Chapters 9 [Rooftop]

1550 Kata
Di kantin sekolah, Yula dan Rabiatul duduk sambil menikmati keripik kentang yang baru saja mereka beli. Suasana terasa ringan, meski ada sesuatu yang ganjil. Hikmah, yang biasanya ceria, tampak lebih pendiam hari ini. Yula pun tak bisa menahan diri untuk menggoda. "Mah, muka kamu kok serem amat. Habis makan orang ya?" Yula menatap Hikmah yang hanya menunduk tanpa ekspresi, sementara dia merebut keripik kentang dari tangan Rabiatul. Rabiatul, yang baru saja ingin menyahut, ikut tertawa kecil sambil mengunyah keripik. "Paling habis sakit hati." "Udah jelas lah. Dari mukanya aja udah ketahuan." Yula terkekeh, mencoba mencairkan suasana yang sedikit canggung. Hikmah akhirnya duduk di samping Yula, meletakkan tasnya dengan kasar di atas meja. Ia tidak menjawab, hanya menatap kosong ke depan. Perasaannya jelas terlihat dari gerak tubuhnya yang lesu. Rabiatul, yang masih penasaran, bertanya lagi. "Mah, serius deh. Kamu sakit hati sama siapa?" Hikmah mendengus pelan, jelas sekali kalau dia sedang malas bicara. "Lo kepo banget sih, Rabi. Gue lagi gak mood." Yula, yang melihat Hikmah semakin murung, langsung mencoba mengalihkan suasana dengan melemparkan sepotong keripik kentang ke mulut Rabiatul, membuat Rabiatul terkaget-kaget dan tertawa. "Sok serius lo, makan dulu aja!" Namun, Rabiatul tidak menyerah begitu saja. Kembali menatap Hikmah dengan heran. "Eh, aku serius, loh! Kalau gak serius, salah. Kalau serius, salah juga. Apa sih yang kalian berdua inginkan dari hidup aku?" Ia merajuk sambil menggerutu. Tiba-tiba, Hikmah berdiri dengan kasar, menatap Rabiatul dengan tajam. "Diam lo, Rabi!" bentaknya, sebelum bergegas meninggalkan kantin tanpa sepatah kata lagi. Yula dan Rabiatul hanya bisa saling menatap bingung. Mereka sama sekali tidak menyangka Hikmah akan bereaksi sekeras itu. Yula pun bertanya-tanya. "Apa sebenarnya yang bikin Hikmah sampai semarah ini? Lo sih Rabi, nanya terus." "Kok aku, namanya orang penasaran." "Iya jangan di tanya mulu, gue gibeng lo. Udah makan aja nih, biar nggak nanya mulu." Yula memberikan keripik ke mulut Rabiatul. Rabiatul berdecak pelan, masih belum paham apa yang terjadi. "Tapi aku serius, La. Mukanya Hikmah tadi serem banget, kayak gak pernah kena air. Gersang banget kayak padang pasir. Kayaknya baik-baik aja tadi, tapi pas balik, eh galau gak jelas." Mereka berdua mengangguk bersamaan, merasa aneh dengan perubahan mood Hikmah yang tiba-tiba. Mereka kembali duduk, melanjutkan memakan keripik mereka yang hampir habis. Tiba-tiba, Kinan masuk ke kantin dengan wajah yang tak kalah muram dari Hikmah sebelumnya. Ia langsung duduk di samping Rabiatul dengan ekspresi kesal. Yula dan Rabiatul menghela napas, merasa kalau hari ini memang penuh dengan wajah-wajah seram. "Ini hari apa sih? Hari Muka serem sedunia ya?" gumam Yula sambil melirik ke arah Rabiatul yang tertawa kecil. "Kayaknya, La. Pertama Hikmah, sekarang Kinan, dua-duanya kayak habis lihat hantu." jawab Rabiatul sambil menyuapkan sisa keripik ke mulutnya. Kinan langsung menatap mereka berdua dengan tajam. "Gue udah gak tahan sama mereka berlima. Gue bakal buat perhitungan sama Sasa dan teman-temannya, dan kalian harus jadi saksi, secara resmi dan tertulis!" Yula dan Rabiatul saling pandang, lalu mengangguk setuju meski sebenarnya mereka tidak terlalu paham apa yang dimaksud oleh Kinan. "Ngomong-ngomong, Hikmah kemana? Dari tadi gak kelihatan." tanya Kinan sambil mengambil sisa keripik di meja dan memakannya tanpa izin. "Baru aja keluar dari kantin, masa kamu gak ketemu?" jawab Rabiatul yang masih bingung kenapa Kinan tidak melihat Hikmah tadi. Kinan tampak berpikir sejenak. "Masak, gue gak lihat. Padahal gue masuk, dia keluar. Apa mata gue mulai bermasalah ya?" Yula tertawa kecil sambil mengangkat kedua alisnya. "Lo rabun, Kin? Hikmah segede gitu nggak liat." Kinan yang merasa tersindir langsung berdiri dengan kedua tangan di pinggangnya, menatap Yula dengan tatapan menantang. "Lo bilang apa tadi? Ngatain gue rabun, ya? Tega banget lo, badan lo tuh kayak selang pipa, rata gak ada bentuknya!" Yula yang merasa tersinggung langsung berdiri dan memasang pose yang sama. "Lo bilang apa? Selang pipa? Lo lebih parah, dasar buaya darat, gak ada kerjaan." Keduanya mulai berdebat sengit, saling melempar ejekan, sampai akhirnya Rabiatul, yang sedari tadi mendengarkan dengan wajah kesal, dia menghela napas panjang dan berteriak sekeras-kerasnya. "Diam..!!" Sontak, Kinan dan Yula langsung terdiam. Mereka berdua duduk kembali dengan patuh, menatap Rabiatul yang kini tampak seperti singa yang baru bangun dari tidur. "Yang teriak tadi beneran Rabiatul?" Yula berbisik pada Kinan dengan hati-hati. "Kayaknya bukan deh. Itu singa betina yang baru bangun dari tidur." Kinan berbisik balik, dan mereka berdua tertawa kecil. Rabiatul, yang masih berusaha menenangkan dirinya, berdehem beberapa kali sebelum akhirnya duduk dengan tenang seolah tidak ada yang terjadi. Yula dan Kinan pun memutuskan untuk diam, tak mau memperpanjang masalah. Mereka bertiga akhirnya kembali ke suasana awal, makan keripik kentang yang tersisa sambil memikirkan langkah selanjutnya setelah semua drama ini berlalu. *** Hikmah berjalan cepat menaiki tangga menuju rooftop sekolah, menghentakkan kakinya dengan kesal di setiap anak tangga. Setelah sampai di pintu penghubung ke rooftop, dia menarik napas dalam-dalam, membuka pintu dengan cepat, dan melangkah keluar. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, tapi itu tidak cukup untuk meredakan kekesalannya. Dengan langkah yang lebih lambat, dia menuju bangku yang ada di pojok rooftop dan duduk. Pandangannya kosong, tidak seperti ekspresi amarah yang tadi ia tunjukkan saat meninggalkan teman-temannya di kantin. "Huh... gue gak seharusnya kayak gini." gumam Hikmah sambil menutup matanya, mencoba meredakan gejolak emosinya. "Dia bukan milik gue, gue gak punya hak buat marah. Dia bebas milih siapa aja, bahkan cewek itu... Dan gue, gue gak punya hak buat ngelarang." Hikmah membuka matanya perlahan, menatap langit biru yang terbentang di atasnya. Tapi pikirannya tetap kacau, penuh dengan bayangan Rayden bersama cewek yang baru saja memberinya sesuatu. Hatinya sesak, meskipun dia tahu dia tidak punya alasan yang sah untuk merasa seperti itu. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat, mengganggu lamunannya. Hikmah menoleh dan melihat seorang cowok mendekat ke arahnya. Seragam cowok itu berantakan, dengan noda darah kering di wajah dan beberapa luka di pipinya. Cowok itu terlihat babak belur, tapi langkahnya tetap percaya diri. "Lo siapa?" tanya Hikmah tajam, memperhatikan cowok itu dari atas sampai ke bawah dengan rasa penasaran yang samar. Cowok itu tersenyum sinis, lalu duduk di bangku yang sama dengan Hikmah tanpa permisi. "Harusnya gue yang nanya, lo siapa berani-beraninya datang ke wilayah gue?" Hikmah menatap cowok itu dengan kesal, lalu bergeser menjauh. "Siapa yang nyuruh lo duduk di sini? Ini rooftop sekolah, bukan wilayah lo." Cowok itu balas menatap Hikmah dengan tatapan tajam yang penuh dalam. "Gue Malvin. Dan gue udah lama menjadikan tempat ini sebagai wilayah gue. Gak ada yang berani ke sini, kecuali lo sekarang." Hikmah mengernyit, tapi tidak ingin berdebat lebih jauh. "Gue Hikmah, kelas MIPA 1. Dan gue gak peduli tempat ini favorit lo atau bukan, ini masih bagian dari sekolah." dia berdiri dan berjalan menuju pintu, bersiap meninggalkan Malvin. Tapi suara Malvin kembali menghentikannya. "Gak ada yang pernah dateng ke sini kecuali gue. Lo berani ya buat nginjak tempat gue?" katanya, nadanya setengah menantang, setengah penasaran. Hikmah menoleh dengan mata yang menyipit, tapi dia hanya mendengus pelan. "Udah basi." sebelum dia bisa membuka pintu sepenuhnya, Malvin kembali bersuara. "Kalau basi, kenapa lo simpen? Buang aja, gak sehat kalau lo terus-terusan ngerasa sakit hati." Hikmah terdiam sebentar, tetapi akhirnya dia keluar tanpa menjawab lagi. Dia mulai menuruni tangga, berusaha mengatur napasnya yang mulai berat. Namun, sebelum sempat jauh melangkah, dia melihat Rayden dan cewek yang tadi berjalan bersamanya. Mereka terlihat tertawa bersama, senyum lebar menghiasi wajah keduanya. Pemandangan itu membuat d**a Hikmah terasa semakin sesak. Tanpa berpikir panjang, dia kembali naik ke rooftop dengan langkah cepat, bahkan nyaris berlari. Ketika sampai di atas lagi, Hikmah mendapati Malvin sedang berbaring di bangku yang tadi ia duduki. Malvin terlihat santai, menutup matanya dengan lengannya, seolah dunia ini miliknya. Tanpa berpikir panjang, Hikmah langsung mendorong Malvin hingga terjatuh dari bangku. "Hei! Lo kenapa dorong gue, ha?" teriak Malvin marah sambil cepat-cepat berdiri. Dia menarik rambut Hikmah dengan kasar, membuat wajah mereka berdua sangat dekat. "Lo pengen gue pukul?!" Hikmah meringis kesakitan, tapi masih berusaha tetap tenang. "Lo gak pernah sikat gigi ya? Mulut lo bau banget." sindirnya sambil menutup hidung. Malvin hanya tersenyum dingin, semakin menarik rambut Hikmah hingga lebih dekat. "Lo ganggu gue lagi, gue bakal lebih dari sekadar narik rambut lo." Hikmah menggertakkan giginya, menahan sakit dan amarah. "Lepasin tangan lo, Malvin. Sakit, tau!" teriaknya. Malvin akhirnya melepaskan cengkeramannya, lalu kembali duduk di bangku, kali ini dengan sikap yang jauh lebih tenang. Hikmah mengusap rambutnya yang berantakan sambil menghela napas panjang. Tanpa berkata apa-apa, dia duduk di samping Malvin, keduanya terdiam dalam suasana yang aneh. Setelah beberapa saat hening, Malvin berbicara lebih dulu. "Lo bolos ya? Gak biasanya anak IPA kayak lo bolos. Biasanya kan anak IPA itu rajin, patuh, gitu." Hikmah hanya mendengus. "Gue cuma lagi gak mood. Males aja masuk kelas dan bikin ribut di sana." Malvin mengangguk pelan, tanpa melihat ke arah Hikmah. "Gue juga. Bosen aja masuk kelas. Gue anak kelas 2 IPS." Hikmah menatapnya sekilas, lalu tertawa kecil. "Pantesan. Muka lo berandalan banget, bener-bener khas anak IPS." Malvin tersenyum tipis. "Muka gue ganteng, bukan berandalan." Mendengar itu, Hikmah nyaris memuntahkan tawa. "Lo pede banget, bikin gue mual." Malvin mengangkat bahu dengan santai, lalu tiba-tiba berkata. "Nanti, gue anter lo pulang sekolah." Hikmah, yang terkejut mendengar tawaran itu, terdiam sejenak. Namun, sebelum dia bisa merespons, Malvin sudah berjalan pergi meninggalkannya, meninggalkan Hikmah yang kebingungan. Apa maksud dari tawaran itu? Kenapa Malvin tiba-tiba bersikap seperti itu? Hikmah menatap langit sebentar, lalu akhirnya memutuskan untuk kembali ke kelas, meskipun pikirannya masih dipenuhi banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN