Chapters 10 [Berandal Ganteng]

2010 Kata
Hikmah berjalan dengan langkah cepat menuju gerbang sekolah, diikuti tiga sahabatnya yang terus membombardirnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepalanya semakin pusing. "Hikmah, lo tadi ke mana waktu pelajaran kedua sama ketiga? Jangan bilang lo bolos cuma karena belum ngerjain PR dari Bu Sri dan Pak Bambang ya!" Kinan menatap Hikmah dengan alis terangkat penuh kecurigaan. Hikmah hanya menghela napas panjang. "Sok tahu lo, Kin. Gue cuma lagi males aja masuk kelas, bukan karena PR." jawabnya singkat sambil terus melipat kedua tangannya dan mempercepat langkahnya menuju gerbang sekolah. Yula, yang kini berada di sampingnya, menimpali. "Terus lo tadi di mana? Kok gue gak lihat lo sepanjang dua jam pelajaran?" "Gue tadi di rooftop sekolah." jawab Hikmah datar, jelas menunjukkan ketidaksabarannya. "Udah selesai belum interogasinya? Gue mau pulang." Namun, Rabiatul belum mau menyerah. Dia sekarang mendekat dan menatap Hikmah dengan tatapan penuh rasa penasaran. "Belum selesai dong! Aku belum sempat nanya sama kamu!" Hikmah menghela napas panjang lagi, kali ini sambil memijat pelipisnya. Dia tahu, sahabat-sahabatnya tidak akan berhenti sebelum mereka mendapatkan semua jawaban yang mereka inginkan. "Oke, Rabi. Lo mau tanya apa lagi?" Hikmah mulai terdengar putus asa. "Kamu di rooftop sendirian atau ada orang lain?" Rabiatul kini semakin dekat, menatap Hikmah dengan rasa penasaran yang membara. Hikmah menutup wajahnya dengan kedua tangan, merasa semakin lelah dengan rangkaian pertanyaan yang tak ada habisnya. "Gue... sama orang lain." jawabnya sambil memainkan ponselnya, mencoba memanggil supir ayahnya. "What?! Sama siapa?" seru ketiga sahabatnya serentak, membuat telinga Hikmah berdengung. Suara mereka melengking begitu keras hingga Hikmah merasa kepalanya hampir pecah. "Gak usah teriak segala juga kali. Gendang telinga gue bisa rusak tau gak." jawab Hikmah, sedikit kesal sambil menutup telinganya dengan kedua tangan. "Itu derita lo." ketiga sahabatnya serentak menjawab dengan nada menggoda, membuat Hikmah semakin mendengus kesal. "Jadi, lo di rooftop sama siapa?" tanya Kinan semakin di buat penasaran. "Sama Malvin." jawab Hikmah dengan cepat tanpa menatap mereka, matanya kini tertuju ke arah gerbang sekolah. "Malvin? Itu anak kelas berapa?" tanya Kinan cepat. "Ganteng apa enggak?" sambung Yula sambil mengerling jahil ke arah Hikmah. "Kenapa aku gak kenal ya?" tambah Rabiatul dengan wajah polos. Hikmah mendengus, kali ini benar-benar kehilangan kesabaran. "Dia anak kelas 2 IPS. Mukanya lumayan ganteng, tapi gimana lo mau kenal dia, Rabi? Dia itu kakak kelas kita, bukan seangkatan." Rabiatul mengangguk-angguk pelan sambil mencerna informasi yang diberikan Hikmah. "Serius, kakak kelas?" tanyanya lagi dengan suara ragu. "Iya, Rabi, kakak kelas." Hikmah menegaskan sambil tersenyum tipis, sedikit geli melihat betapa polosnya Rabiatul. "Sorry kalau gitu, aku ngelag." jawab Rabiatul dengan senyum malu-malu, membuat Yula mendengus kesal kali ini. Setelah beberapa detik hening, Kinan akhirnya membuka mulut lagi. "Tapi kenapa lo bisa bareng Malvin di rooftop? Ada apa di antara lo berdua?" Hikmah menoleh dan menatap Kinan dengan ekspresi lelah. "Gak ada apa-apa, Kin. Gue cuma ketemu dia di sana. Itu aja. Jangan mulai bikin gosip yang aneh-aneh." Yula, yang masih penasaran, bertanya lagi. "Tapi dia ganteng kan?" Hikmah memutar matanya, lalu menghela napas. "Lumayan lah, tapi bukan tipe gue." Ketiga sahabatnya saling bertukar pandang dan terkekeh pelan. Meskipun Hikmah berusaha menutupi sesuatu, mereka tahu bahwa ada lebih banyak cerita di balik pertemuannya dengan Malvin di rooftop. Namun, untuk sekarang, mereka memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. "Ya udah deh, kalau lo bilang gak ada apa-apa. Tapi kalau lo butuh cerita, kita selalu di sini buat lo." kata Kinan dengan senyum hangat, yang dijawab Hikmah dengan anggukan kecil. "Ayo, kita pulang. Hari ini udah cukup panjang." ucap Hikmah akhirnya, merasa lega bahwa sesi interogasi sahabat-sahabatnya sudah selesai, setidaknya untuk hari ini. Mereka berempat mengobrol sambil menunggu jemputan masing-masing di depan gerbang sekolah bersama siswa lainnya. Suasana di sekitar mereka cukup ramai, tetapi mereka lebih memilih untuk bersantai dan berbagi cerita. Tiba-tiba, Sasa dan keempat temannya terlihat berjalan menuju pintu keluar. Kinan, yang cepat tanggap, langsung menghampiri mereka dan menghadang langkah Sasa. "Hey! Mau kemana kalian?" tanyanya dengan nada tegas. Di sisi lain, Hikmah hendak melangkah ke depan ketika tiba-tiba sepasang kaki menghadangnya. Dia mendongak dan merasakan ketegangan saat melihat sosok yang berdiri di depannya. "Malvin?!" "Hey. Nggak lupa kan yang gue bilang saat di rooftop?" Malvin menatap Hikmah dengan tatapan dingin, membuat Hikmah merasakan aliran rasa tidak nyaman. "Gue... inget, tapi sorry banget, gue udah dijemput sama sopir gue." balas Hikmah, berusaha terdengar tenang meski hatinya berdebar. "Terus?" Malvin bertanya dengan nada menantang. "Ya nggak bisa. Gue nggak bisa pulang sama lo." jawab Hikmah, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Malvin mengusap keningnya dan berbalik, melihat ketiga sahabat Hikmah yang sedang berhadapan dengan Sasa dan teman-temannya. Kinan menaruh kedua tangannya di pinggang, menatap Sasa dan keempat temannya dengan tatapan tajam yang penuh intimidasi. "Sesuai perjanjian, lo berlima harus mau nurutin apa pun kemauan kita berempat." tegas Kinan. Sasa membalas dengan tatapan marah, mengepalkan tangannya. "Apa mau lo berempat sebenarnya?" tanyanya dengan nada sinis. "Mulai dari besok, lo berlima jadi babu kita berempat, sampai seminggu ke depan. Gimana? Berani nggak lo pada?" tantang Yula dengan percaya diri. Merry maju ke depan dan menatap Yula dengan kesal. "Kita terima dan tunggu pembalasan dari kita." ujarnya, sambil berjalan mendekati Yula dan dengan sengaja menabrak pundaknya hingga Yula terdorong mundur. "Awas lo." Yula berkata dengan kesal, menepuk pundaknya dengan telapak tangan. Merry berpura-pura prihatin dan membalikkan badan. "Ups, sorry, gue gak sengaja." katanya sambil menyeringai. Melihat hal itu, Hikmah merasa darahnya mendidih. Dia segera berjalan mendekati Merry dan bersiap untuk menamparnya, tetapi saat tangannya meluncur ke arah Merry, seseorang menahan tangannya. Hikmah menoleh dengan kesal dan melihat Malvin yang memegangi tangannya. Kedua belah pihak terdiam sejenak, semua mata tertuju pada mereka. Rabiatul, Kinan, Yula, Sasa, dan teman-temannya mempertanyakan siapa cowok yang menahan tangan Hikmah. "Lepasin tangan gue, Malvin, atau..." Hikmah tidak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Malvin cepat memotongnya dengan menggerakkan wajahnya lebih dekat ke wajah Hikmah. Hingga Hikmah terdiam seketika. "Atau apa? Lo mau ngapain gue?" ucap Malvin setengah berbisik. Hikmah berusaha menahan amarah yang mulai menggelora. Melihat Malvin yang menyeringai jahil, Hikmah merasa jantungnya berdegup kencang. "Malvin! Lepasin, gue gak mau pulang sama lo!!" teriak Hikmah, suaranya memecah keheningan di sekitar mereka. Kedua kelompok terkejut mendengar teriakan Hikmah, sementara Malvin malah tertawa, menambah rasa horor yang dirasakan Hikmah. Mereka berdua akhirnya sampai di parkiran motor, dan Hikmah masih menatap Malvin dengan penuh kebingungan. "Lepasin tangan gue dan ngapain lo bawa gue ke parkiran? Supir gue pasti udah nungguin di depan." protes Hikmah, berusaha mengeluarkan dirinya dari situasi yang tak nyaman ini. Malvin melepaskan tangan Hikmah dan mengangkat kedua alisnya. "Lo tinggal nelpon supir lo lagi, terus bilang kalau lo pulang bareng gue. Udah, gampang, kan." katanya dengan nada santai. Hikmah maju mendekati Malvin, kesal dengan sikapnya yang seolah meremehkan. "Lo kalau mikir yang panjang dikit napa. Lo kira bensin itu beli pakai daun apa! Terus, lo itu gak ngehargain perjuangan supir gue yang udah jauh-jauh datang dari rumah ke sekolah. Lo itu kebangetan banget, ya." "Udah selesai belum ngomelnya?" Malvin bertanya sambil melipat kedua tangannya, wajahnya menunjukkan sedikit rasa bosan. "Belum! Lo itu bener-bener, ya. Gue mau pulang, dan bicara sama lo, gak pulang-pulang gue nanti." Hikmah menegaskan sambil membalikkan badannya, berniat untuk pergi. Namun, Malvin dengan cepat menarik tangan Hikmah dengan kuat, membuat Hikmah terpaksa berbalik dan menabrak tubuh Malvin. Dia merasa marah dan ingin mendorong Malvin menjauh, tetapi Malvin justru melingkarkan kedua tangannya di pinggang Hikmah. "Lepasin gue, Malvin." Hikmah berusaha melepaskan diri, tetapi Malvin tetap mengunci posisi mereka. "Gue bakal lepasin, asal lo mau pulang sama gue." tegas Malvin, menantang Hikmah dengan tatapan penuh percaya diri. "Gue gak mau pulang sama lo." jawab Hikmah, berusaha menahan emosinya. "Ya udah, kita kaya gini aja terus sampai malam juga gak papa." kata Malvin sambil tersenyum lebar. "Malvin, lepasin!" Hikmah mulai merengek, merasa terjebak dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. "Lo jadi cewek gak ada anggun-anggunnya ya. Nurut dikit kek." ujar Malvin sambil menggelengkan kepala, tampak sangat percaya diri. "Biarin! Lepasin, Malvin!" Hikmah berusaha meronta, tetapi semakin dia berjuang, semakin erat pelukan Malvin. Malvin yang sudah merasa lelah dengan drama ini akhirnya mendekatkan wajahnya ke wajah Hikmah dan, dalam sebuah tindakan yang tidak terduga, ia menciumnya. CUP! Hikmah terdiam seketika, terkejut dan bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Seluruh dunia seakan berhenti, dan dalam sekejap, semua mata terfokus pada mereka, menunggu reaksi dari Hikmah selanjutnya. Hikmah langsung terdiam, tubuhnya membeku seperti patung, tidak tahu harus berbuat apa. Dari kejauhan, Rayden yang baru selesai bermain bola melihat situasi tersebut dan berhenti melangkah, matanya tajam menatap ke arah Hikmah dan Malvin. "Kalau tahu lo bakal diam kaya gini, kenapa gue nggak cium lo dari tadi aja, ya?" ejek Malvin, menyenggol pipi Hikmah berulang kali, membuatnya semakin kesal. Sementara itu, Rayden mengepalkan tangannya, wajahnya datar, tapi emosi yang berkecamuk jelas terlihat. Akhirnya, dia berjalan menghampiri mereka. Hikmah terkejut dengan kedatangan Rayden dan dengan cepat menginjak kaki Malvin, yang membuat Malvin melepaskan tangannya dari pinggang Hikmah. Rayden langsung menuju motornya, menghidupkan mesin, dan pergi begitu saja, meninggalkan Hikmah dan Malvin dalam keheningan yang canggung. "Lo kalau mau nginjek kaki gue, bilang-bilang napa. Gak tau apa sakitnya gimana!" Hikmah menatap Malvin dengan tatapan tajam. "Kalau gue bilang, nanti lo bakal ngejahuin kaki lo." "Lo benar juga, mending sekarang kita pulang daripada di sini terus." Malvin mulai menaiki motornya, ia menghela napas panjang, melihat Hikmah yang mulai berjalan menuju gerbang sekolah. Hikmah sampai di depan gerbang, dia berjalan menuju pos satpam dan bertanya kepada Pak Arlan. "Pak, tadi ada mobil yang warnanya hitam nggak?" tanya Hikmah dengan nada sedikit kesal. "Ada tadi, neng. Terus supirnya nanya sama saya, 'Eneng ada apa enggak?' Saya jawab, 'Eneng udah pulang.'" jelas Pak Arlan, kebingungan. Hikmah menjadi semakin kesal, menghentakkan kakinya yang terbalut sepatu. "Pak, kalau saya udah pulang, terus yang berdiri di depan Bapak ini siapa?" tanyanya dengan nada tidak percaya. "Eneng." jawab Pak Arlan sambil menggaruk kepalanya. Dari arah belakang, Malvin mendekat dengan motornya. "Lo mau pulang apa enggak? Kalau mau, gue anterin." tawar Malvin. Hikmah menatap Malvin dengan semakin kesal. "Pulang aja sana, nggak usah nanya-nanya gue." "Bener nggak mau ikut gue?" "Ih, lo ya maksa amat jadi orang. Oke, gue ikut lo. Puas lo?" Hikmah akhirnya mengalah dan naik ke motor Malvin dengan kesal. Malvin hanya tersenyum, melajukan motornya meninggalkan area sekolah. "Rumah lo di mana?" tanya Malvin, di tengah perjalanan mereka. "Di Jalan Kartini. Kalau ada persimpangan, lo belok, terus masuk ke komplek yang ada di persimpangan." jelas Hikmah. Malvin mengangguk dan melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Hikmah yang merasa angin kencang berembus membuatnya panik, langsung memukul pundak Malvin. "Aduh! Lo jadi cewek s***s amat sih!" protes Malvin. "Siapa suruh lo ngebut!" balas Hikmah, sedikit ketakutan. "Gue ngebut biar cepat sampai." kata Malvin, berusaha meyakinkan. "Iya, cepat sampai ke alam baka." "Lo, pengen ke alam baka jangan ngajak-ngajak gue. Gue masih pengen hidup!" Malvin tertawa, membuat Hikmah merasa tidak enak. "Cih, harusnya gue yang bilang kayak gitu ke lo!" mereka terus berdebat hingga tiba di depan rumah Hikmah. Setelah Malvin memarkir motornya, Hikmah turun dan memberikan helm kepada Malvin. "Terima kasih tumpangannya. Lo pulang sana." "Gue pengen ketemu calon mertua dulu, baru pulang." jawab Malvin, menggoda. "Calon mertua pala lo! Udah sana pulang!" Hikmah semakin kesal, tidak ingin berlama-lama. Tiba-tiba, bunda Hikmah keluar dari rumah, saat ia mendengar keributan di depan rumahnya. "Hikmah, kamu lagi ngapain?" tanyanya, mendekati mereka. Hikmah menoleh ke belakang, dan bundanya semakin mendekat. Malvin mengikuti arah pandangan Hikmah dan tersenyum. "Assalamu'alaikum, Tante." sapa Malvin, turun dari motor dan mendekat ke arah Bunda Hikmah. "Malvin, kok bisa kamu bareng sama Hikmah?" tanya bunda Hikmah, sementara Hikmah menatap bundanya dan Malvin bergantian. "Bisa lah, Tante. Kita kan satu sekolah." jelas Malvin, tampak percaya diri. "Ho, gitu ceritanya. Baguslah." Bunda Hikmah tersenyum. "Kok... Bunda kenal sama Malvin?" tanya Hikmah penasaran. "Tentu saja, Bunda kenal. Malvin kan sepupu kamu, tapi ya bukan sepupu kandung." jawab bunda Hikmah. "Apa?! Ini nggak mimpikan?" Hikmah terkejut, tidak percaya dengan kenyataan ini. "Lo lagi nggak mimpi, sayang." jawab Malvin sambil tertawa. "Malvin!! Tidak, Bunda! Kenapa aku harus punya sepupu laknat kayak dia..!!" teriak Hikmah. Bunda Hikmah dan Malvin melotot seketika. "Hikmah!" suara bunda Hikmah terdengar tegas, menegur putrinya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN