Episode Masa Lalu

3082 Kata
"Selesai?" "Ya selesai sih, kak. Cuma tetep aja. Buru-buru amat sih sampai harus hari ini banget?" Timnya tentu saja mengeluh. Mereka bahkan belum selesai membereskan isi ruangan mereka. Tapi sudah disibukkan dengan pekerjaanain. Setidaknya laporan masih selesai sebelum jam enam sore. Usai mencetak, Rangga bergegas ke lantai di mana lelaki itu berada. Lantai 28 di mana orang-orang penting berada. Tapi masih ada lantai 30 sih yang katanya lantai di mana CEO berada. Tapi ia juga sudah pernah melihatnya secara langsung tadi pagi kan? Di sepanjang hari ini, timnya juga tak tenang-tenang amat. Iya lah. Belum apa-apa, mereka sudah dikejar laporan. Tapi Rangga maklum sih. Ini kan karena mereka menjadi bagian dari grup perusahaan yang sangat besar. Ia tak bisa membayangkan seberapa besar uang digelontorkan oleh Juna untuk mendapatkan perusahaan ini. Ya mengingat memang sangat besar. Butuh keberanian juga yang besar. Tak akan mudah. Ia tahu itu. Ia akhirnya tiba di lantai yang sudah cukup sepi. Ini bahkan sudah lewat dari jam setengah enam sore loh. Para karyawan sudah pulang sejak jam lima sore tadi. Apakah lelaki itu tak pulang? Atau memang ia tipe pekerja seperti itu? Tapi omong-omong, ia pasti digaji dengan sangat besar ya? Ia bahkan bisa melihat semua barang bermerk yang lelaki itu punya dan kenakan. Ia mengetuk pintu dengan sopan. Tak ada perempuan di dekat pintu lift yang akan mengantarnya ke sini. Karena perempuan itu sudah pulang. "Come in." Aah ia kira lelaki itu sudah pulang. Tapi kalau pun belum, ia tak terkejut amat. Ia tahu bagaimana loyal dan pekerja kerasnya orang-orang asing di Indonesia. Ia membuka pintu dengan pelan. Tak lupa menyapa. Ia berjalan mendekati lelaki yang benar-benar tampak serius di depan laptop. Bahkan mungkin posisinya masih sama dengan saat ia datang siang tadi. Apakah lelaki ini tak beristirahat? Ah tak mungkin lah. Pasti beristirahat kan? "This is our document that you--" "Just put it here." Ia mengangguk lalu dengan sopan menganguk. Kemudian bersiap pamit tapi ternyata lelaki itu berbicara. "Am I tell you about meeting tomorrow?" Ia buru-buru membalik badan. Ya kaget lah. "Oh no." Lelaki itu bahkan tak melihatnya sama sekali. Ia benar-benar sibuk di depan laptopnya. "We're going to meet tomorrow and you should present about your document here. Additionally, your plan to develop your startup here on your profile document." Aaaah. Oke-oke. Ia mengangguk. "Sorry, sir. What's time?" "Maybe about 10 am?" Mau tak mau Rangga mengangguk. Ia buru-buru pamit. Astagaaa. Padahal baru hari pertama loh. Ia buru-buru masuk ke dalam lift. Takut rekan-rekan satu timnya sudah pulang. Tiba di sana benar saja. Yang tersisa hanya Joe. "Udah pada balik yang lain?" Joe mengangguk. Ia belum pulang karena menunggunya. Ia kan harus mengunci pintu lalu nanti diserahkan pada petugas di sini. "Lo mau pulang? Kalo mau pulang, duluan aja. Gue masih ngerjain sesuatu." "Serius?" Ia mengangguk. Ia mana mungkin bisa pulang kalau ada hal yang harus ia kerjakan. Astagaa. Lalu apa katanya tadi? Jam sepuluh pagi? Ia geleng-geleng kepala. Tapi pasrah. Mau bagaimana lagi? Ia kan bergantung pada perusahaan ini. Jadi mau tak mau, ia mengikuti maunya. Meski masih terkaget-kaget karena tak terbiasa dengan gaya kerjanya. Apakah semua harus terburu-buru? Baru hari pertama saja, ia sudah diuji. Han Young Jae. Nama itu terlintas begitu saja dalam benaknya. Ia baru tahu nama lengkapnya ya tadi. Saat ia membaca papan namanya di atas meja. Untung saja ada tulisan bahasa dengan huruf kapital. Karena huruf Hangeul, ia tak mengerti sama sekali. Pada saat meeting tadi pagi, ia terlihat paling muda dibandingkan direktur-direktur yang lain. Tapi tampaknya disegani juga meski paling muda. Pendiam? Entah lah. Ia tak yakin. Yang ia rasakan, lelaki itu hanya tak suka berbasa-basi. Ia juga sangat fokus dengan apa yang ingin dicapainya. "Mister Han...." Begitu orang-orang tadi memanggilnya. Ya memang mister Han sih. Han Young Jae. Tapi ada yang berbeda darinya. Apa? Tatapannnya tampak kosong. Tampak sendu. Ia tak yakin kalau lelaki itu benar-benar menikmati hidupnya. Mungkin penilaiannya benar? Kini Han Young Jae baru saja beranjak dari bangkunya. Ia lelah bekerja hanya karena ingin melarikan diri dari pikiran-pikiran gilanya setiap hari. Meski sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu, ia masih trauma sekali hibgga saat ini. Kini ia berdiri di dekat jendela yang sengaja ia buka lebar-lebar. Sudah bukan sekali atau dua kali, perasaan ingin menjatuhkan diri dari sini hinggap di dalam kepalanya. Ia ingin sekali jatuh dan mengakhiri semua ini. Tapi sungguh sulit. Bahkan untuk menangis pun rasnaya sudah tidak bisa. Saking terlalu sakitnya. @@@ Bianca Granada. Ia hampir salah memarkirkan mobilnya. Ia hampir salah masuk ke garasi orang lain. Begitu tiba di parkirannya sendiri, ia segera keluar. Lalu berjalan menuju lift dengan pikiran yang sudah mengawang-awang tak tentu arah. Ia yakin kalau ia melihat seseorang yang sangat ia kenal. Perempuan berkerudung yang keluar dari lift. Apakah bekerja di gedung yang sama dengannya? Selama ini, ia tak pernah memerhatikan. Tadi hanya tak sengaja melihat. Ia belum bisa menghilangkan pikiran tentang itu. Begitu tiba di apartemennya, ia menelepon ibunya. Ya tentu basa-basi dulu sebelum bertanya soal.... "Mom, keluarganya om Marwan di mana sekarang?" Ibunya agak kaget dengan pertanyaannya. "Bian yakin tadi melihat anaknya yang seumuran sama Bian. Mom masih ingat gak?" Ibunya masih terdiam. Lebih kaget karena anaknya ternyata melihat perempuan itu. Anak dari perempuan yang sangat ia benci. Ah bahkan ia berhasil membuat satu keluarga membencinya. Satu keluarga besar mereka. Lalu bagaimana bisa anaknya bertemu? "Apa maksud kamu?" Ia mencoba mengalihkannya. "Serena, mom. Aku melihatnya. Ya memang kita udah dewasa. Tapi aku masih hapal sama mukanya." Ibunya benar-bensr terdiam. "Bian yakin itu Serena." Lalu ia memindahkan ponsel ke telinga kirinya dan menjeoitnya dengan bahu sembari membuka sepatunya. "Mereka itu tinggal di mana sih, mom? Kok masih hidup bahkan heuh masa kerja di kantornya Bian juga?" Entah kenapa, ia tak suka sama sekali. Tak ada sebab sih. Tapi karena kebencian itu ditanam, ia benar-benar membencinya. "Yakin kamu?" Ibunya ikut terpancing. Bianca menghela nafas panjang. "Ya euung, belum tentu juga dia kerja di kantornya Bian. Tapi yang jadi masalah adalah Bian melihatnya. Dia masih hidup dan haaah......" Ia sama sekali tak senang. Dulu, ibunya susah payah memisahkan keluarga mereka. Yaa ayahnya Serena adalah kakak laki-laki ibunya. Mereka berasal dari keluarga terhormat di kampung halaman. Apalagi sang kakek adalah mantan gubernur di sana. Dalam waktu dekat, kakaknya ibunya yang sekaligus ayahnya gadis itu akan mencalonkan diri sebagai gubernur. Hidup Serena dan ibunya? Mereka tak pernah tahu. Yang jelas, setelah memisahkan mereka, Serena dan ibunya pergi dari kampung halaman mereka. Tak pernah terlihat lagi hingga tadi ia tiba-tiba melihat gadis itu. Ia sangat yakin karena dari dulu, ia hapal muka Serena. Bagaimana mungkin kehidupannya baik-baik saja? Padahal ibunya sudah susah payah membuatnya menderita. Dulu ibu mereka berteman dekat. Tapi ternyata ibunya Bianca tak suka karena semua orang selalu memuji ibu Serena sebagai gadis paling cantik di kampung. Bahkan banyak yang suka termasuk ayah Bianca. Dulu ayah Bianca adalah lelaki yang pernah berpacaran dengan ibu Serena. Tapi saat ibu Bianca mengatakan kalau ia menyukai lelaki yang kini yang menjadi suaminya pada ibu Serena, ibu Serena merelakan. Ya karena ia menganggap kalau ibu Bianca itu sudah seperti saudaranya. Mereka bersahabat sejak kecil. Jadi urusan perasaan dan pacaran itu tak seberapa jika dibandingkan dengan kasih sayang ibu Serena kepada ibu Bianca. Namun hingg a ibu Bianca menikah, sang suami masih belum bisa melupakan ibu Serena yang kala itu baru bersama kakaknya Bianca. Itu juga karena ibu Bianca yang sengaja menjodoh-jodohkan. Ia tahu kalau kakak laki-lakinya sejak dulu memang menaruh hati. Hingga akhirnya menikah dan yaa episode mengerikan pun terjadi. "Bukannya dulu mereka pergi bahkan gak bawa apa-apa ya, mom?" Ia kesal dan juga heran. Ya walaupun ia sudah tak pernah melihat bagaimana keadaan Serena dan ibunya sih. Ibunya hanya terdiam. Ia memang tak pernah tahu kabar mereka karena mereka memang benar-benar menghilang. Bahkan dikira sudah mati dan kuburan kosong atas nama keduanya juga sudah dibuat kok. Rumah orangtua Serena kala itu sengaja dibakar. Serena dan ibunya sempat menyelamatkan diri. Tapi tadinya hendak dihajar oleh ibunya Bianca. Namun langkahnya dihalangi oleh salah satu sesepuh di kampung halaman mereka. Kakek Amiin yang merupakan sepupu dari kakeknya. Lelaki itu tahu apa yang terjadi. Semua fitnah yang menimpa hanya bermula dari kebencian yang tak akan pernah ada habisnya. Mau membenci dan mendengki sampai kapan? Sampai orang-orang itu mati? Dan kakak laki-lakinya alias ayah Serena tak pernah tahu kalau istrinya dan anaknya masih hidup. Ia hanya tahu rumah terbakar lalu anak dan istrinya disangka mati dan dikuburkan sebelum ia tiba di rumah. Jadi ia bensr-bensr tak tahu apa-apa. Hatinya hancur. Sungguh hancur. Walau beberapa tahun kemudian sudah menikah lagi. Ya keluarganya yang sekarang. "Coba kamu cari tahu lagi apakah itu benar atau tidak, Bian." Bianca menghela nafas panjang. Ia hanya tak suka dengan kenyataan ini. Sejak dulu pun, ia selalu bersaing dengan Serena dalam hal apapun. Ia baru berhasil mengambil ranking satu di SMP saat Serena pergi. Ia tahu kalau Serena dan ibunya tak mati dalam insiden itu. Semua keluarganya tahu kecuali ayah gadis itu. @@@ Ia lelah sekali. Seharian ini akhirnya malah sibuk meeting. Padahal tadi berencana hendak pulang tapi mendadak mendapat telepon. Ya sudah, ia hadiri saja semua rapat hingga semalam ini baru tiba di rumah. Tubuhnya terasa pegal-pegal. Ayahnya tampak menurunkan kacamata sebentar melihat kedatangannya. Lelaki tua itu sibuk membaca koran yang dicetak sendiri dari kantornya lalu dibawa ke rumah. Lelaki tua itu hanya melihatnya sekilas. Lalu kembali melanjutkan kegiatan membacanya. Ya untuk lelaki tua sepertinya dengan anak-anak yang sudah dewasa, maka apalagi yang harus dikerjakan? Anak pertamanya bahkan begitu membanggakan. Eeh masih ada anak bungsunya sih yang paling bawel. Tapi perkembangannya sangat bagus kok. Maksudnya, tidak melenceng. "Baru pulang kau, nak? Kapan lah kau menikah kalau pulang semalam ini." Seperti biasa, ocehan ibunya hanya bisa membuatnya terkekeh. Ia menyalaki perempuan itu lalu berjalan menuju tangga. Maunya juga menikah. Tapi mau bagaimana lagi? Ia hanya ingin menikmati hidupnya sekarang saja kok. Ia pergi ke tempat tidur lalu memejamkan mata. Sengaja beristirahat dulu selama beberapa jam. Lalu ia bangun lagi menjelang jam tiga pagi untuk solat tahajud. Kemudian turun dan melihat ibunya sibuk di dapur. Ibunya tampak stres sebetulnya. Tapi akhir-akhir ini bisa mengendalikan diri. "Kau itu sudah cukup matang untuk menikah, abang." Lagi-lagi persoalan itu diungkit. Bahkan ia sudah disuruh menikah sejak usia 22 tahun. Semakin tua, semakin gencar. Apalagi usianya sudah 25 tahun. Tapi masalahnya, calonnya belum ada. Mungkin di luar sana banyak yang menyukainya. Namun baginya tetap saja tak mudah. Meski harus memilih satu di antara sekian banyak. Ini kan persoalan hati ya. "Banyak itu perempuan cantik-cantik di kampung kita yang suka sama kau, bang." Ia hanya bisa terkekeh. "Kau itu harapan ummi." Harapan. Karena dibandingkan saudaranya yang lain, ia yang paling lurus. Adik laki-lakinya? Kuliah di Inggris dan malah menjadi ateis. Saat tahu, ia jelas marah besar lah. Orangtuanya juga syok. Papanya hampir terkena serangan jantung. Lalu bagaimana? "Doa, mi. Jodoh itu urusan Allah. Dan lagi, doa ibu kan kuat dibandingkan Juna." Ibunya tampak menghela nafas. Ia sebenarnya cukup lelah menghadapi anak-anaknya ya kecuali si sulung dan si bungsu lah. Dua anak tengahnya sungguh menguras tenaga dan pikiran. "Sudah kau cari di mana keberadaan El?" Ia menggeleng. "Dia sudah dewasa. Biarkan dia bertanggung jawab dengan pilihannya." Ia memilih untuk tak membiayai perkuliahan semester terakhir adiknya. Ya dari pad auangnya malah dipakai untuk sektenya di sana. Lebih baik tak usah lah. Lebih bagus kalau ia sedekahkan. Bukannya jahat, ia marah besar karena adiknya menghina agama. Padahal du ia juga menganut agama itu. Kalau memang tidak mempercayai Tuhan, ya silahkan. Ia juga tak bisa memaksa kan? Yang penting ia sudah memberitahu. Ia sudah mengarahkan. Kakau bebal, itu bukan urusannya. Karena memang sebatas itu lah peran manusia dalam berdakwah. Mustahil rasanya untuk bisa langsung mengubah kepribadian seseorang dalam sekejab. "Alma gimana?" Ia menghela nafas. Ia cukip malu sebenarnya. Tapi memang tak begitu banyak yang tahu kalau Almahyra yang namanya sedang naik akhir-akhir ini sebagai pelakor dari rumah tangga artis adalah adiknya. Kalau banyak yang tahu pasti akan rusuh. Apalagi orang-orang di luar sana tahu bagaimana gambarannya yang seolah sangat sempurna. Ia dianggap soleh, pintar, dan ganteng. Padahal ia juga punya banyak kekurangan. Lihat lah keluarganya sekarang. Satu ateis dan satu lagi asyik menjadi pelakor. Bahkan sudah tinggal di apartemen yang katanya dibiayai lelaki itu. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Menjelang subuh, ia buru- uru bersiap diri untuk ke masjid. Lalu ya bertemu dengan beberapa orang yang tentu saja sangat dikenalnya. Ada Farrel, Ferril, Ando, dan Ardan. Mereka sibuk masing-masing dengan pekerjaan. Tapi selalu bedtemu dengannya di masjid disaat waktu solat. Pertemanan semacam ini yang menguatkan. Karena mereka bisa saling mengingatkan untuk kebaikan. "Lo ngambil Won Shik Group?" Ferril tampaknya baru mendengar. Ia hanya mengangguk. Ardan geleng-geleng kepala. Biaya yang dikeluarkan pasti sangat besar. Walau keuntungannya juga luar biasa. Tapi tak akan mudah negosiasi hingga bisa memiliki. Juna itu kan sangat nasionalis. Ia tak ingin tanah negara dikuasai asing. Jadi ia berusaha merebut dengan caranya sendiri. Ya kalau pemerintah belum mampu mengambil alih, ia yang mampu kenapa tidak bisa melakukan itu? Toh hidup itu bukan tentang uang kok. Ia paham kalau harta itu tak akan dibawa mati. Jadi agar bisa dibawa mati, ia jadikan harta itu unthk jalan memperbanyak pahala dan manfaat. Bukan kah itu jalan yang jauh lebih keren? "Pemerintah sibuk jual aset ke asing, lo sibuk ambil alih padahal bukan pemerintah. Gak kebalik nih perannya?" Ia terkekeh. Mereka sempat mengobrol sebentar sebelum berpisah karena akan sibuk dengan jalan masing-masing. Baru hendak berbelok, tahu-tahu Ardan menepuk bahunya. Lelaki itu menjajari langkahnya. "Ada cewek yang mau gue kenalin ke elo." Waah kalau Ardan yang menawarkan, ia patut waspada. Kenapa memangnya? Karena bisa saja itu hanya lawakan dan bukan sesuatu hal yang serius. Hahaha. "Siapa?" "Yang komen-komen di akun medsos lo." Juna terbahak. Tuh kan. Benar kan. Ia memang seharusnya waspada atas kata-kata yang dilontarkan oleh Ardan. Kan cowok ini jarang serius. "Lo bukannya ada juga?" Ardan menghela nafas. Ia selalu mellow kalau berbicara tentang perempuab. Mereka maunya apa? Ia juga tak paham sih. "Penyubur rambutnya, kaaak. Krim pemutihnya, kaaak." Juna terbahak. Hanya itu isi komenannya di postingan-postingan Ardan? Ya benar sih. Bahkan saat mengeceknya begitu. Kalau pun bulan spam..... Lawak lagi dong, bang Padahal ia bukan memposting lawakan loh. Melainka foto kerennya dengan ekspresi maut, mata tajam, dan sangat serius. Lama-lama ia jadi heran dengan para netizen ini. Mereka menyukainya karena lucu bukan karena cinta. Eeaaak! @@@ Ia termenung di sepanjang berdiri dari Jakarta ke Depok yang tentu saja berdiri di dalam commuterline. Tercenung begitu melihat wajah yang tak begitu asing. Bagaimana mungkin ia bisa lupa dengan satu-satunya sepupu yang seumuran dengannya? Ia tak pernah tahu bagaimana kabar mereka. Yang jelas ingatan terakhirnya dihari itu hanya kesedihan ibunya dan kobaran api yang tak akan pernah ia lupakan. Ia termenung lama hingga hampir lupa keluar dari commuterline. Setidaknya ia tak terbawa hingga ke Bogor. Ia buru-buru turun sebelum terjepit pintu commuterline. Lalu berjalan keluar dari stasiun. Kalau dipikir-pikir, hidupnya begini-begini saja dari dulu. Ya maksudnya dulu enak sih ketika ia masih kecil hingga heum ia duduk di kelas 1 SMP. Masih ada ayah kandung yang kini? Entah lah. Ia tak tahu kenapa begitu membenci lelaki itu. Ia sangat marah karena kepergiannya dan ibunya tak pernah dicari. Ia tentu saja terus memantau bagaimana kehidupan lelaki itu. Bagaimana kehidupannya? Sudah bahagia dengan keluarga baru bahkan ia mendengar beberapa berita yang menyebutkan kalau ia akan maju sebagai gubernur. Ya sudah bisa ditebak mengingat sebelumnya sudah pernah menjabat sebagai anggota DPRD lalu walikota dan kini pasti maju menjadi gubernur. Ia harusnya sudah melupakan itu semua. Walau tak mudah. Jelas lah. Siapa sih yang bisa melupakan begitu saja? Meski hidupnya dan ibunya sudah jauh lebih baik. Ibunya sampai pindah ke negara tetangga. Ya butuh waktu lama juga bagi mereka. Ia bahkan sempat putus sekolah kok. Tapi kemudian mengambil ujian paket hingga akhirnya bisa lanjut SMA di Malaysia. Kemudian kembali ke Indonesia? Ya. Awalnya hanya ingin berkuliah di Indonesia itu agar ia bisa mencari ayahnya lagi. Tapi ternyata yang ia lihat justru yaa ayahnya dengan keluarga baru dan tampak bahagia. Lalu apa sih yang ia harapkan? Selain menjalankan kehidupan dengan baik. Bergantian dengan ibunya untuk menghidupi keluarga. Walau ya ibunya masih bekerja di Malaysia sana. Tentu saja mereka harus terus menyambungkan hidup. Ya kan? Usai mandi dan membersihkan diri, ia mengambil ponsel lalu menelepon ibunya. Tentu saja bertanya kabar. Ibunya bahagia meski hidup sendiri. Walau ia berjanji sih, jika sudah cukup uang untuk membangun rumah, ia akan segera mengajak ibunya untuk tinggal di sini. Meski ini bukan kampung halaman mereka. Tapi ya apa yang ada disyukuri saja. "Tak ada yang menganggu pikiranmu kan, nak?" Ia terkekeh. Selama ini, bagi ibunya yang terpenting hanya lah dirinya. Tak ada hal lain. Ia benar-benar menjadi pusat kehidupan. "Lalu bagaimana dengan apa itu? Semacam vlogger?" Ia tertawa. "Bukan lah, ma. Aku hanya mengajar di website. Ternyata sudah lunayan pendapatannya. Aku masih berpikir untuk mengembangkannya lebih baik lagi. Tapi akhir-akhir ini kan banyak sekali kesibukan." Ya. Mamanya memaklumi kok. Ia sibuk bekerja keras untuk mereka. "Tabungan mama sepertinya akan cukup kalau kamu mau bangun rumah di sana." Mamanya memberi kode. Ia tersenyum kecil. "Ya sudah nanti pindah kalau Serena dapat dosen PNS ya, ma." Mamanya terkekeh. Ya lebih baik mereka hidup bersama. Sudah sepuluh tahun ini mereka hidup terpisah karena ia merantau di sini. Walau sesekali ia pulang ke Malaysia. Tiket kan tak seberapa mahal juga sebenarnya. Namun terkadang ia hanya berpikir untuk meringankan beban mamanya saja. Ya dari pada untuk tiket pulang kan mending untuk ia makan di sini. "Ya sudah, Serena mau tidur dulu." Ia pamit lalu mematikan telepon. Kesepian? Mungkin karena hanya berdua dengan ibunya. Tapi ia bahagia kok. Toh ia tak benar-bensr sendirian. Ada Allah kan yang selalu bersamanya. Ya kan? Ia memejamkan matanya. Tapi tetap saja ia menangis. Allah sih yang paling tahu isi hatinya. Ibunya juga pasti sedih dan sibuk menyembunyikan luka karena tak mau membebaninya. Ia juga sama. Ia melakukan hal yang sama. Ia tak mau memberatkan siapapun. Ayah. Ayah kandung. Jujur saja, hatinya memang merindukan. Tapi rasanya ia ingin memutuskan hubungan itu saja. Walau rasnaya mustahil. Mana ada orangtua yang bisa memutus hubungan darah dari anaknya? Tak akan pernah ada bukan. Lalu? Ia berjanji. Suatu saat nanti, akan benar-benar melupakan ayahnya. Ia akan hidup untuk membahagiakan ibunya saja. Lupakan saja orang yang tak pernah mencarinya dan ibunya. Yang ternyata sama saja dengan keluarga besarnya. Entah apa salahnya dan ibunya dulu. Ia juga tak paham. Klau memang benar orang-orang bilang persoalan harta dari kakek-neneknya yang mungkin jatuh sebagian besar pada ayahnya dikarenakan wasiat, ia juga tak berminat kok. Untuk apa? Kalau pada akhirnya, harta tak dibawa mati. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN