"Gue udah dapet informasinya!" seru Ramzi begitu ruangan kecil mereka terbuka. Ia satu ruangan dengan Ramzi dan juga Gian. Tapi Gian tak terlihat di bangkunya. Mungkin sedang meninjau proyek perusahaan lain. Sementara Serena baru saja muncul. Gadis itu kampus dulu sampai siang. Menjelang jam tiga sore baru muncul di sini. Ada video yang harus ia cek sebelum dilempar ke tahap distribusi ke platform. Pengecekan akhir. Gian juga harus mengecek itu nanti sebelum dilempar ke pasaran.
"Informasi apaan, Kak?"
"Itu yang Won Shik Group. Dari namanya aja lo bisa nebak gak?"
"Korea?"
Ramzi menjentikan jari.
"Tapi kok kita nemu asal emailnya dikirim dari Singapura?"
"Setelah gue selidiki, ternyata mereka ini perusahaan pusatnya memang di Singapura. Yang punya jelas sama kayak perusahaannya Kim Won Shik. Fakta menariknya, mereka memang sedang bikin proyek global. Di beberapa negara, salah satunya Indonesia, mereka bakal ngasih modal untuk start-up baru seperti kita untuk masuk menjadi anak perusahaan mereka. Bagaimana menurut lo?"
"Terus dengan email kemarin?"
Ramzi menjentikkan jari. "Mereka ingin menarik kita untuk bergabung. Sepertinya akan keren, Ser. Setelah gue cek nih," ia membuka halaman website selanjutnya. Di sana ada beberapa informasi mengenai startup yang baru bergabung. "PT My Healthcare. Ini start-up yang dikembangkan oleh perusahaan mereka sendiri. Dari sejarahnya, bisa kita baca dan simpulkan. Awalnya hanya menjadi proyek kecil tapi ternyata menjadi sesuatu yang lebih besar sehingga dibuat sebuah perusahaan kecil. Dan yang baru banget bergabung--"
"PT Negeriku?"
Kening Serena mengernyit. Tampak tak asing dengan namanya.
"Lo kenal?"
Serena masih berpikir.
"Konsen mereka ke bidang ekonomi. Khusus fintech yang bantu para pengusaha kecil dapat modal. Sayangnya baru muncul setahun terakhir ini ya. Kalo dari tiga tahun lalu, kita harusnya bisa dapat modal dari sini juga nih."
Serena menoyornya. Ramzi tertawa.
"Tapi kayaknya selain itu mereka juga bikin mall online dan bikin platform para pedagang lokal untuk jualan di sana."
Serena mengangguk-angguk. Namanya benar-benar tak asing tapi ia tak ingat.
"Dari sejarah bergabungnya. Mereka ini berhasil menembus masuk ke sana dengan menawarkan diri melalui proposal. Berbeda dengan kita doong. Kita kan ditawari."
Serena terkekeh. Ia mengambil duduk di samping Ramzi.
"Yang jadi masalah itu, Kak. Si Gian mau gak? Agak-agak curiga sih gue."
Ramzi tertawa. "Barusan gue dapat rincian percontohan perjanjian yang mereka tawarkan. Mereka hanya bisa memberikan sepuluh persen. Itu udah yang paling gede sih. Apalagi untuk pemula kayak kita. Gimana menurut lo?"
Serena berdeham. Ia membuka laptopnya kemudian mencari data yang sudah ia kumpulkan. "Founder Closebook punya saham 24%. CEO Closebook itu menempati urutan keempat sebagai orang terkaya di dunia versi Bloomberg. Saat ini, kekayaan CEO-nya mencapai 82,3 miliar dolar Amerika. Hanya dengan 24% tapi wajar sih, penggunanya juga banyak banget. Terus ada Clinton, dia punya 35% saham di Miracle. Miracle merupakan perusahaan perangkat lunak (software) yang didirikan oleh Clinton. Menurut Forbes, Clinton merupakan orang terkaya ke-5 di dunia dengan total kekayaan US$74,9 miliar. Terus Elon, dia punya saham 24% dari T-Force. Kekayaan yang dia dapat dari situ, gak usah diomongin deh. Sudah pasti besar. Tapi kesimpulannya gini, gak ada yang bakal bisa dapat sharing saham 50-50 kecuali kalo Gian punya modal 50 untuk mengimbangi dana investor."
Ramzi tertawa akan kejujuran Serena. Serena menghela nafas. Ia juga sudah mencari beberapa informasi CEO start-up dari Indonesia.
"Farrel Adhiyaksa. Dia memang punya beberapa start-up. Tapi dari sekian banyak itu, paling gede sahamnya yang ini sekitar 38%. Itu pasti jor-joran banget dia. Terus adeknya yang baru buka perusahaan otomotif baru itu. Dia punya saham 28%. Mereka ini kan jajaran start-up papan atas yang udah dikenal luas kiprahnya bahkan namanya melambung keras. Tapi sahamnya juga gak nyampe 50%. Karena semakin banyak lo mau investor masuk, otomatis semakin sedikit kepemilikan lo. Itu lah cara kerja bisnis. Yang punya uang yang berkuasa. Kita gak bisa menampik itu."
@@@
Serena sudah menduga kalau Gian pasti menolak untuk bergabung dengan perusahaan Korea itu. Alasannya juga sudah jelas. Tidak mau karena pembagian sahamnya.
"Bahkan pemilik ojek digital di Indonesia ini cuma punya saham 4% dari perusahaannya sendiri, Giiii! Itu udah yang gede. Daru start-up lain yang udah unicorn, CEO-nya juga hanya punya 2%. Itu udah mentok banget. Lah ini? Mereka mau ngasih 10% meski dana yang masuk gak banyak."
"Tapi mereka itu bakal bikin perusahaan kita ini jadi anak perusahaan mereka. Itu jelas kecil banget."
"Gue tahu. Tapi kan perjanjiannya hanya sampai 5 tahun, Gi. Kita bisa lepas setelah itu. Dan sebetulnya juga gak masalah. Lo tetap bisa berkiprah bikin perusahaan baru kan? Gak ada perjanjian yang menyebutkan kalo lo gak boleh bikin perusahaan lain dan gak ada pengambilan hak cipta perusahaan juga. Semua tetap atas nama lo. Mereka cuma mau membawa perusahaan ini sebagai anak perusahaan mereka biar bisa dikelola bersama. Itu tujuannya, Gii. Masa gak paham sih?"
Seperti biasa, perdebatan panas berlangsung. Biasanya yang lebih banyak bertengkar itu ya Ramzi dan Gian. Hahaha. Dua cowok ini memiliki karakter yang berkebalikan. Gian lebih menyukai hal-hal stabil. Sebaliknya, Ramzi menyukai tantangan. Dan Serena? Ia selalu menghitung setiap potensi dan kesempatan yang datang. Tidak semua ide gila Ramzi ia iyakan. Begitu pula dengan ide Gian yang lebih suka di dalam lingkaran itu. Tak terlalu bagus untuk dituruti karena keraguan Gian kerap membuat perusahaan stagnan. Kehadiran Ramzi yang out of the box dan Serena yang bisa menjadi jembatan bagi keduanya jelas menjadi penyelamat. Meski terkadang, Ramzi hanya bisa tertawa. Ia selalu mendukung ide Serena karena menurutnya, Serena lebih berani dalam melakukan sesuatu dibandingkan dengan Gian.
"Coba lo pikir-pikir lagi deh. Ini itu gak worst banget dibandingkan dengan investor sebelumnya yang lebih gila lagi. Setidaknya mereka pegang kendali dan ketika ada apa-apa, mereka akan ikut membantu, Gi. Dibandingkan kita sendiri. Ya gue tahu, kita udah berkembang juga. Tapi bagi gue, ini adalah batu lompatan tertinggi yang bisa kita capai. Buat jadi decacorn, semuanya memang harus ada pengorbanan. Lo bayangin deh. Kalo kita sukses, lo bisa buka banyak perusahaan lagi. Sepenuhnya lo yang biayai sendiri tanpa investor juga gak masalah. Karena gue yakin, lo bisa. Tapi untuk sekarang, kita belum bisa makek pemikiran itu, Gi." Ia berdeham lantas menatap Gian dalam-dalam. Cowok itu mulai goyah. Serena memang paling pandai mempermainkan kekuatan seseorang yang mulai bimbang seperti ini. "Kalo kita stuck hanya dengan mengandalkan berbagai kontes yang bisa kita ikuti dan menangkan, jujur aja itu sangat merepotkan. Di satu sisi, gue akan terus memikirkan kontes, mencari kontes dan menyiapkan diri untuk memenangkan itu. Sementara di sisi lain, kita perlu untuk fokus ngembangin ini perusahaan, Gi. Menurut lo akan sampai kapan kita kayak gini terus?"
Gian terdiam. Serena memang benar. Fokusnya terbagi karena sibuk khawatir dengan keuangan perusahaan sementara di sisi lain, ia harus mengembangkan perusahaan. Peran ganda yang dipegangnya jelas berat.
@@@
Rangga Ahmad.
Nama itu lah pemilik PT Sekolah Kita. Sebuah start-up yang bergerak di bidang pendidikan dasar hingga lanjutan. Tentu saja tidak bertubrukan dengan start-up miliknya. Tapi Serena kaget saja dengan kemunculannya. Saat kontes itu, hari kontes memang terbagi selama tiga hari. Mungkin mereka presentasi di hari yang berbeda. Kemudian keluar sebagai juara pertama sementara perusahaan Serena berhasil memboyong sebagai juara kedua. Yeah, 40 juta sudah akan berada ditangan. Ini cukup menenangkan bagi Gian yang terus memikirkan gaji karyawan.
Turun dari panggung, Serena kembali ke tempat duduknya bersama teman-teman. Pikirannya sudah buyar usai melihat lelaki itu. Lelaki yang katanya sudah naksir sejak dulu, saat mereka sama-sama menjadi anggota BEM Universitas Indonesia. Tapi sampai selesai jabatan bahkan hingga lulus, boro-boro ada perkembangan asmara. Serena bahkan merasa kalau ia lah yang terlalu ge-er akan segala sikap ramah Rangga yang memamg begitu kepada semua perempuan. Yeah, siapa yang tak tertarik pada lelaki itu? Selain baik, lumayan ganteng, ia juga kece dengan segala prestasinya.
"Lo langsung balik nih?"
Serena mengangguk. Ia tak bisa terlalu lama karena harus mengejar kereta. Usai berfoto ria, ia segera pamit. Ia keluar dengan langkah terburu-buru kemudian mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojek online. Tanpa tahu kalau lelaki bernama Rangga itu ikut mengejarnya. Ia berhasil mengejar Serena yang kini mendongak karena pintu lift yang sempat tertutup itu terbuka lagi lalau menampilkan wajah Rangga.
"Serena?"
Ia hanya memastikan kalau ia tidak salah melihat. Serena berdeham. Dengan canggung ia memberikan senyuman.
"Masih ingat gue?" tanya cowok itu.
Serena tersenyum lagi. "Tapi sorry, gue mau nutup pintu lift-nya."
Aaah. Rangga tersandar. Sambil menahan senyum, cowok itu melangkah masuk ke dalam lift dan akhirnya berdiri di samping Serena yang sibuk dengan ponselnya. Ia memberitahu lokasi penjemputan secara detil pada si abang ojek.
Rangga meliriknya diam-diam. Kemudian ia berdeham. "Apa kabar?"
"Baik," sahutnya kemudian menurunkan tangan dan mengantongi ponselnya disaku celana. "Lo?"
Rangga mengangguk. "Tadi gue pikir bukan elo."
"Gue kok."
Rangga mengangguk lagi. "Kerja di situ?"
Pertanyaannya keluar seiring dengan pintu lift yang kembali terbuka. Serena sudah tiba di lobi. Ia segera bergerak keluar.
"Iya."
"Lama gak ketemu."
Serena hanya bisa tersenyum tipis mendengarnya. Keduanya berdiri di depan lobi. Menunggu ojek online untuk menjemput.
Sepi. Tak ada lagi yang berbicara. Serena merasa aneh saja. Mungkin karena sudah terlampau lama tak bertemu. Yeah, tujuh tahun itu jelas bukan waktu yang sebentar.
"Gue duluan ya," pamitnya yang diangguki oleh Rangga. Mata lelaki itu menatap lurus ke arah kepergian Serena. Masih tak menyangka kalau akan kembali dipertemukan.
@@@