Adorable 4

1408 Kata
Siang ini kantin kantor begitu penuh, berhubung mendekati tanggal tua dimana para karyawan sudah kehabisan uang untuk makan siang. Kini mereka lebih memilih untuk hemat dengan makan di kantin. Begitupun dengan yang Dara lakukan karena iapun salah satu korban akhir bulan sama seperti yang lain. "Ibu Dara!!" panggil Tasya saat Dara keluar dari dalam lift. "Gosip mengenai berondong baru itu sudah sampai di lantai dua" goda Tasya mengedipkan matanya. "Itu kamu yang training dia kan?" "Anak itu yah!! Sumpah ganggu banget, berasa udah dua hari rasanya aku training dia" cerita Dara terus berjalan diikuti Tasya. "Hahaha ... tapi aku lihat dia benar-benar imut sekali" Tasya mencubit kedua pipinya sendiri. "Umur dia berapa sih?" tanya Tasya ingin tahu. "Entahlah, mungkin dia baru lulus kuliah ... apa aku harus tau umurnya berapa?" Dara balik bertanya sambil mendelik kesal. Dara dan Tasya kini sudah duduk sambil menikmati makan siang mereka, sambil terus membicarakan hal-hal di luar pekerjaan. Kalianpun pasti tau jika wanita sudah berbincang, semua bisa dijadikan pembahasan. Mereka tidak akan pernah kehabisan topik pembahasan, jika memang harus mungkin isi konfresi meja bundarpun bisa dibahas hingga tuntas. "Hahahaha ... sumpah ya, kemarin aku liat dia ngejar-ngejar damri tau gak?" cerita Dara terus tertawa. Tasya ikut tertawa, namun tiba-tiba diam setelah melihat sosok pria yang kini duduk di samping Dara sambil membawa sepiring makanan. "Makan sendiri itu gak enak, saya boleh bergabung disini?" tanya Hein sambil tersenyum lebar. "Ya ampun!! Terlambat untuk meminta ijin, kamu sudah duduk di samping saya" ceplos Dara kembali memasukan sesendok nasi dengan capcay diatasnya. Tasya menelan ludahnya, ia menatap Hein yang kini benar-benar ada di hadapannya. 'Benar apa kata orang-orang dia begitu imut' batinnya. "Emh ... umur kamu berapa?" tanya Tasya tiba-tiba, membuat Hein menghentikan aktivitas mengunyahnya. Tasya memang benar-benar tidak mampu menahan rasa ingin taunya, apalagi jika menyangkut sang topik utama di kantor. Dara ikut diam, kini ia melirik dengan ujung mata pria yang berada di sampingnya ini. Hein menatap wajah wanita yang seolah tengah mensidangnya. "Kalian tebak saja" jawabnya begitu cuek. "Ckckckck ... dasar bocah" gumam Dara pelan, sepertinya iapun kecewa dengan jawaban Hein barusan. "Kenapa Bu?" tanya Hein yang mendengar gumaman Dara barusan. "Tidak" jawab Dara singkat. Namun Hein hanya tersenyum melihat ekspresi Dara. *** Dara yang baru tiba di lantai tiga membelalakan matanya ketika melihat sosok yang kini tengah duduk di meja kerja yang letaknya bersampingan dengan meja kerja miliknya. Dari belakang ia menerka-nerka siapa orang yang sudah bekerja di jam tujuh pagi. Sambil mengendap-ngedap Dara mulai mendekati, namun alangkah kagetnya saat Hein membalikkan kursi putar yang tengah dipakainya. "Astaga!!" pekik Dara membuat beberapa file yang tengah dipegangnya terjatuh dan berserakan di lantai. Hein yang melihat kejadian ini segera bangkit dari kursi, menghampiri Dara dan membantunya memunguti file. "Kamu seperti melihat setan saja" gumam Hein terkekeh. Dara begegas mengambil file dari tangan Hein, "Siapa suruh kamu sudah berada di kantor jam segini?" timpal Dara merapikan tumpukan file ditangannya. Ia berjalan melewati Hein yang masih berdiri memperhatikannya, "Satu lagi, saya atasan kamu ya ..." pesan Dara membalikan kepalanya dan sedetik kemudian sudah kembali berjalan. Melihat sikap Dara, Hein hanya mampu tersenyum sambil terus meracau "Lebih atasan posisi imam rumah tangga" gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, ia sendiripun geli akan ucapannya barusan. Hein kembai duduk, menyelesaikan pekerjaanya sedangkan Dara masih disibukan memilah-milah file yang telah ia jatuhkan. "Ahh ... berantakan semuanya, kerja dua kali deh!" gerutu Dara kesal. "Perlu saya bantu?" tawar Hein melirik Dara yang terus mengerutu. "Gak usah, kamu kerjakan saja semua tugas kamu!" jawab Dara ketus. Hein mengangguk, ia kembali fokus pada layar komputernya sambil tersenyum.  *** Sepulang kerja, Dara memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Ia memilih untuk mampir ke sebuah pusat perbelanjaan yang letaknya tak jauh dari posisi kantor. Namanya juga wanita, mau sebanyak apapun pakaian yang tersusun di dalam lemari, pasti dia akan mengatakan tidak mempunyai baju untuk dipakainya. Dengan masih mengunakan kemeja berwarna pink serta celana coklat yang ia gunakan ke kantor hari ini, Dara melenggang bebas meyusuri Mall. Entahlah ... bagi Dara, ia menikmati jika berbelanja seorang diri karena jika berbelanja dengan sahabat wanitanya dapat dipastikan uang gaji akan lenyap dalam sekejap.  Kini matanya tertuju pada salah satu toko yang memasang baner diskon 70%, terlihat senyuman dari bibir Dara. Haruskan diskon seperti ini ia lewatkan? Oh, tentu tidak. Buktinya kini ia sudah berada di dalam toko itu, memilih baju yang dianggapnya bagus. Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk mendapatkan baju yang ia inginkan. Dan Tara!! lihatlah tangannya sudah membawa berapa kantung belanja. Dara menatap kedua tangannya, "Kalo gini namanya hemat" ucapnya bangga pada dirinya sendiri. Disaat Dara tengah berjalan, tiba-tiba seseorang menabrak tubuhnya begitu keras, membuat kantung belanja yang ia pegang jatuh ke lantai. "Maaf Mba, saya buru-buru ... pacar saya lari" pinta seorang pria sambil terus berlari. Dara memutar bola matanya, ia membungkukkan sedikit tubuhnya untuk mengambil kantung belanjaan sambil terus mengumpat dalam hati. "Yang lari pacarnya malah aku yang ditabrak, situ sehat?" gerutunya. Namun kini ada tangan lain yang malah membantu mengambil kantung belanjaannya, "Jangan terlalu sungkan untuk meminta bantuan, Dara" suara itu membuat Dara terperanggah.  "Pak Hein?" hanya kata-kata itu yang kini terlotar dari bibir Dara. Hein tersenyum, ia memberikan beberapa kantung belanjaan pada Dara. "Mau saya antar pulang sekalian?" tawar Hein, Dara menatap tubuh Hein dari atas sampai bawah. Astaga! Betapa manisnya pria ini, mengunakan kemeja putih polos serta celana jeans menambah kharismatiknya. 'Sadar Dara! Dia anak kecil!' Batinnya. Dara mengerjap-ngerjapkan matanya, "Kamu tadi panggil saya apa?" "Dara, itu nama kamu kan? Atau ternyata saya salah selama ini?" tanyanya dengan wajah begitu polos. Dara mendecakkan mulutnya, bisa-bisanya Hein memanggil namanya langsung tanpa embel-embel Ibu bahkan Mba sekalipun. "Ayo saya bantu membawa barang belanjaan kamu" ujar Hein merebut paksa kantung belanjaan yang ada ditangan Dara kemudian berjalan mendahului. "Pak Hein!! Tunggu, ah ... sial! Anak kecil memang selalu bikin repot" ucapnya kini berlari mengejar Hein. *** "Pasti dia baru lulus kuliah tuh, liat aja mukanya masih imut"  "Iya, gemesin gimana gitu ya?"  Perbincangan para karyawan di pantry kantor terdengar jelas di telinga Dara, bayangkan saja, ini bukan pertama kalinya ia mendengar Hein menjadi topik utama pembicaraan. Dari awal Hein bergabung di perusahaan ini, dia sudah menjadi tranding topik. Dara meneguk kopinya, sambil terus menguping.  "Hayo, lagi dengerin topik utama di kantor ya? Hahaha" goda Tasya yang tiba-tiba muncul di belakang membuat Dara terlonjak sangking kagetnya. "Sial, ini kopi bisa masuk ke hidung tau gak?" gerutu Dara menyeka hidungnya yang terkena buih kopi. "Anak didik kamu, selalu jadi tanding topik dimanapun ... lantai satu sampe lantai empat rame sekali. Gimana ibu mentor? kamu tergoda juga sama kegemesan berondong manis?" Tasya menyenggol Dara dengan sikutnya. "Hih, sumpah ya itu anak ... masa dia sama sekali gak sopan? Panggil nama aku Dara, tanpa pake Ibu? Ckckckck" cerita Dara, kening Tasya mengkerut mendengar ucapan Dara barusan. "Kamu ketemu dia dimana emang? Hemm ... ada yang patut dicurigai sepertinya?" Tasya memicingkan matanya. "Apaan sih Tasya, kemarin ketemu di Mall ... udah ah, aku balik ke atas dulu" pamit Dara kikuk, kacau kalau sampai ada orang lain tau jika kemarin dirinya diantar Hein pulang ke rumah. Sambil membawa cangkir kopi Dara berjalan menuju lantai dimana dirinya bekerja. "Tapi kalo dilihat-lihat, dia emang lucu sih" gumam Dara pelan, namun sedetik kemudian ia meralat ucapannya. "Dih, apaan malah mikirin dia? Sadar Dara ... sadar" sambil mengetok-getok kepalanya berkali-kali, mencoba mereset pikirannya barusan. *** "Sore Dara" sapa Hein saat Dara tengah berdiri di halte busway. Dara mengerutkan keningnya, menatap Hein dari bawah sampai atas. "Ka-ka-kamu? Ngapain ada di sini?" tanyanya heran. Hein tertawa, ia melonggarkan dasi yang sedari tadi mencekik lehernya. "Kamu ngapain?" Hein malah balik bertanya. "Saya? Ya tunggu busway, kamu pikir saya mau ngapain berdiri di sini?" Jawab Dara sedikit berteriak, astaga ... anak muda ini sungguh membuat emosinya tersulut. "Berarti kita sama, uhhh ... senangnya bisa pulang bersama dengan senior" ucap Hein, ia menggulung lengan kemejanya satu persatu. Dara melirik Hein, mulutnya terlihat tengah meracau sambil menatap tanpa berkedip sedikitpun. "Tunggu, kenapa kamu bicara informal? Posisi saya ini lebih tua dari kamu, tapi kamu dengan seenaknya berpikir kita ini seumuran, Hah?" akhirnya kata-kata ini keluar dari mulut Dara. Setelah seharian ini ia menahannya dengan tidak mengucapkan sepatah katapun pada Hein meskipun bibirnya gatal sekali ingin memaki. Hein sama sekali tak terlihat kesal atau terganggu oleh ucapan Dara barusan, ia tersenyum sambil melirik "Posisi imam rumah tangga gak pandang umur" saut Hein. Dan kini Dara hanya mampu menganga mendengar ucapan Hein barusan. “Bisa-bisanya kamu melontarkan jawaban itu” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN