“Menikah memang membutuhkan persiapan tanpa terkecuali finansial. Tapi modal utama membangun pernikahan sebenarnya cukup saling percaya dan berkomitmen.”
Episode 7 : Syarat Membangun Pernikahan
Sunny berangsur membuka matanya ketika beker di nakasnya berdering. Ia yang masih tengkurap segera meraih beker tersebut, kemudian mematikan alarmnya. Dirasanya ada yang berbeda untuk pagi ini. Ia tak hanya terbangun karena beker, melainkan rasa dingin yang sampai menusuk tulang apalagi kali ini ia sampai tidak mengenakan selimut.
Sunny merasa jika angin dari jendela kamarnya terbilang kencang. Gemuruh seperti guyuran air yang terdengar deras juga memekakkan pendengarannya melebihi ketika beker berdering. Ketika Sunny memastikan ke samping selaku sumber kegaduhan dan merupakan keberadaan jendela yang kiranya berjarak 5 meter dari keberadaannya, ternyata gorden beserta lantai di sekitarnya sudah basah kuyup dikarenakan kedua jendela tersebut terbuka lebar. Sunny baru ingat, kemarin ia lupa menutup jendela kamarnya. Itu karena ia masih terbawa perasaan akibat Keandra dan Neon. Belum lagi, fakta yang Neon ucapkan mengenai tante-tante yang menunggui Keandra di kafe, begitu membuatnya sakit melebihi luka berdarah.
Sunny segera mendekati jendela dengan hati-hati dikarenakan lantai yang tergenang air hujan menjadi licin. Setelah susah payah menerjang guyuran hujan yang disertai angin kencang, akhirnya Sunny berhasil menarik kedua kaitan jendelanya kemudian menguncinya.
Namun, setelah apa yang ia lakukan berhasil menciptakan kelegaan, meski setelahnya ia juga harus membereskan lantai sekitar jendela dan lantainya, pandangannya yang tak sengaja menoleh ke kamar Keandra justru menorehkan rasa perih di hatinya.
Tatapan Sunny terpaku pada kamar Keandra yang memang terlihat dari kamarnya. Tatapan yang dipenuhi kesedihan juga penyesalan. Sunny bergeming dengan begitu banyak keresahan yang memenuhi pikirannya. Jendela kamar Keandra tertutup gorden tebal yang berarti, pria itu masih tidur. Sunny berpikir seperti itu dikarenakan Keandra hanya bisa tidur di tempat yang gelap.
Tak lama setelah itu, Sunny menoleh ke nakas, memastikan waktu yang tengah berjalan dan ternyata masih pukul lima pagi. Ia pun segera beranjak meninggalkan kamar menuju dapur untuk menyiapkan bekal kerjanya termasuk bekal Keandra. Namun sebelum menyiapkan bekal, Sunny berniat untuk mengeringkan lantai kamarnya yang telanjur banjir berikut melepas gordennya.
Ketika Sunny melintasi dapur untuk mengambil keperluan mengepel, ternyata Sofia sudah ada di sana. Sofia sedang sibuk di depan kompor dengan keempat sumbu yang menyala. Satu berisi presto berukuran tiga liter dan sudah mengepulkan asap dengan aroma ayam bumbu kuning yang begitu memikat, satunya lagi—paling bersumbu besar untuk menumis capcai. Selebihnya, dua sumbu yang tersisa digunakan untuk merebus telur dan sup. Khusus untuk sup, demi hasil yang lebih manis dalam artian, cita rasa dari bahan sup sendiri, biasanya Sofia memang akan memasaknya menggunakan api kecil setelah mendidih. Bahkan tak jarang, demi mengejar waktu agar bisa dibawa untuk bekal, biasanya Sofia sengaja memasaknya setengah matang dari sore.
Sunny memutuskan untuk membantu Sofia dikarenakan kedua wastafel di dapur yang bersebelahan sudah penuh gerabah kotor. “Pagi, Ma? Maaf aku telat,” sapanya sambil berjalan menuju wastafel yang keberadaannya tak jauh dari Sofia.
“Hai ... pagi juga, Sayang.” Sofia hanya menoleh sekilas dikarenakan ia sedang sibuk mengaduk capcai, dan langsung berpindah untuk mencicipi sup menggunakan sendok. “Bagaimana, tidurmu nyenyak?” ujar Sofia sambil mengangguk-angguk sesaat setelah selesai mencicipi rasa sup yang dirasanya sudah pas.
Sofia sengaja tidak membahas perkara Sunny menangis saat pulang kemarin. Gayanya tetap santai sekaligus energik layaknya biasa. Wanita yang mewariskan kecantikannya pada Sunny itu berlaku seolah-olah tak terjadi apa-apa. Hanya saja, Sofia merasa perlu mengatakan kepada Sunny jika tiga puluh menit yang lalu, sekitar pukul setengah lima, Keandra baru pulang ke rumah setelah semalam terjaga untuk Sunny.
Sunny tak langsung mengomentari karena ia justru terdiam sambil mencuci gerabah di wastafel.
“Kean, nggak cerita apa-apa, Ma?” Sunny menatap Sofia melalui mata sembamnya yang terlihat merah.
“Enggak. Memangnya ada apa? Kalian kenapa?” Sofia sengaja menatap lama Sunny apalagi ia juga berjalan menuju Sunny sambil membawa panci berisi rebusan telur.
Telur yang baru direbus memang harus segera direndam dengan air dingin bahkan bila perlu air es, agar kulitnya gampang dikupas. Terlebih dulu Sofia menuangkan airnya dari panci ke wastafel sebelah yang sudah Sunny beri tempat untuk menuang dengan menggeser gerabah kotornya.
“Jadi?” sambil mengisi baskom dengan air keran wastafel, Sofia yang berdiri di sebelah Sunny sengaja memancing anak gadisnya untuk bercerita.
Sunny menunduk. Masih dengan ekspresi bersalah sekaligus menyesal.
“Sebenarnya, dua hari yang lalu Kean melamar aku, Ma ....”
“Wah ...?” Sofia tak kuasa menyembunyikan rasa senangnya. Apa yang dikatakan Sunny merupakan kabar gembira. Bagaimana tidak, Sunny dan Keandra sudah pacaran selama enam tahun. Tak salah jika keduanya mulai memikirkan untuk menjalani hubungan yang lebih serius.
“Tapi aku tolak.”
Namun lanjutan yang baru saja terucap dari Sunny membuat rasa bahagia Sofia menepi. Sofia segera mematikan keran dan menuang telur rebusnya ke dalam baskom yang baru ia isi. Ia meninggalkan baskom rendaman telur tersebut di sebelah wastafel, kemudian melangkah menuju kompor dan mematikan api untuk wajan capcai. Sofia tampak sangat penasaran dan siap menyimak sambil memindah capcainya ke piring saji yang ada di meja tengah dapur tepat di hadapannya.
Dapur mereka memang tidak begitu luas. Namun memiliki lemari dinding yang melekuk sepanjang ruangan, baik di atas maupun di bawah. Bedanya, bagian atas lemari bawah menjadi meja yang terbuat dari keramik, dengan meja bagian tengah dapur yang memiliki ukuran jauh lebih luas.
“Bagiku, menikah nggak cukup modal cinta. Setidaknya aku ingin seperti Kak Sasy. Aku ingin menabung dulu untuk persiapan nanti. Syukur-syukur bisa beli rumah meski harus mencicil.”
Sofia yang telah menuang capcai berangsur membawa bekas wajannya ke Sunny dan meletakannya di sebelah wastafel. “Nggak harus punya rumah juga nggak apa-apa. Kalian bisa tinggal di sini. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang mau menemani Mama sama papa? Kak Sasy sudah di rumahnya sendiri, sepilah rumah ini kalau kamu juga pergi.”
“Kalau Mama dan Papa ingin rumah rame, kenapa nggak nambah anak saja? Mumpung Mama sama Papa masih muda.” Sunny sengaja menggoda Sofia.
Sofia langsung tersipu sambil menggeleng. “Tapi kamu jangan terlalu menuntut Kean, ya?”
“Menuntut bagaimana? Kan Kean memang belum punya pekerjaan tetap. Masa iya nanti kalau aku sama anak-anak lapar, Kean cuma bilang kalau dia sayang kami? Mana cukup. Mana kenyang ....”
Sofia nyaris tergelak melihat gaya putrinya yang begitu bawel jika sudah membicarakan masa depan. “Bukanya Kean kerja di kafe?”
Balasan Sofia membuat Sunny terdiam. Kafe. Ada masalah yang harus diluruskan antara dirinya dan Keandra menyangkut tempat tersebut. Tempat yang sedang Sofia bicarakan.
“Menikah memang membutuhkan persiapan tanpa terkecuali finansial. Tapi modal utama membangun pernikahan sebenarnya cukup saling percaya dan berkomitmen.”
“....”
“Nggak ada salahnya memulai bersama dari nol. Banyak kok, pesohor-pesohor yang awalnya hidup susah bareng pasangan.”
“Tapi setidaknya kalau kita ada persiapan, akan lebih baik, Ma.” Sunny tetap dengan keputusannya. “Aku ingin hidup mandiri bersama keluarga kecilku.”
Sofia mesem sambil mengangguk-angguk.
“Jangan karena aku wanita, lalu Mama pikir aku nggak punya pemikiran luas. Aku juga bisa merancang masa depan bahkan dari dulu!”
Demi meredam tawa yang nyaris meledak, Sofia terpaksa menggigit bibirnya. Balasan Sunny yang mirip dengan kader sedang kampanye, begitu menggelitiknya, sampai-sampai, ia jadi kewalahan menahan tawa. Kendati demikian, Sofia merasa sangat bangga pada Sunny juga Sasy yang ternyata telah menjadi motivasi Sunny hidup mandiri.
Sofia memang hanya dikaruniai putri, tetapi putri-putrinya tumbuh menjadi pribadi mandiri bahkan memiliki pemikiran yang tangguh.
***
Sekitar pukul setengah tujuh, mengenakan blus panjang warna putih dan rok suai warna hitam yang menutupi lulut, Sunny keluar dari rumah. Penampilannya kali ini benar-benar menawan meski hanya mengenakan rias tipis. Sunny berlindung di bawah bentangan payung dikarenakan gerimis masih berlangsung.
Sunny tak langsung pergi. Ia terdiam di depan gerbang rumahnya memandangi suasana rumah keluarga Keandra yang sepi. Pun dengan gorden tebal yang masih menutupi jendela kamar Keandra. Sepertinya, hari ini Keandra juga tidak jadi kembali melamar pekerjaan apalagi kata Sofia, setengah lima tadi Keandra baru pulang dari rumahnya. Pria itu terjaga untuknya. Sunny jadi ingat pada salah satu pesan WA yang Keandra kirimkan padanya, malam kemarin.
---
Aku tahu, meski aku berulang kali bilang, aku sayang kamu, aku cinta kamu, kamu nggak peduli. Karena yang kamu perlukan saat ini hanya bukti aku memiliki pekerjaan tetap, kan?
Tenang, Ny, secepatnya aku pasti punya pekerjaan tetap untuk membahagiakan kamu dan anak-anak kita.
Tapi demi Tuhan, aku sudah nggak kerja di kafe apalagi nge-DJ.
---
Sunny melangkah meninggalkan pelataran rumahnya dengan d**a yang terasa sesak. Apakah anggapan mamanya memang benar, ia sudah terlalu menuntut Keandra dalam pernikahan?—pertanyaan itu kian menguasai kehidupan Sunny, andai saja Keandra tidak tiba-tiba menyelinap dan berlindung di bawah payungnya.
Ketika Sunny memastikan, ternyata Keandra juga mengenakan pakaian berwarna senada dengan pakaiannya. Mereka terlihat sangat serasi. Namun setelah saling mengamati penampilan satu sama lain, keduanya justru menertawakan penampilan mereka sesaat sebelum Keandra merangkul mesra Sunny, di mana Sunny juga balas memeluk hangat Keandra.
***