setelah pesan itu terkirim. Arial kembali mengedarkan pandangannya pada jendela-jendela rumah Elsa. Nampak sepi. Tapi saat Arial melihat pada jendela bening di lantai dua, kepala Elsa sempat muncul di antara gorden. Arial kembali mengirim pesan singkat. Arial Bima: Cepet lo temuin gue. Kalo nggak gue pulang sekarang! Pesan itu melesat cepat masuk ke dalam ponsel Elsa. Namun gadis itu tetap tak kunjung keluar menemuinya. Batas kesabaran Arial dalam menunggu hanya kuat sepuluh menit, selebihnya ia akan memilih pulang meski tanpa hasil. Menit ke sembilan menuju sepuluh menit kurang lima belas detik. Arial berkacak pinggang seakan ingin memarahi Elsa. Tepat pada menit ke sepuluh dan dia harus rela diguyur hujan yang semakin deras. Arial Membalikkan badannya mulai beranjak pergi dari tempatnya berdiri selama sepuluh menit. "Arial." Panggilan itu langkah langkah Arial. Arial membalikan badannya. Menatap Elsa yang berjalan mendekat bersama payung merah mudanya. "Maaf. Tadi gue nyari payung," dalih Elsa meski sebenarnya ia siapkan segenap nyawa untuk bertemu Arial. Arial berdecih. Ia menghapus tatapannya ke arah lain. Berusaha untuk tidak bertemu dengan tatapan mata milik Elsa. "Lo kurang pinter atau lagi nggak pinter buat ngebohongin orang?" tanya Arial kembali menatap Elsa lurus. "Ta-tadi ---" Elsa terkejut saat payung yang dipegangnya harus terlepas dengan kasar. Arial mencampakkan payung itu ke sembarang arah. Tatapan tajamnya berubah menjadi tatapan yang sangat menenangkan. Ia mengembangkan senyum permanennya untuk Elsa. "Makasih buat kue cokelatnya, makasih buat perhatiannya, makasih buat senyuman sekaligus tangisannya. Gue minta maaf nggak bisa bales semua yang lo kasih buat gue," ucap Arial tenang. Ia diam-diam menarik napasnya. "Tapi seenggaknya kita bisa jadi teman baik kayak dulu lagi. Jangan lo hancurin pertemanan kita cuma karena perasaan yang sia-sia," lanjut Arial. Makasih juga udah bikin adek gue tambah gemuk karena kue cokelat dari lo. Jujur, selama ini gue belum pernah makan kue cokelat yang lo buat sekalipun, "jujur Arial untuk kedua kalinya di hari itu. "Kok lo nyebelin sih ?!" geram Elsa melipat untuk kepentingan di depan d**a. Arial tertawa. "Baru sadar ya?" ledeknya. "Aku h!" gemas Elsa mengepalkan Gubernur. Tawa Arial berubah menjadi sebuah senyuman. "Gue siap jadi tempat lo curhat," ucap Arial sungguh-sungguh. Elsa diam menatap Arial dan mengembangkan senyumnya. "Gue juga siap jadi motivator lo terutama dalam masalah cinta pertama lo dengan pihak itu," balas Elsa yakin. "Bilang ke gue, lo lagi suka sama siapa?" lanjut Elsa menanyakan kabar hati kosong Arial. Arial terdiam. Tidak yakin untuk mengatakannya pada Elsa bahwa ada seseorang yang telah mengisi hatinya. "Belum ada," jawabnya singkat. "Yakin?" Elsa mengangkat telunjuknya tepat di depan wajah Arial. Arial mengangguk meyakinkan. Padahal dalam hatinya ia merasakan dilema mengenai perasaannya yang sulit. Memilih Elsa yang sudah hadir selama dua tahun terakhir dan mengisi segala sunyinya atau memilih Nita — gadis yang baru dikenalnya kemarin dengan segala sifat khasnya yang begitu mengejutkan bagi Arial. "Kalo gitu, semoga lo bisa dapetin cewek yang lo mau," ucap Elsa tulus. Ia mengembang senyumnya meski terbesit rasa sakit di dalam hatinya. Arial mengangguk. "Lo juga, semoga dapet cowok yang lebih baik dari gue," balas Arial senyumnya merekah. Elsa mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN