Chapters 8 [Main Cantik]

2225 Kata
Hikmah melangkah pelan memasuki rumahnya dengan wajah yang lelah, tubuhnya serasa habis diperas setelah seharian beraktivitas. "Assalamu'alaikum..." sapanya lesu saat ia membuka pintu dan langsung menuju ruang tamu. Di sana, bundanya duduk santai di sofa, matanya terpaku pada layar televisi yang sedang menayangkan sebuah drama. "Waalaikumsalam. Kamu kenapa, Mah? Kok kelihatan loyo begitu? Tak bertenaga." tanya bunda Hikmah sambil melirik putrinya yang tampak seperti kehabisan energi. Hikmah melepaskan tasnya, membiarkannya tergeletak di lantai sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke sofa di sebelah bundanya. "Capek dan lelah, Bun." jawabnya pendek, matanya terpejam sejenak mencoba meredakan pusing yang melanda. "Oh." respon Bunda Hikmah singkat, lalu kembali fokus menonton drama di televisi. Hikmah membuka matanya, menoleh ke arah bundanya dengan wajah penuh protes. "Oh? Cuma 'oh' doang, Bun? Tega banget! Bunda lebih peduli sama film itu daripada anak sendiri. Hikmah yang malang ini hanya mendapat 'oh' setelah seharian penuh berjuang di luar sana. Sungguh terlalu..." keluhnya dengan gaya dramatis, memajukan bibirnya sambil melipat tangan di d**a. Bunda Hikmah terkekeh kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi. "Kamu ini drama banget deh, kayak gak kenal Bunda aja. Lebih asik film ini daripada drama hidup kamu." Hikmah menepuk dahinya seolah tak percaya. "Baiklah Bunda yang cantik nan bijaksana, tolonglah. Udah ah, aku ke kamar aja, lelah ngadepin hidup plus ngadepin Bunda yang lebih mementingkan film daripada anaknya, awas kena azab." Hikmah menghela napas panjang lalu bangkit dari sofa, menyeret kakinya menuju kamarnya sambil melemparkan tatapan menyerah pada bundanya. Bunda Hikmah hanya menggelengkan kepala dan tertawa kecil melihat kelakuan anaknya yang selalu berlebihan. "Dasar bocah." gumamnya pelan, kemudian kembali larut dalam alur cerita di televisi. Setelah beberapa saat, Hikmah kembali keluar dari kamarnya, kali ini dengan pakaian santai. Kaos longgar dan celana pendek, siap untuk menikmati sore. Saat berjalan melewati bundanya, Hikmah berhenti sejenak dan menepuk pundaknya. "Bun, aku mau ke taman komplek. Mau ketemu Kinan, Yula, sama Rabiatul. Mereka udah nungguin aku di sana." Bunda Hikmah menoleh sejenak, matanya masih setengah fokus pada televisi. "Ya udah, pergi sana. Tapi jangan pulang terlalu sore, ya. Dan satu lagi, nanti kalau pulang sekalian jemput Agra. Tadi dia bilang mau main ke rumah Yuna, adiknya Yula. Jangan lupa, ya?" Hikmah merengut kecil mendengar tugas tambahan dari bundanya. Namun, dia tahu tak ada pilihan lain selain menuruti permintaan itu. "Iya, iya... nanti aku jemput Agra. Kalau gitu aku pergi dulu ya. Assalamu'alaikum." Sebelum benar-benar keluar, Hikmah mendekat dan mencium tangan bundanya dengan hormat. "Waalaikumsalam." balas Bunda Hikmah sambil tersenyum tipis, mengusap kepala putrinya dengan lembut. Hikmah kemudian keluar rumah, meninggalkan bundanya yang kembali asyik menonton drama di televisi. Di luar, Hikmah berjalan santai menuju taman komplek tempat ia dan ketiga sahabatnya biasa berkumpul. Udara sore yang sejuk dan suara burung berkicau membuat suasana terasa tenang, meski dalam hati, Hikmah masih mengeluhkan tugas tambahan untuk menjemput adiknya nanti. "Kenapa sih Agra selalu harus dijemput? Padahal dia kan udah besar..." gumamnya pelan sambil melangkah menuju taman, tak sabar bertemu dengan teman-temannya. Hikmah melangkah dengan santai di jalan menuju taman komplek, yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Matahari sore mulai condong, membuat sinar lembutnya terpantul di permukaan aspal yang ia lewati. Taman itu lebih dekat dengan rumah Kinan, sedangkan rumah Rabiatul berada di ujung komplek, yang justru paling dekat dengan pintu masuk utama. Hikmah menghela napas ketika melewati deretan rumah mewah yang berjejer rapi di sepanjang jalan. Meskipun rumah-rumah itu tampak megah, menurutnya, rumahnya sendiri masih lebih nyaman dan luas. Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya ia tiba di taman. Ketika sampai, ia langsung melihat ketiga sahabatnya, Kinan, Yula, dan Rabiatul yang sedang tiduran di atas rerumputan hijau. Pemandangan itu membuatnya sedikit terheran-heran. "Lo bertiga kenapa tidur di rumput?" tanya Hikmah heran sambil berjalan mendekati mereka. Yula, yang paling pertama merespons, bergumam dengan mata setengah terpejam. "Lagi menikmati teriknya Helios." Hikmah menaikkan alisnya, bingung dengan jawaban Yula yang terdengar aneh. Kemudian Rabiatul, yang masih berbaring dengan tangan di bawah kepalanya, menyambung dengan suara malu-malu. "Lagi mau mengenal rumput yang hijau dan merasa menyatu dengannya." Kinan, yang tampak paling rileks, menambahkan sambil tetap memejamkan matanya. "Gue lagi nunggu matahari berganti jadi bulan." Hikmah mendengus kesal. "Jawaban kalian bertiga gak ada yang masuk akal. Lo lagi, Yula, sok pakai istilah Yunani. Bahasa Inggris lo aja masih semrawut!" Hikmah menatap mereka bertiga dengan mata tajam, tapi sahabat-sahabatnya tetap tenang. "Ayo jawab lagi, yang bener kali ini!" Kinan, Yula, dan Rabiatul akhirnya duduk bersila, saling berpandangan seolah baru disadarkan oleh omelan Hikmah. Kinan menggeleng pelan sambil menyeringai. "Lo kira ini ujian sekolah, Mah? Kalau salah jawaban bisa remedial?" "Cie... yang sok melucu tapi gak lucu!" goda Yula sambil menatap Kinan dengan senyum menggoda. "Cie, yang kayaknya lagi mikirin calon pacarnya yang tadi siang duduk semeja sama kita, ya?" Rabiatul menambahkan dengan nada menggoda yang tak kalah semangat. Hikmah mendengus kesal dan akhirnya ikut duduk di atas rumput, melepaskan tasnya ke samping. Dengan wajah merengut, ia menatap ketiga sahabatnya sambil mengerucutkan bibirnya. "Kinan, lo lagi PMS ya? Dan kalian berdua, gak usah ngegodain gue, gue gak bakal baper sama gombalan receh kalian!" Kinan tertawa kecil dan menjawab santai. "Gue gak lagi PMS kok, tenang aja." Yula menepuk pundak Hikmah sambil tertawa. "Idih, pede banget lo. Siapa juga yang ngegombalin lo?" Rabiatul mengangguk dengan ekspresi polos. "Aku juga masih waras ya, Mah. Jadi jangan berharap terlalu tinggi." Hikmah merengut lebih dalam. "Siapa juga yang berharap? Gue enggak tuh!" jawabnya ketus. Kinan, yang tampak kelelahan dengan percakapan itu, tiba-tiba menjewer telinga masing-masing sahabatnya satu per satu. "Aduh! Telinga gue!" teriak Hikmah sambil meringis kesakitan. "Kinan, sakit tahu!" seru Yula, ikut meringis. "Ya Allah, Kinan, apa salah aku sampai dijewer begini?" rengek Rabiatul sambil mengerucutkan bibirnya, matanya tampak hampir berkaca-kaca. Kinan menghela napas panjang. "Kalau gue gak ngelakuin itu, kalian bertiga gak akan berhenti debatnya." jelasnya dengan nada serius. Yula melirik Kinan dengan tatapan heran. "Iya nggak usah pakai ngejewer juga, Kin. Perih nih." "Astaghfirullah, Kinan. Kamu pernah nggak sih ngerasain jeweran kamu sendiri?" Rabiatul ikut menyindir. "Ya, Kinan, kamu..." sebelum Hikmah menyelesaikan kalimatnya, Kinan tiba-tiba menepuk kepala ketiga sahabatnya dengan cepat, membuat mereka bertiga kembali mengaduh kesakitan, lagi. "Lo bertiga bisa gak serius sedikit aja?" bentak Kinan. Mereka bertiga kini menutup telinga masing-masing, khawatir akan serangan lanjutan dari Kinan. "Sabar, Nan, sabar..." ucap Hikmah sambil menahan tawa, sedangkan Yula dan Rabiatul memilih diam, takut kena jitakan lagi. Kinan menghela napas berat, lalu berkata. "Gue cuma mau lo bertiga serius. Besok kita harus main lawan Sasa dan teman-temannya. Kita mempertaruhkan harga diri, ngerti gak? Jadi gue butuh kalian fokus." Mendengar hal itu, mereka bertiga akhirnya mengangguk, mulai mendengarkan Kinan. "Jadi, apa rencananya?" tanya Rabiatul dengan penasaran. Kinan menyuruh ketiga sahabatnya itu untuk mendekat, lalu menjelaskan rencananya dengan nada pelan dan terencana. Setelah beberapa saat, Hikmah yang pertama kali berbicara. "Oke, gue setuju. Rencana ini lumayan masuk akal." Yula dan Rabiatul hanya mengangguk setuju, tampaknya mereka pun sepakat dengan strategi yang telah Kinan jelaskan. Tiba-tiba, suara yang familiar terdengar di belakang mereka. "Kalian berempat ngapain di sini? Udah sore nih." suara seorang cowok terdengar dari kejauhan. Yula langsung tegang mendengar suara itu, sedangkan Kinan, Hikmah, dan Rabiatul saling pandang dengan dahi berkerut. Cowok itu adalah Arsen, dia masih memandang Yula dan ketiga temannya itu dengan dahi berkerut. "Masa sih, Sen? Udah sore ya? Padahal gue baru aja sampai sini..." Hikmah mendongak ke langit, dan benar saja, hari sudah mulai beranjak senja. Sadar akan pesan bundanya, Hikmah langsung berdiri dan bersiap lari. "Astaga gue lupa! Gue pulang duluan ya! Tadi Bunda gue suruh buat jemput Agra, gue duluan! Bye!!" teriak Hikmah sambil berlari menuju rumah Yula untuk menjemput Agra. Melihat Hikmah berlari, Kinan dan Rabiatul pun melakukan hal yang sama, meninggalkan Yula yang kini hanya berdua dengan Arsen di taman. "Mampus gue." gumam Yula pelan, menatap punggung ketiga sahabatnya yang menjauh. "Awas lo bertiga, liat aja nanti pembalasannya karena ninggalin gue sama Arsen." Arsen yang masih berdiri di sana menatap Yula dengan sedikit senyum di bibirnya. "Lo gak pulang?" tanyanya santai. Yula, yang masih agak kesal, hanya menjawab singkat. "Ini mau pulang." Arsen mengangguk pelan, kemudian mulai berjalan meninggalkan taman. Yula menatapnya dengan bingung, tapi tak lama kemudian, dia berteriak. "Arsen, tungguin gue!" Arsen berhenti dan menoleh, menatap Yula yang berlari mendekat. Setelah sampai di samping Arsen, Yula kembali terdiam, tak tahu harus berkata apa. "Apa?" tanya Arsen sambil menatapnya dalam. Yula tersipu dan akhirnya berkata pelan. "Pulang bareng..." Arsen hanya mengangguk lagi, lalu melanjutkan langkahnya, diikuti oleh Yula yang berjalan di sampingnya, keduanya dalam diam yang canggung namun penuh arti. *** Sasa dan keempat temannya berjalan mendekati Kinan, Yula, Hikmah, dan Rabiatul di lapangan basket. Mereka berempat, yang sedang berdiri di tepi lapangan, terkejut melihat penampilan Sasa dan teman-temannya. Pakaian mereka tampak terlalu ketat dan tidak sesuai untuk bermain basket. Yula mengernyit, tak percaya. "Lo serius mau main basket pakai baju kayak gitu?" Kinan mengangkat alis, pandangannya tak lepas dari pakaian mereka yang ketat dan minim. "Lo mau pamer paha sama d**a, Sasa?" Hikmah menimpali, suaranya terdengar geli. Rabiatul ikut menggeleng sambil berkata dengan nada menggoda. "Kalau mau, aku bisa benerin otak kalian berempat, kebetulan aku bawa obeng." Sasa dan teman-temannya mulai merasa terganggu dengan komentar tersebut. Wajah mereka berubah kesal, tetapi sebelum mereka bisa membalas, Kinan menambahkan dengan nada sarkastik. "Main basket pakai baju kayak gitu, siap-siap aja kalah." Sasa, yang biasanya tenang, kali ini tak bisa menahan amarah. Dengan gigi terkatup rapat, dia berkata. "Udah puas lo berempat komentar?" "Belum." jawab Kinan, diiringi tawa dari Yula, Hikmah, dan Rabiatul. Sasa menatap mereka dengan mata berkilat marah, tapi sebelum situasi semakin memanas, Hikmah mengambil alih pembicaraan. "Mending kita langsung main sekarang daripada debat gak jelas buang energi." "Setuju!" Sasa setengah berteriak. Mereka semua akhirnya berjalan menuju lapangan basket. Kinan dengan cepat mengambil bola dari salah satu cowok yang sedang bermain dan meminta dia menjadi wasit. Meskipun ragu, cowok itu akhirnya setuju. Anak-anak sekolah yang sedang berada di sekitar lapangan segera berkerumun, penasaran dengan pertandingan yang akan segera berlangsung. Mereka semua membentuk lingkaran di tepi lapangan untuk menonton, menambah suasana tegang dan penuh antisipasi. Di antara kerumunan, tampak Aldo, Jino, Rio, dan Rayden, yang kebetulan sedang berjalan di koridor. Melihat banyak murid berlari ke lapangan, mereka pun ikut bergabung. Wando dan Arsen yang baru saja keluar dari kantin juga terdorong rasa penasaran dan berjalan menuju lapangan. Bahkan Arya, yang baru keluar dari toilet, tampak bergabung dengan kerumunan, penasaran apa yang membuat semua orang berkumpul di lapangan basket. Sebelum pertandingan dimulai, Yula sempat melihat penampilan Sasa dan keempat temannya sekali lagi dari atas sampai bawah. "Sekali lagi gue tanya, lo yakin mau main pakai baju kayak gitu?" tanyanya, setengah menahan tawa. Sasa mendengus. "Lo banyak tanya banget sih. Tinggal main aja, apa susahnya." Yula hanya mengangkat bahu. "Oke, kalau itu maunya lo. Tapi, supaya adil, salah satu dari kalian harus keluar. Kita mainnya kan 4 lawan 4." Setelah berdiskusi sebentar, Merry, salah satu dari teman Sasa, akhirnya keluar dari lapangan dan mendekati sekelompok cowok yang sedang menonton. Aldo, Jino, Rio, dan Rayden memperhatikannya dengan tatapan menggoda. Hikmah, Kinan, dan Rabiatul mendengus pelan. "Dasar cewek genit." gumam mereka bersamaan. Wasit meniup peluit tanda pertandingan dimulai. "Siap, mulai!" Bola dilemparkan ke udara, dan Kinan serta Sasa melompat untuk merebutnya. Sasa berhasil mendapatkan bola terlebih dahulu. Dia menatap Kinan dengan senyum remeh sambil mulai mendribble bola dengan lincah. Tanpa menunggu lama, Sasa mengoper bola ke Ranya, yang berdiri tidak jauh darinya. Rabiatul langsung bergerak menghalangi Ranya. "Kentang, kasih bola ini baik-baik. Kalau enggak, aku bakal ambil paksa." ucap Rabiatul dengan nada santai tapi penuh ancaman. Ranya hanya mendengus. "Gue gak takut ukhti. Coba aja kalau lo bisa." Tanpa ragu, Rabiatul dengan cepat merebut bola dari tangan Ranya dan melemparkannya ke Yula. Yula dengan cekatan menangkap bola dan langsung memasukkannya ke dalam ring. Seluruh penonton di sekitar lapangan bersorak gembira, sementara Ranya terlihat sangat kesal. Rabiatul menoleh ke arah Ranya dengan senyum penuh kemenangan. Dia mengangkat jempolnya ke atas, lalu membaliknya ke bawah, mengejek Ranya dengan gerakan itu. Permainan berlanjut, dan sekali lagi Yula berhasil mencetak poin, membuat skor menjadi 5:0. Sasa, yang sudah sangat kesal, akhirnya meninggalkan lapangan bersama keempat temannya tanpa berkata apa-apa. Kinan, Yula, Hikmah, dan Rabiatul bersorak gembira, saling tos merayakan kemenangan mereka. Namun, tiba-tiba Rabiatul menyuruh mereka berhenti. "Stop, stop! Kayaknya ada yang kelupaan deh. Tapi apa ya?" katanya sambil mengerutkan dahi, berpikir keras. "Memangnya apa yang kelupaan?" tanya Hikmah, melihat sekeliling. Penonton sudah mulai bubar, meninggalkan lapangan. "Gue inget sekarang!" seru Yula tiba-tiba. "Kita kan harusnya minta sesuatu dari mereka kalau kita menang." "Oh iya!" ucap Kinan, tapi tiba-tiba dia tersentak. "Woy! Sasa Tepung! Jangan pergi lo!" Kinan berteriak sambil berlari mengejar Sasa yang sudah jauh. Yula dan Rabiatul hanya menggelengkan kepala, sedangkan Hikmah sudah pergi meninggalkan lapangan, mengikuti ke mana perginya Rayden. Dia berjalan cepat, mengikuti dari kejauhan, sampai akhirnya dia melihat Rayden berhenti di dekat seorang cewek, yang memberikan sesuatu padanya sambil tersenyum manis. Hikmah merasa dadanya mendidih melihat pemandangan itu. Rio, Aldo, dan Jino yang berada di dekat Rayden mulai menggoda. "Cieeee... bentar lagi jadian nih." ledek mereka. "Tembak aja, bro!" ucap Jino sambil tertawa. Melihat itu, Hikmah tak bisa menahan diri lagi. Dia dengan cepat menendang tempat sampah di sebelahnya. BRUK! Suara itu cukup keras untuk menarik perhatian Rayden dan teman-temannya, serta cewek yang sedang bersama Rayden. Mereka semua menoleh ke arah Hikmah. Mendadak panik, Hikmah cepat-cepat menyembunyikan dirinya di balik dinding dan pergi meninggalkan lapangan, menuju sahabat-sahabatnya yang masih tertawa di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN