“Di dunia ini enggak ada kegagalan, kecuali bagi mereka yang menyerah, Kean.”
Episode 6 : Pekerjaan Layak
Melihat keadaan Keandra, dari cara pria itu menyikapinya, membuat hati Sunny terasa sakit. Keandra jelas menghindarinya dan tak ingin membuatnya melihat pria itu dalam keadaan seperti sekarang. Keandra pasti tidak percaya diri dengan penampilan sekaligus gayanya saat ini.
Sunny tahu betul, penampilan selalu menjadi nomor satu untuk Keandra. Pun dengan makan bekal di tempat umum bahkan pinggir jalan, itu sangat bertolak belakang dengan gaya hidup Keandra selama ini. Dan meski semua itu membuat Sunny bersedih, tetapi ia juga merasa sangat bahagia. Karena dengan kata lain, Keandra telah membuktikan kesungguhannya. Pria itu serius ingin membangun rumah tangga juga kehidupan lebih baik dengannya. Karenanya, Sunny tak lagi membujuk Keandra untuk minum. Sunny sengaja meletakan bekal minumnya di dekat Keandra, kemudian duduk memunggunginya.
Sunny memastikannya melalui lirikan. Terbukti, Keandra mengambil minumnya dan meminumnya hingga batuk pria itu beranjak reda.
Udara sore semakin tidak bersahabat. Aroma aspal yang berbaur dengan panas sengat mentari masih tersisa bahkan tercium kuat. Sunny merasakannya di antara hening yang menyelimuti kebersamaannya dengan Keandra.
Ketika kedua orang yang ada bersama mereka pergi dengan bus trans yang ditunggu, Sunny segera geser, mendekat kemudian menyandarkan kepalanya pada Keandra. Sedangkan Keandra yang awalnya masih memunggungi Sunny langsung balik badan kemudian merangkul Sunny dengan mesra.
“Hari ini aku gagal dapat pekerjaan,” keluh Keandra jujur sekaligus menyesal kenapa ia sampai gagal mendapatkan pekerjaan. Bahkan karenanya, selain merasa payah, ia juga menjadi merasa gagal.
Kesedihan terdengar begitu kental dari pengakuan Keandra. Pria itu terlihat sangat tidak bersemangat ketika Sunny memastikannya.
Sunny yang sampai menengadah demi menatap Keandra, berangsur mengulas senyum. Ia menatap Keandra dengan banyak cinta. “Di dunia ini enggak ada kegagalan, kecuali bagi mereka yang menyerah, Kean. Kamu nggak gagal, hanya belum berhasil. Lagian, mencoba nggak harus langsung berhasil, kan?”
Seulas senyum terukir di bibir tebal Keandra. “Paling pinter kalau urusan merayu!” ucapnya sembari mencubit gemas hidung Sunny.
Sunny tersipu dan berangsur menunduk. Kemudian ia mengerling, memastikan suasana sekitar yang sepi kecuali lalu lintas kendaraan di jalan, pun cukup jauh dari mereka. Ketika pemikirannya terbukti—tak ada orang lain selain mereka berdua—Sunny melayangkan ciuman di sebelah pipi Keandra. Ciuman yang mungkin bertahan nyaris satu menit dikarenakan pria itu hanya diam.
Keandra terlihat sangat terkejut. Mendapati itu, Sunny buru-buru menggeser duduknya, menjauh dari Keandra. Namun, baru juga akan duduk, sebelah tangan Keandra menahan wajah Sunny. Keandra menuntun wajah Sunny untuk membelakangi jalan di hadapan mereka, seiring bibirnya yang mengunci bibir Sunny. Ciuman yang membuat tubuh Sunny terasa menghangat sesaat setelah ia juga membalasnya.
Ketika keduanya membuka mata seiring ciuman yang berakhir, seulas senyum sama-sama menghiasi wajah mereka di mana setelah itu, Keandra juga kembali mencium bibir Sunny meski tak selama sebelumnya.
“Aku yakin, kamu pasti sudah dapat pekerjaan,” tebak Keandra yang masih menahan sebelah wajah Sunny, dengan ibu jarinya yang sesekali menyapu bibir ranum wanita itu.
Sunny mengangguk kemudian menurunkan tangan Keandra dari wajahnya. Ia sengaja melakukannya dikarenakan beberapa orang mulai berdatangan ke halte keberadaan mereka. Kemudian ia mengemasi barang-barang Keandra; dari wadah bekal termasuk tempat minum, selain dua buah map dan beberapa surat kabar yang ia masukkan ke dalam tote bag-nya.
Sunny dan Keandra tetap duduk bersebelahan, di mana tak lama setelah itu, bus yang merek tunggu juga datang.
Sebelah tangan Keandra dimasukkan pada saku sisi celana, sementara sebelahnya lagi menggandeng sebelah tangan Sunny tanpa menatap wanita itu. Keduanya memasuki bus dengan Keandra yang memimpin jalannya perjalanan.
***
Tepat ketika keduanya baru sampai di depan gerbang rumah Sunny, panggilan masuk menghiasi ponsel Keandra dan ketika dipastikan, ternyata itu dari Neon. Keandra tak lantas menjawab panggilan tersebut dikarenakan Sunny juga turut memastikan, menatap layar ponsel Keandra. Melalui tatapannya, Kendra meminta izin menjawab panggilan masuk itu pada Sunny. Sunny mengangguk sambil berangsur menepis tatapan Keandra.
“Iya, Ne, ada apa?” Keandra masih menggandeng sebelah tangan Sunny yang juga setia berdiri di sampingnya.
“Please, deh, Kean, ... kita sudah jadi sarjana. Masa kamu masih manggil aku “Ne”? Yang nggak tahu, bisa langsung mengira kalau aku jelmaan nenek-nenek!”
Balasan dari Neon membuat Keandra maupun Sunny yang cukup bisa mendengarnya dengan jelas, refleks menahan tawa. Neon memang tidak suka dipanggil dengan nama asli. Kalaupun terpaksa, Neon lebih rela dipanggil dengan nama lengkap ketimbang bila dipisah. Karena jika “Ne” atau “On” baginya terkesan aneh bahkan seolah menjatuhkan martabatnya. Ne: Nenek-nenek. On: oon, bloon. Karenanya, Neon memiliki nama panggilan sendiri yaitu “N”—en.
“Iya, maaf. Terus ada apa?”
Lanjutan Keandra membuat Sunny menengadah. Diam-diam, Sunny menatap Keandra berhias senyum yang terus menghiasi wajahnya. Tak seperti biasa, gaya berbicara Keandra bisa setenang sekarang. Keandra mengalami kemajuan pesat. Karena biasanya, Keandra berbicara ceplas-ceplos menggunakan suara lantang.
“Ada job nge-DC, Kean!”
Neon sangat bersemangat. Suaranya bahkan sangat lantang. Kenyataan yang kontras dengan keadaan Keandra dan Sunny. Sebab setelah mendengar itu, Sunny mendengkus dengan raut wajah yang berubah menjadi kesal. Sunny bahkan berusaha melepaskan genggaman tangan mereka, tapi Keandra tetap menahannya.
“Halo, Kean? Kean kok diem? Eh kamu lagi sama Sunny, ya? Hahaha ... sori, Kean. Hahaha ... Sun, jangan marah, ya. Tapi asal kamu tahu saja, yang mengejar Kean nggak cuma pas Kean nge-DJ. Karena pas Kean manggung di kafe juga bejibun, sampai-sampai kafe penuh!”
Neon kian menjadi-jadi, sedangkan Keandra justru kalah telak. Keandra menggeragap sambil terus berusaha menahan gandengannya. Sialnya, Neon tetap tidak berhenti.
“Bahkan beberapa hari yang lalu sebelum melamar kamu, ada sekelompok tante-tante yang rutin menunggui Kean manggung di kafe!”
Tak lama setelah itu, Sunny membanting kuat-kuat gandengan Keandra. Sunny terlihat sangat kecewa tanpa mengizinkan Keandra ikut masuk ke rumahnya. Bahkan Sunny juga sampai mengunci gembok gerbang rumahnya kemudian buru-buru lari tanpa melirik Keandra sedikit pun.
“Ny, semua yang Neon bilang bohong. Aku beneran sudah nggak kerja di kafe apalagi jadi DJ!”
Tampak kedua tangan Sunny yang sibuk menyeka air matanya. Sunny juga hanya menunduk ketika Sofia yang membukakan pintu menanyakan penyebabnya.
“Sayang, kenapa kamu menangis?” Sofia melepas kepergian Sunny yang sampai berlari ketika menaiki anak tangga, kemudian menatap Keandra yang kebingungan bahkan menggeragap di depan gerbang rumahnya.
“Sunny hanya salah paham, Tan,” jelas Keandra meyakinkan dengan wajah yang terlihat sangat bersalah sekaligus menyesal.
Meski terlihat terbawa suasana, Sofia yang tampak bingung berangsur mengangguk sebagai balasannya kepada Keandra sesaat sebelum masuk dan menutup pintu.
***
Di kafe, Neon terpingkal-pingkal di depan area meja pengunjung yang tak berpenghuni. Membuat Leon juga Xan yang masih di area panggung musik dan tengah mengemasi gitar beserta drum, menghampirinya dengan tatapan heran sekaligus penasaran.
“Ada apa?” ujar Leon. Apalagi, kafe keberadaan mereka sedang tidak ada pengunjung sedangkan apa yang Neon lakukan begitu mengusik suasana kafe yang tenang.
“Nanti kamu kena karma, loh.” Xan menatap Neon penuh peringatan.
Tawa Neon berangsur reda di mana pria itu juga melirik sekaligus mendengkus kesal pada Xan. “Dikit dikit karma ... dikit dikit karma ... tuh lihat, gara-gara Keandra nggak ada, kafe ini jadi sepi dan kita kehilangan pekerjaan!”
“Tapi kamu nggak boleh merusak hubungan orang. Gimana kalau kamu jadi mereka, hubunganmu dirusuhin orang?” Xan tetap tidak menyukai cara Neon meluapkan kekesalan, meski apa yang sahabatnya katakan tidak sepenuhnya salah.
Kafe tempat mereka bekerja memang selalu menjadi sepi jika Keandra tidak datang. Pengunjung yang kebanyakan wanita akan langsung pergi setelah mengetahui Keandra tidak ada. Setelah itu, manajer bahkan pemilik kafe akan memarahi mereka, menanyakan keberadaan Keandra, dan meminta agar sahabat mereka itu lekas datang.
Leon bergeming dan berangsur menunduk. Ia memilih untuk tidak berkomentar sebab apa yang dikatakan kedua pria di sebelahnya, tidak sepenuhnya salah. Mereka membutuhkan pekerjaan, sedangkan Keandra yang menjadi kekuatan pekerjaan mereka justru tiba-tiba pamit, keluar dari band mereka dengan dalih ingin mencari pekerjaan lebih layak.
“Kalau bukan karena Sunny, kita nggak akan kehilangan pekerjaan. Bahkan kalian lihat sendiri, Sunny justru menolak lamaran Kean!”
“Rezeki nggak hanya dari sini, N,” Xan berusaha mengingatkan.
“Tapi nyari kerja itu nggak gampang, Xan!” saut Neon.
“Sudah ... sudah. Nggak ada gunanya diributin. Kita harus menghargai keputusan Kean.”
“Bahkan seharusnya kita bangga punya sahabat kayak Kean,” tambah Leon. “Kean punya pemikiran lebih dewasa dari kita karena dia sampai berpikir mencari pekerjaan lebih layak,” sambungnya.
“Paling tidak, kita juga harus mengikuti jejaknya.” Leon menatap kedua sahabatnya penuh keyakinan. “Ayo kita juga cari pekerjaan yang lebih layak dan bisa menunjang masa depan.”
“Bangga kepalamu!” tukas Neon sesaat sebelum berlalu dengan langkah tergesa.
Neon memang sangat marah. Tak semata karena mereka baru saja kehilangan pekerjaan akibat keluarnya Keandra dari band. Sebab Neon juga meragukan Sunny yang baginya tidak mencintai Keandra. Menurut Neon, jika Sunny benar-benar mencintai Keandra, Sunny tidak mungkin menolak lamaran Keandra. Sunny hanya sibuk mengatur hidup Keandra dan selalu ingin menang sendiri. Hal tersebut sudah Neon tegaskan berulang kali sejak awal Keandra mengabari keluar dari band untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
***
Sunny mengurung diri di kamar tanpa bisa dibujuk. Wanita muda itu terisak-isak, tengkurap di kasur tanpa menyalakan lampu, kendati suasana sudah semakin gelap. Sofia dan suaminya sampai kewalahan dalam membujuk. Pun meski Keandra juga turut serta. Tidak ada jawaban yang mereka dapatkan kendati mereka terjaga di depan pintu kamar Sunny hingga tengah malam.
“Bahkan beberapa hari yang lalu sebelum melamar kamu, ada sekelompok tante-tante yang rutin menunggui Kean manggung di kafe!”
Kata-kata Neon tersebut terus menggema di telinga juga pikiran Sunny. Bak mimpi buruk yang selalu ingin Sunny tepis, meski pada kenyataannya, kata-kata itu tak juga menghilang, menjelma menjadi racun yang terus mengikisnya dalam luka. Karena meski Keandra mempunyai banyak fans wanita, terlalu menggelikan jika tante-tante juga terjaga dan sibuk mencuri perhatian Keandra.