"Rangga itu?"
"Sembarangan. Bukan lah. Dari wajah dan usia aja udah kelihatan beda jauh."
Temannya terkekeh. Temannya dari kampus yamg sama. Lalu katanya ada kerjaan di sekitar kampus, akhirnya mampir di sini dan bertemu dengannya.
"Ciyee ketemu lagi."
Ia malah diolok. Ia mendengus.
"Tapi Rangga yang jadi tersangka itu juga alumni kampus kita. Lo tahu kan? Alumni lagi pada ditekan buat ngeluarin dia karena bikin buruk nama UI."
"Kalo alumni pada mau nurutin maunya orang-orang yang punya kuasa itu, yang ada bener rumor kalo kampus kita mudah diintervensi hingga alumninya juga begitu."
Ia terkekeh. Ya memang benar juga sih.
"Tapi menurut lo, si mas Rangga itu beneran tersangka?"
"Udah terbaca kali, Kaaar. Lo tahu aparat kita kayak gimana. Beberapa tahun terakhir ini aja pada demo terus tuh mahasiswa. Kalo gak ada demo, berarti pemerintah sehat dong. Tapi ini kan enggak ya?"
Karin terkekeh. Ya sih. Cuma memang perhatiannya cukup tersita dengan kasus itu. "Balik lagi ke Rangga, yang lo maksud itu Rangga anak BEM yang dulu suka diledekkin sama elo?"
Ia mengangguk. Kalau bukan, mana mungkin ia berbicara?
"Serius?"
Karin tampaknya belum percaya. Ia terkekeh.
"Iya lah."
"Ih gilak. Siapa nama aslinya sih? Lupa gue."
Ia sudah sibuk dengan ponselnya. Pasti mencari akun media sosialnya deh. Serena geleng-geleng kepala. Ya bukan hanya Karin yang seperti ini. Kadang-kadang ia juga begitu. Makanya ia jadi agak tahu perkembangan Rangga. Karena cowok iti cukup aktif di media sosial. Ia juga tahu ya kalau cowok itu memang keren dari dulu sih. Makanya ia naksir juga. Hahaha. Tapi sepertinya, ia terlalu ge-er karena mengira kalau cowok itu juga menyukainya. Eeh mungkin memang benar-benar berhalusinasi. Hahaha. Sejak itu, ia sangat pesimis soal asmara. Bahkan sampai sekarang pun, belum satu pun cowok yang menyukainya. Hahaha. Mungkin ada tapi ia tak tahu. Karena Gian dan yang lain pun menikai ia sebagai gadis yang cantik, pintar pula, dan berprestasi. Sedang persiapan untuk lanjut S3 pula. Jadi malah membuat cowok-cowok mungkin minder. Hahaha. Ia bahkan tak tahu kan?
Ada sih yang selama setahun ini tiba-tiba datang melamar. Teman-teman lama semasa SMA. Mungkin tak tahu apa yang dilakukan sekarang. Jadi mengira kakau ia tinggal di kampung. Padahal ia sudah menjadi dosen di kampusnya ini. Meski menjadi dosen tidak tetap. Ia juga sedang belajar sih untuk ikut tes CPNS mendatang. Apalagi para dosen senior juga memintanya mendaftar CPNS dan tentu saja mengambil di kampusnya juga. Intinya, ia memang sedang sibuk-sibuknya sih.
"Keren ya, Ser. Gak tahu loh kalo ternyata dia CEO-nya. Dia emang Informasi kan duku?"
Ya. Serena mengangguk. Ia juga berpikir dulu itu sih. Ya tak mungkin lupa juga sih. Hahaha. Namanya juga pernah naksir.
"Naksir gak?"
Karin mengoloknya. Ia terkekeh. Memang gak ada yang tahu kalau ia naksir sih. Ia memang cenderung menyimpan persoalan yang berhubungan dengan asmara. Hahaha. Takut diolok juga. Terlalu gengsi juga. Ah entah lah. Para dosen senior saja hobi menjodoh-jodohkannya kok. Sebagai cewek yang usianya menjelang 30 tahun dan seharusnya menikah. Kalau sekarang sih, ia tak perduli-perduli amat sih. Mau orang berbicara apa soalnya. Yang penting ia hidup sendiri dan ia bahagia kok. Ia bis mandiri dan tak menyusahkan orang lain. Dari pada berumah tangga, tapi minta sana-sini atau meminjam sana-sini untuk menyokong kehiduoan. Apa tak malu? Jadi ya mending sendiri begini deeeh. Hahaha.
Ia malas saja karena kebanyakan keluarga besarnya begitu. Membicarakannya di belakang tapi kalau butuh uang, yang dicari keluarganya pertama kali. Apakah itu namanya tahu diri? Hohoho.
"Iih gak dijawab."
Ia terkekeh. Untuk apa juga dijawab? Gak penting-penting amat lah. Lagi pula, Rangga itu kan cerita lalu. Ia perlu fokus dengan kehidupannya sekarang dan ke depannya.
"Terus jadi lo tetap nyoba S3?"
Ia mengangguk. "Kan gue ada kontrak sama kampus. Harus lanjut maksimal 3 tahun setelah kerja di sini. Mumpung bekum lama gue kerja, gue usahain lah. Kalo lolos kan tinggal gue tunda setahun tuh kuliah. Yang penting gue dapat kampus dan beasiswa dulu."
Karin mengangguk-angguk. "Kapan lah kita nikah ya?"
Serena tergelak. Ini lah yang ia sukai dari Karin sih. Karena posisi mereka sama-sama masih jomblo. Kalau Karin menikah mungkin ia akan sangat sedih sih. Karena kehilangan dan merasa sendirian. Meski ia juga tak sendirian sih. Kan ada Allah. Ya kan?
@@@
"Asyiiik!"
Teman-temannya tampak senang sekali. Mereka tiba di depan gedung besar. Sibuk membawa masuk barang-barang. Berkat menang di acara Kementerian Ekonomi Kreatif bulan lalu, mereka akhirnya bisa masuk dan menjadi anak perusahaan di bawah naungan Won Shik Group. Yang akhir-akhir ini perusahaan ini juga sedang menyorot perhatian publik. Karena akan ada pergantian CEO. Tadinya sih milik perusahaan Korea Selatan. Tapi itu hanya untuk cabang yang di Indonesia kok. Kalau yang di negara-negara lain tetap milik Won Shik. Tapi yang di Indonesia, rumornya memang akan segera berpindah tangan. Sahamnya akan jauh lebih banyak dimiliki oleh pengusaha Indonesia yang namanya sudah cukup terkenal.
Rangga sibuk hilir mudik bersama timnya dari parkiran menuju kantor mereka yang ada di lantai 20. Yeah satu lantai itu sebetulnya bukan hanya ada kantor mereka. Akan bersebalahan dengan startup lain juga. Ia sibuk membawa barang-barang dari kantor lama. Lalu tak lama, muncul mobil truk box yang membawa sisa-sisa barang.
"Kak Rangga, dipanggil sama jajaran direktur."
Ah ia belum menghadap. Ia mengangguk lalu meninggalkan parkiran. Buru-buru ia berjalan naik ke atas. Ia bertanya di mana lokasi ruangan. Lalu diantarkan hingga ke deoan ruangan di lantai 30. Tiba di sana, bukan hanya ia yang datang. Tapi juha ada beberapa CEO lain maupun orang-orang penting yang ada di gadung ini. Gedungnya? Tingginya sekitar 35 lantai. Tak semuanya dikuasai Won Shik Group. Ada juga beberapa perusahaan lain sih. Tapi jumlahnya tak banyak. Jadi bisa dibilang memang sekitar 80 persennya milik Won Shik Group.
"Nah, ini pak Juna, jajaran startup-startup baru kita. Sudah ada empat yang bergabung. Sejujurnya kita masih bernegosiasi dengan satu startup lagi sehingga kakau mereka setuju, akan ada lima startup yang bergabung."
Juna. Tentu saja nama itu tak asing. Ia akhirnya berhadapan secara langsung. Memang tampak masih sangat mudah. Usianya sekitar yaa 25 tahun. Jauh lebih muda dibandingkan dengannya yang sudah 28 tahun ini. Tapi pencapaiannya sudah sangat luar biasa. Bisa memiliki saham yang lebih banyak dibandingkan pemilik aslinya, menurut Rangga yaa keren lah.
Mereka hanya memperkenalkan diri. Lalu Rangga menghadap direktur marketing. Yang yaaah terkenal paling ganteng di sini. Asli Korea Selatan tapi selama ini rumornya sih tinggal di Singapura.
"He is mister Rangga, Sir."
Suara sang sekretaris terdengar oleh Rangga. Perempuan itu menjelaskan kalau ia adalah CEO dari startup yang resmi pindah per hari ini.
"Masuk aja, pak Rangga."
Ia mengangguk. Kemudian berjalan masuk. Tadinya mau mengucap salam tapi begitu ingat kalau cowok ini orang Korsel, belum tentu beragama islam akhirnya.....
"Afternoon, Sir."
Tampak terdengar suara lelaki Korsel itu menyuruhnya masuk. Cowok yang satu itu baru saja selesai membaca semua dokumen perusahaannya. Yang paling penting tentu saja pendapatan. Ia perlu tahu detilnya. Meski sudah ada semua. Ya menurutnya, pendapatannya luar biasa untuk startup baru seperti Rangga. Belum lama berdiri juga. Meski ya sudah lebih dari 5 tahun tapi kan resminya baru beberapa tahun terakhir. Butuh waktu untuk membuatnya menjadi resmi.
"I just read your startup profile," tukasnya.
Ia tampak santai tapi wajahnya begitu serius. Entah kenapa, Rangga tampak segan sekali. Ya maksudnya, ia juga terlihat matang sekali sih. Walau dari wajah, ia tak bisa menerka usianya. Karena tampak masih sangat muda. Ya rata-rata orang Korsel yang pernah ia temui memang seperti ini. Padahal usianya sudah cukup matang. Ia tak pernah mengecek jajaran direktur. Tadi juga ssmpat bertemu di ruang rapat kok. Tapi ia tak tahu kapan lelaki ini keluar dari sana. Ia juga tak tahu rumor apapun soal lelaki ini. Walau beberapa perempuan di kantornya tentu saja memberitahu kalau ada direktur ganteng di sini dan berdarah Korsel. Lalu benar-benar lelaki ini yang dimaksud? Ia juga tak yakin. Karena memang bukan hanya lelaki ini yang berdarah Korsel dan bekerja di sini. Sedari ia datang ke sini sejak pagi, ia sudah melihat banyak wajah-wajah non lokal. Ya penampakannya berbeda dengan turunan Cina loh. Ia hapal karena ia cukup lama bekerja di perusahaan Cina yang ada di Jakarta sebelum berani membuka kantor sendiri. Ini jelas tak mudah baginya.
Kini ia sibuk menjelaskan pendapatan dari kantornya. Sebelumnya, mereka memang memiliki investor. Tapi dua tahun belakangan lepas dan berdiri sendiri. Hal itu tentu saja menjadi pertanyaan bagi lelaki ini. Menilik startup Rangga bisa masuk karena menang kontes. Ia juga punya hak dalam penilaian kontes kala itu. Tapi kalah suara dengan pihak kementerian. Mereka lebih setuju memilih startup Rangga sebagai pemenang. Ya karena pendapatan jauh lebih stabil. Memang benar juga, jumlah anak-anak sekolah dari SMA ke bawah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan kuliah ke atas. Tapi konsepnya? Ia lebih menyukai yang dijadikan juara kedua. Tapi rupanya para direktur lain sudah lama mengincar pemenang kedua itu untuk bergabung dengan mereka. Ia setuju? Belum setuju-setuju amat lah. Meski menurutnya juga cukup bagus. Mungkin perlu sokongan saja dari mereka.
"I'll wait your report today. Maybe before 18.00 pm?"
Rangga agak terperangah. Tapi ia tak punya alasan untuk menunda. Setidaknya lelaki ini masih baik karena memberinya waktu selama lebih dari enam jam. Walau setelahnya ia buru-buru menghubungi timnya untuk bergegas membuat laporan dan rencana yang kurang.
"Gilaaak! Hari ini?"
Padahal timnya mengira kalau mereka akan cukup santai. Ya palingan hanya membereskan ini-itu di kantor kan dan belum mulai bekerja. Eeh ternyata tidak ada cerita itu di hari ini. Hahaha.
"Asem bangeet!"
Mereka tertawa. Yang paling kasihan sih yang bertanggung jawab. Walau rangga juga ikut terkekeh. Ya kalau atasan yang meminta, mereka bisa apa sih?
@@@
Juna melihat ruangannya yang ada di gedung ini. Ia tak harus datang setiap hari sih. Selama ini juga begitu. Maksudnya, di perusahaan-perusahaannya yang lain juga begitu. Ia menaruh orang-orang kepercayaan yang tentu saja ia awasi. Kepercayaan itu penting. Tapi tetap harus berhati-hati. Ia dulu juga pernah dikhianati kok bahkan perusahaan rintisannya pernah direbut. Namun lihat lah kini, ia berhasil membangun kerajaan yang jauh lebih sukses. Ia belajar banyak dari itu.
Dua tahun lalu setelah memutuskan untuk menetap di Jakarta, kiprahnya semakin meluas. Ya terutama untuk memperbanyak lowongan pekerjaan bagi warga lokal di Indonesia. Ia banyak mengambik perusahaan asing. Ya tujuannya memang untuk membesarkan Indonesia kok biar tak dikuasai asing. Masa kita yang punya negara malah terasingkan dan susah mencari pekerjaan? Ia ingin mengembalikan kedaulatan negara ini. Lagi pula, kita juga punya sumber daya yang tak kalah hebat kok.
"Kalau ruangan para direktur di lantai mana?"
"28, pak."
Ia mengangguk-angguk. Lalu teringat beberapa wajah asing yang tentu saja didominasi oleh orang-orang Korsel.
"Untuk beberapa posisi yang sudah saya negosiasikan tadi bagaimana?"
"Beberapa bisa diganti. Tapi ya tidak begitu banyak, pak. Dari beberapa orang yang bapak rekomendasikan, masih kalah dengan direktur,direktur yang menjabat saat ini."
Ia mengangguk-angguk. Ya tak masalah kalau memang tak bisa diganti. Asal perusahaan ini tetap berjalan terus.
"Berapa orang Korsel yang ada di sini?"
"Nanti saya cek dulu, pak."
Ia mengangguk. "Saya berencana akan membuka kantor lain di sini. Nanti tolong perekrutan hanya untuk orang lokal biar tak terlalu didominasi asing di sini."
Para asistennya mengangguk. Ia hanya memutar-mutar isi ruangan lalu keluar dari sana.
"Ada kabar dari Ferril?"
"Pak Ferril sedang meeting, pak. Jadi kita ke kantor saja?"
Ia mengangguk. Ia bergerak meninggalkan gedung ini. Dari kejauhan, seorang perempuan tampak berlari-lari menuju lobi. Tidak ada adegan menabrak kok. Hanya saja, langkah perempuan yang terburu-buru itu entah kenapa membuat Juna menoleh. Ya hanya sekilas. Perempuan itu juga tak tahu. Perempuan itu berhenti di meja administrasi. Mungkin ada keperluan? Seingatnya memang kantornya sedang perekrutan hingga sekarang. Apalagi akan membuka kantor baru.
Ia kembali melihat ke depan. Lalu masuk ke dalam mobilnya. Sementara gadis itu berjalan masuk menuju lift. Ia mengomel dalam hati karena Gian baru memberitahu kalau sudah menerima tawaran dan diminta datang ke sini. Cowok itu mendadak tak bisa datang karena harus ke Bogor. Maka jadi lah ia yang ke sini. Bertemu siapa?
Tentu saja salah satu asisten CEO. Yang ia ingat dan tahu perusahaan ini masih milik Won Shik secara utuh. Rasanya tak sopan juga menyebut Won Shik. Hihihi. Mungkin ahjussi Won Shik? Hahaha.
Ia mengomel dalam hati. Gian tak mungkin mengirim Ramzi. Khawatir cara bicara dan keahlian bahasa asing Ramzi yang benar-benar asing. Hahaha. Saking tak bisanya. Nanti malah tak mengerti pula.
Serena tiba di lantai yang tadi sudah diberitahu. Ia hendak bertemu dengan salah satu direktur di sini. Ia diarahkan menuju ruangannya.
"Bertemu mister Jin Pyo dulu, mbak. Nanti baru ketemu sama asisten CEO kita."
Ia mengangguk-angguk. Ia masuk ke dalam sebuah ruangan. Ia bisa sih melihat sosok lelaki yang hendak berjalan menujunya. Mister Ahn Jin Pyo namanya. Lelaki yang heum tampaknya sudah lumayan tua. Sudah 45 tahun? Hahaha. Tidak seperti bayangannya yang tampak masih muda dari namanya. Hahaha. Ia kira akan seperti oppa-oppa Korea begitu loh. Ternyata yaaa memang ahjussi-ahjussi. Hihihi.
"Miss Serena?"
Ia mengangguk. Setidaknya lelaki tua ini cukup ramah.
@@@
Catatan:
*ahjussi : paman